Kembali ke Rancabuaya
(solo riding)
Kemarin adalah tanggal 31 Desember 2017, tentu hari ini
adalah tanggal 1 Januari 2018. Tapi bukan itu maksudnya.
Kemarin, duabelas orang kami pergi ke sini, ke kawasan
terindah ini. Pemandangannya juara, udaranyapun juga juara. Sangat memanjakan
mata dan juga sangat menyegarkan rasa. Tapi dalam sanubari terdalam hatiku, aku
menggerutu. Bukan karena satu dan lain hal, bukan juga karena pertengkaran atau
kebencian. Semata karena satu hal yang terasa kurang yang tidak bisa diraih
bersama mereka, temanku dari CCB. Tetapi demi kebersamaan tak bolehlah kita
mengedepankan ego, kita akan ikuti kehendak mayoritas dan aku harus mencari
sisi lain dari rasa senang itu. Maka rasa senang itu tentu akan kamu dapatkan
juga.
Tetapi memang itu sungguh tak memenuhi hasrat dalam
sanubariku. Apakah itu....?,
Ya, dalam hati kecilku sesungguhnya aku ingin melanjutkan
riding sampai ke pantai. Itu akan sangat indah, itu akan sangat menyenangkan.
Tetapi mereka temanku tak memiliki rencana yang sama denganku. Jadi hanya cukup
sampai di cukul ini. Ya sudah aku harus mengalah. Kalau aku ajak lanjut ke
Rancabuaya, aku khawatir gak semua mereka bersedia, sehingga itu akan sangat
tidak elok jika sebagian harus kembali ke Bandung sementara sebagian lainnya
dengan egoisnya melanjutkan ke Rancabuaya misalnya. Ya sudah itulah kesepakatan
yang ku tetapkan dalam sanubariku sendiri. Biarlah mungkin siang nanti aku akan
pergi sendiri saja, tetapi tetap aku harus keBandung dahulu mungkin ada teman
kantorku yang bersedia bareng riding to Rancabuaya. Hendak aku hubungi via
watchup tetapi tak ada balasannya, kelihatanya dia gak aktif. Cara satu-satunya
adalah kembali keBandung.
Hal yang memuaskan aku bersama CCB kali ini adalah riding
rame-rame, terasa menyenangkan dan beda. Apalagi ada kesempatan kami untuk
saling mendokumentasikan momen ridingnya, jadinya itu adalah karya fotography
yang sangat bagus sekali. Bagus buat DP dalam FB ku.
Aku sangat beruntung bisa berteman dengan mereka, seribu
teman itu tak cukup, satu musuh itu terlalu banyak.
Esa hilang, dua terbilang. Patah tumbuh hilang berganti.
Gugur satu tumbuh seribu. Merdeka.....!!!
Semangat kebersamaan itu adalah selalu penting adanya. Satu
ikat lidi akan mampu menyapu seluas halaman dan sepanjang jalanan. Tetapi
sebatang kara lidi itu hanya mampu menjadi sampah.
Maka marilah kita bersatu dan tinggalkan perceraian. Bersatu
kita teguh, bercerai kita runtuh. Bersama kita kuat, berpisah kita merindu.
Eaaa......!!
Hari tak lah masih pagi, ini sudah jam sebelas siang
namanya. Aku baru sampai di Banjaran Bandung Selatan. Antara lanjut ke
Rancabuaya atau kembali lagi ke Bandung. Galau karena hari sudah terik dan aku
masih di Bandung. Hmm...padahal sanubariku menghendaki pergi riding ke tempat
yang ingin ku tuju itu Rancabuaya.
Keputusan harus diambil, maka kutegaskan kan kulanjut
perjalanan ini ke Rancabuaya, walau harus pulang sampai larut malam. Tak apa
asal masa liburan kali ini tidak menjadi hanya menumpang lalu. Aku harus menemukan
pengalaman baru, aku harus menemukan cerita baru.
Ridingpun berlanjut.....jalanan berkelok menuju Pangalengan
ini kembali aku lalui. Perkebunan teh Cukul itu pun kembali aku lalui. Baru kemarin aku kesini, sekarang sudah
kembali lagi. Gpp, karena indahnya tidak pernah berkurang, gpp karena mantapnya
cornering bisa dirasakna kembali. Kalau balapan resmi, kita gak punya sirkuit,
lalu dimanakah lagi kita akan membesut motor kita..?
Maka riding adalah jawabannya. Seringkali saat dijalanan
kita bertemu rider lain yang bisa kita ajak balapan. Itu sudah cukup untuk
melepas adrenalin, itu sudah cukup untuk merasakan sensasi racing. Yah ini
memang sedikit berbahaya sebab banyak pengguna jalan lainnya yang satu aspal
dengan kita memiliki tujuan masing-masing dan itu menambah ketidak pastian
dijalanan.
Ya sudah, cukuplah memacu kendaraan dengan menjaga batas
keselamatan masing-masing. Gak boleh egois, gak boleh ugal-ugalan. Jalan ini
penuh ketidak pastian dan tanpa instrumen atau ....... alat safety yang memadai.
Jalanan menuju pangalengan itu masihlah ramai oleh
pengendara, mungkin kebanyakan dari short holiday. Hanya untuk jarak pendak ke
Pangalengan dsk. Disana tentu ada banyak tempat untuk berwisata, ada air panas
Cibolang, ada perkebunan teh Malabar, ada situ Cileunca, ada wahana wisata
lainnya. atau sekedar untuk menikmati susu murni KPBS Pangalengan dengan aneka
rasa juga ada, atau untuk membeli dodol dan karamel susu. Atau juga pergi ke
perkemahan gunung Puntang, disini banyak sekali alternatifnya, bahkan bagi yang
suka kegiatan rafting juga ada. Atau sekedar untuk menikmati teh malabar dan
kopi Parahyangan...semua itu ada sisini.
Ditugu persimpangan Pangalengan jika ke kiri kesana adalah
kota kecamatan dan lanjut ke Cibolang, kalau ke kanan adalah ke Cileunca dan
juga perkebunan teh Cukul yang fenomenal itu. Akupun belok ke kiri ke arah
Cukul ini. Indah kembali kepada indah. Sendiri tak harus menjadi masalah,
sendiri tak boleh menjadi soal.
Cukul aku kembali kepadamu. Cukul engkau telah membuatku begitu
indah, Cukul....engkau adalah keindahan itu sendiri, engkau adalah kenangan itu
sendiri. Engkau adalah masa lalu, engkau adalah kemarin, hari ini dan juga esok
nanti. I’m come in....!
Nikmat mana lagi yang harus aku ingkari, syukur itu tak
pernah akan berhenti selamanya. Walau suka dan duka. Satu yang terindah adalah
kembali kepada istighfar, kembali kepada dzikir. Astaghfirullah, subhaanallah
walhamdulillahi allahu akbar, la haula wala quwwata illa billahil’Aliyyil
‘Aadziim. Emang puncak keindahan itu ada dalam mengingatNya. Istighfar adalah
memohon ampunan atas semua salah dan khilaf kita, alhamdulillah adalah hanya
memujiNya, Subhaanallah, Allah maha Suci, Allahu akbar, Allah lah yang maha
Besar. Tak ada upaya dan tak ada kekuatan melainkan semua berasasl dariNya.
Diri ini lemah, diri ini tak berdaya...Saat lemah saat sakit, baru kita akan
merasakan betapa bukan siapanya diri kita ini. Bisa hidup pun sudah merupakan
anugerah illahi....benaaaar.....?!...
Hah, helaan nafas ini kembali aku nikmati. Pemandangan dari
mata ini juga kembali aku syukuri. Hamparan perkebunan teh ini begitu hijau
ranau, benar-benar telah memenuhi klasifikasi keindahan. Belum lagi rasa yang
ada dari daya gravitasi ketika motor ini berkelok kekiri lalu kenanan....itu
adalah amaging. Tuhan, maafkanlah aku. Tuhan, “tersenyumlah” kepadaku. Aamiin.
Talegongpun telah tiba aku padanya. Pertigaan ini adalah
antara kenyataan dan kenangan. Lima tahun yang lalu ini adalah kenangan, dan
hari ini adalah kenyataan.
Dulu jalan yang ke kanan ini
hanyalah tanah berbatu kasar, belum menjadi jalan. Dan kini jalan ke kiri itu
jalan yang telah menjadi usang. Ke kiri itu indah pemandangannya, tetapi terjal
curam sekitarnya...jika longsor terjadi itu adalah horor diatas horor.
Tebingnya berkerikil batu bercampur pasir....yang sering terjadi longsor. Jadi
ke kanan adalah pilihan terbaik saat ini. Ke kiri juga jauh jaraknya dan kurang
mulus aspalnya. Tapi memang lebih eksotis pemandangannya, sudah dua kali aku
lewat sana.Bahkan juga pernah turun ke bawahnya ke kampung yang ada dibawahnya,
itu indah juga. Kampungnya benar-benar beda. Mungkin seperti bagian dari swiss
atau lembah pegunungan alpen di Perancis.Meureun soteh....!
Memang aku gak mau liburan kali
ini berlalu seperti biasanya. Bolehlah jalan-jalan.
Menelusuri jalan talegong ini
harus hati hati, karena jalannya turunan yang tajam. Juga kadang belokannya
juga tak terduga, jangan terlalu kencang sebelum kita mengetahui dengan jelas
kondisi jalannya. Takut bablas soalnya.
Entahlah, apakah Garut selatan
ini sebaiknya tetap menjadi hutan atau menjadi tempat yang dihuni banyak
manusia. Saya pengennya hutanya itu tetap lestari, janganlah di buka menjadi
perkebunan atau bahkan persawahan. Sebab efeknya sangat bersifat domino. Tetapi
nampaknya semua telah dibudidaya oleh manusia. Semoga itu tetap terkendali agar
ada keseimbangan lingkungan.
Enak sekali jalanan kesini buat
riding. Terasa banget kontur jalannya, belokannya, naik turunnya. Mungkin
seperti roll couster. Meureun soteh....!, da akumah tara piknik ka Ancol.
Ke alam lebih cocok buat aku.
Indahnya itu asli, segarnya itu beneran. Sering aku mengenang jalanan di sini,
sebab ini memang jalan kenangan buatku. Sampai kemudian akupun berhenti
disebuah mushola biru. Mushola yang tak asing buatku, semua masih sama seperti 6
tahun yang lalu. Bahkan tempat wudlu nya pun masih identik sekali. Cuman airnya
terasa tak se dingin di masa itu. Di kala aku masih bersamanya. Eaaa.....!
Tapi bukan aku palmboyan, atau
suka mengenang. Ini adalah penghargaan dariku, karena bagiku kebaikan masa lalu
tak boleh dilupakan begitu saja.
Waktu itu jalan kesini ini masih
merupakan jalan desa dengan aspal kelas terbawah. Bawa motor pun rata-rata 10
km/jam. Tapi masa itu tempat ini lebih eksotis jadinya. Lebih alamiah.
Betapapun begitu, keindahan
tempat ini tidaklah dikata pudar. Bentangan alam pegunungannya masih ada, dan
sungai nun jauh di dasar lembahnya juga masih bisa di nikmati. Namun satu yang
tak aku temukan adalah warung nasi yang tepat di puncak sebuah perkampungan,
tempat dulu aku berhenti membeli nasi karena hujan waktu itu.
Dan jalanan yang dulu juga lebih
berbahaya karena banyak material tanah longsor, terlebih jembatan juga masih
berbahan kayu kayu. Melewatinya butuh nyali tambahan. Tapi sekali lagi itu
sungguh menyenangkan, ingin sebenarnya mengenang masa itu kembali tapi itu tak
kan pernah terjadi lagi.
Laguna, yah laguna yang indah
dengan tiga umpak curug. Kali ini sangat ramai dikunjungi orang. Banyak orang
bermandi disana. Beberapa pepohonan juga sudah tidak ada, jadi suasananya telah
berubah menjadi lebih “lenglang”
terbuka tak ada keteduhan lagi.
Air terjun yang ada di sisi
jalan, di samping sebuah tenda kedai kopi itu juga telah sirna. Airnya tinggal
sisa lelah saja, tak ada kucuran memancar seperti tiga tahun yang lalu. Jangan
harap ada lagi “katumbiri” yang warna
warni menghiasinya. Sungguh aku merasa heran kok itu menghilang juga. ada
apa...?
Mungkinkah karena alam sudah
bosan dengan kita, atau sudah tak mau bersahabat lagi. Sungguh miris aku
merasakannya. Entahlah aku masih berharap itu hanya situasional semata. Aamiin.
Tetapi yang jelas tempat ini
sekarang memang sudah lebih terbuka, lebih mudah orang datang kesini.
Implikasinya tentu kealamiahan tempat ini segera akan terus berkurang.
Syukurnya adalah, sempatnya aku mengunjungi ini dikala itu. Jadinya aku bisa
membedakannya dan bisa merasakan keindahan dimasa lalu. Bukan sekedar cerita.
Hal yang masih ada disini adalah,
kepedulian penduduknya terhadap keselamatan pemakai jalan. Dulu sewaktu jalanan
buruk ada beberapa pemuda yang siap membantu kita menaiki terjalnya jalanan
yang licin. Sekarangpun bisa kulihat beberapa penduduk yang sukarela standby
dilokasi-lokasi berbahaya karena longsor, memberi tahu para pengendara dan
mengatur dengan buka tutup jalanan. Tentu amat wajarlah mereka mendapat upah
atas jasanya itu, jangan pelit.
Rancabuaya aku telah kembali
lagi, semoga engkau tak bosan kepadaku. Semoga pula aku juga tak bosan
kepadamu.
Sayang sekali, nampaknya pantai
disana benar-benar tidak dirawat dengan seharusnya. Sampah berserakan, penduduk
juga bahkan menyapu dari halamannya menuju ke pantai. Ah sungguh
biadab...sungguh tak beradab.
0 Komentar