EDISI SUMEDANG RAYA
(Kebon Teh Margawindu-Cisoka)
Bagian Keempat ( Gunung Sabeulit )
Sehabis
perkebunan teh ini, lebih ke atas lagi menuju puncak perbukitan dari kawasan
Cisoka ini, akhirnya kita akan masuk kedalam kawasan perhutanan yang dipenuhi
pepohonan tinggi hampir menutupi sang matahari. Suasana sekitarnya begitu
kontras dibanding tadi dibawah.
Disini kita
merasakan suatu kegelapan dari rerimbunan pohon yang berupa hutan rimba dari Gunung
Sabeulit dsk, (Gunung ini berada diantara pegunungan
lainnya; Gunung Bedug, Gunung Simpay, perkebunan Antara, Bangbayang, Leuweung Serang
Halimun, Panyeuseup, Curug Cicapar, Gunung Masigit Kareumbi dll) seakan
kita sedang berada dalam batas lorong waktu dan juga serasa kita memasuki suatu
terowongan.
Hutannya
benar-benar hutan beneran, jika nyali kurang mungkin sebaiknya kembali pulang
lagi ke bawah menuju tempat yang lebih terang. Sebab disini dan kedepan sana,
semua adalah tentang gelapnya hutan dan juga kita memasuki kawasan liar dari
hutan rimba.
Suasana
mencekam sangat terasa begitu kita menginjak ke hutan “geledegan” ini.
Bagaimana
tidak, jika baru saja beberapa langkah yang lalu kita berada diantara hamparan
teh yang pemandangannya terbuka luas lalu kemudian tiba-tiba kita memasuki
suatu rerimbunan pepohonan yang rapat dan gelap...?. itu tak jauh seperti kita
memasuki arena permainan rumah hantu. Yang dari terang menuju kegelapan, yang
penuh misteri.
Berdecak
kagum karena hutan seperti ini sudah sangat jarang kita temui di Jawa Barat
ini. Sungguh ini adalah simpanan kekayaan bagi masyarakat Sumedang khususnya
dan juga bagi masyarakat dunia pada umumnya.
Terima kasih
dan tolonglah kami, maafkanlah kekurangan dan kesalahan kami. Serta lindungilah
kami dan jadikanlah kami orang-orang yang bersyukur. Amin ya rabbal ‘aalamiin.
Itulah hutan
kita, hutan yang juga termasuk hutan utama yang ada di kabupaten Sumedang, dan
yang menjadi pemisah antara Sumedang, Garut dan juga Bandung. Berharap, semua
kita bisa menjaganya selamanya. Amin.
Untung saja
kali ini penulis bertemu dengan pelancong lainnya yang memiliki ketertarikan
yang sama tentang hutan dan alam rimba. Sehingga kali ini penulis tak
sendirian. Beberapa kali penulispun bisa ambil potret di sini. Dan itu suatu
keberuntungan bisa mendapatkan moment-moment nya.
Berkali-kali
penulis pun menghentikan kendaraan untuk sekedar memotret sekitar ini. Hutannya
dan juga “leuweung”nya. “Eta-eta keneh nya..?”. tapi leuweung
konotasinya lebih mendalam terutama bagi pengguna bahasa Sunda. Rasanya beda.
Menyebut “leuweung” dan menyebut hutan itu beda
rasanya, padahal menunjuk kepada maksud yang sama. Kalau hutan itu bisa berupa
hutan pinus, dan lainnya tapi kalau leuweung maka tak ada leuweung pinus yang
ada adalah “kebon pineus”. Jadi arti
“leuweung” lebih dari hutan.
Kita kembali
kepada perjalanan.
Bersambung
ke Bagian selanjutnya
0 Komentar