Nyukcruk Carita Baheula
(Cerita Rakyat Tentang Perjuangan Revolusi dan
Gerombolan DI/TII di Situraja Sumedang)
Kemerdekaan
Indonesia ini ternyata tidak didapat dengan mudah begitu saja. Perjuangan untuk
meraihnya adalah suatu hal yang serius dan sungguh-sungguh. Harga yang harus
ditebusnya adalah besar dan bukan remeh-temeh. Amat salah jika kita tidak
bangga dan juga tidak bisa menghargai pengorbanan para leluhur kita. Terutama
dalam hal mengusir penjajahan di negeri ini.
Sesengguhnya
bahwa perjuangan dari segenap anak bangsa dimasa lalu itu begitu penting dan pantas
untuk di renungkan, supaya kita sebagai generasi masa kini bisa belajar dari
mereka. Sungguh-sungguh dalam mengisi dan menjaga kemerdekaan bangsa Indonesia
ini. Menjauhkan Indonesia dari pertengkaran, menghindarkan Indonesia dari
perpecahan, dan membangunkan Indonesia menuju kemajuan dan kesejahteraan
bersama seluruh lapisan masyarakatnya. Dan terutama menjadikan kita semua
penduduk Indonesia yang berjiwa ksatria, bukan berjiwa pecundang.
Kesatria
artinya hidup dengan menjaga nilai keinsanan, ketinggian budi tidak memusuhi
orang dan juga tidak menistakan yang lain. Berjiwa pecundang artinya, bersikap
rendahan. Menipu, memanipulasi, memfitnah, menjelekkan dan hal-hal buruk
lainnya bersifat egois dan bersifat ingin menang dan ingin yang lain kalah. Itulah
antara lain tugas perjuanagan kita di era sekarang ini.
Kesatria
adalah manusia agamis yang menilai segala sesuatu hal baik dan buruk berdasarkan
tolak ukur yang jelas dan yang bersifat mashlahat, bukan menilai segala sesuatu
dari sudut pandang keuntungan pribadi yang setiap orang tentu akan punya
patokan sendiri-sendiri yang cenderung akan merugikan lainnya secara tidak
syah. Kesatria juga adalah jiwa dan sikap hormat kepada orang lain, jiwa
merendah, jiwa persaudaraan, jiwa pemaaf dan sifat-sifat agung lainnya. Bukan sebaliknya
berjiwa pecundang yang egois, yang menghalalkan segala cara, tidak jujur,
menutupi kebenaran, dan sifat-sifat buruk lainnya.
Begitulah
kita seharusnya sebagai anak bangsa ini, janganlah malah kita memandang saudara
sebangsa kita ini dari sisi kesinisan, dari sisi kecemburuan, bukan pula
merendahkan dan menistakan. Justru kita harus memuliakan, menjaga dan
mempersatukan.
Bersama
masyarakat lainnya para pendahulu kita itu saling membantu, saling sokong demi
tercapainya kemerdekaan Indonesia ini.
Pada
masa revolusi misalnya, ketika kaum penjajah hendak kembali menancapkan
kekuatannya di bumi pertiwi. Saat Indonesia sudah menyatakan kemerdekaannya,
saat Indonesia hendak melepaskan diri dari tali penjajahan dan ingin membangun
bangsanya sendiri menuju keadilan dan cita-cita luhur lainnya. Perjuangan belum
berhenti.
Kedatangan
bangsa Belanda kembali ke Indonesia itu jelas telah membangkitkan perlawanan
dari bangsa Indonesia. TNI dan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia maju berjuang
mempertahankan kemerdekaannya dari ancaman penjajahan kembali.
Perjuangan
yang tidak mudah, dan harus mengeluarkan pengorbanan yang tidak sedikit. Bahkan
ribuan nyawa jadi taruhannya.
Pada
saat itulah kita diuji keteguhan dan kesungguhannya dalam mempertahankan
negerinya. Bangsa Indonesia yang kembali harus mengangkat senjata, dan berperang.
Perlawanan
dari TNI bersama rakyat di daerah misalnya.
Sistem
gerilya yang di lakukan oleh Jendral Sudirman di Jawa Tengah, mungkin menjadi
sesuatu yang diterapkan juga diberbagai daerah lainnya dimana tentara Belanda
hendak menancapkan lagi kekuasaannya. Termasuk juga yang terjadi di kampungku.
Diwilayah
kewedanaan Sumedang Tenggara yang meliputi Wado, Darmaraja, Situraja “persaingan/peperangan”
kekuasaan antara pihak TNI dan pihak Belanda juga terjadi sengit. Belanda sudah
menguasai ibukota Sumedang dan wilayah kekuasaan TNI bergeser ke luar kota,
meliputi wilayah tenggara tersebut.
Kalau di barat batasnya adalah desa Ganeas, sementara di Timur adalah kecamatan
Darmaraja.
Wilayah
tersebut adalah wilayahnya kekuasaan TNI yang masih ada saat Belanda sudah
menguasai sebelah barat di kota Sumedang dan di timur dari arah
Wado-Malangbong.
Situraja
menjadi salah satu basis pertahanan TNI diwilayah tersebut. Diwilayah Situraja
ini pihak TNI masih belum dapat ditembus pihak Belanda. Pertahanannya masih
terbilang kokoh. Pertempuran sering tak bisa dihindarkan misalnya pemboman
Belanda dari udara menyasar dari sepanjang Dayeuh Luhur-Ganeas garis lurus sampai
ke utara. Setiap hari dilakukan pemboman yang sporadis, mengakibatkan kerusakan
yang tentu tidak sedikit.
Dayeuh Luhur memang menjadi salah satu basis TNI yang
cukup besar juga, sehingga kekuatan udara harus dikerahkan Belanda.
Karena
kalah peralatan, kalah senjata dan kalah teknologi maka kekuatan TNI semakin
berkurang setiap harinya. Pemboman udara
tersebut tak mendapat perlawanan yang sepadan. Bahkan dari Sumedang meriam
kanon juga diluncurkan ke tapal batas Ganeas tersebut. Berhari-hari, setiap
hari terjadi desakan dari Belanda mengakibatkan pihak TNI harus mundur, ke
tanjakan Sukatali. Disanalah kemudian yang menjadi Pos Keamanan TNI berikutnya.
Namun karena kemudian Belanda semakin gencar melakukan penyerangan yang tidak
bisa diimbangi pihak TNI, tapal batas tersebut juga lama-kelamaan bisa direbut
oleh tentara Belanda. Pasukan Belanda mulanya juga masuk dari Darmaraja.
Sehingga TNI akhirnya mundur lagi dan terpusat di Babakanjati serta menyebar ke
hutan-hutan.
Sampai
kemudian ibukota kecamatan Situraja pun jatuhlah ke tangan Belanda. Dan
dibuatlah markas Belanda disebelah utara Alun-alun Situraja. Semenjak itu maka
basis pertahanan TNI berpindah total ke kampung-kampung dan hutan.
Dan
selama ini, Kampung Babakanjati adalah sebagai markas utama dari TNI. Menempati
sebuah rumah bapak Obseter yang yang menjadi tokoh masyarakat di kampung
tersebut waktu itu. Disanalah segala kegiatan organisasi pertahanan TNI
diselenggarakan. Personil TNI waktu itu antara lain adalah Letnan Herawan,
Letnan Slamet, Pak Rosad, Pak Kushada, Pak Mahdar, Pak Kono, Pak Suhata dll.
Karena
kampung Babakanjati ini masih menjadi basis pertahanan TNI waktu itu juga, maka
sudah barang tentu menjadi salah satu sasaran bidik dari pihak Belanda. Maka
direkrutlah para spy men, mata-mata
untuk kepentingan Belanda dalam menumpas perlawanan TNI dan rakyat Indonesia
terutama yang ada di desa kami dan sekitarnya. Tugas para mata-mata ini adalah
mengumpulkan informasi apa saja yang diperlukan pihak kompeni untuk melumpuhkan
perlawanan bangsa Indonesia disana.
Mata-mata
yang dalam bahasa pewayangannya disebut sebagai kombayana, atau “heho” atau
pihak yang bermuka dua. Kombayana inilah kerjanya mengadukan siapa saja
masyarakat yang pro TNI dan juga membantu TNI dalam berjuang. Ada banyak daftar
dari masyarakat yang dibuat oleh Kombayana ini, dilaporkan ke pihak Belanda.
Semua mereka dicari dan kalau kedapatan maka pasti ditangkap atau dibunuh. Beberapa
kaum pejuang dari masyarakat itu antara lain dari kp. Babakanjati adalah bapak Sarkijan, bpk Sastra (kp.
Kaduheuleut), bpk. Ulis Winata, Kokolot Suldan, bpk, Sukarya Nini Uji, bpk
Sukarya (satunya lagi), bpk Madria dll. Dari Babakan Karangnagngka antara lain
bpk. Barja, Bpk Sanaf dan Bpk Engkib. Belum lagi dari desa Cikadu, Cijeler dan
Ambit. Mereka ini adalah pro TNI yang aktif membantu dan bahu-membahu bersama
TNI. Dan mereka itu semua masuk dalam daftar pencarian dari pihak Belanda. Satu
persatu dari mereka dicari, ditangkap dan bahkan dibunuh. Bapak Engkib
misalnya, beliau gugur ditembak Belanda di daerah Cibogo Ganeas.
“Sanggeus pertahanan di Sukatali
diobrak abrik, TNI di Babakanjati pindah kaleuweung”.
Sejatinya
semenjak jatuhnya pertahanan tapal batas di Sukatali maka pusat kegiatan TNI
tidak lagi menetap di Babakanjati melainkan berpindah-pindah di hutan
(bergerilya dihutan). Kalau siang mereka pergi ke hutan, barulah jika malam
mereka kembali ke kampung atau melakukan penyusupan dan penyerangan ke markas
Belanda di Situraja. Begitulah cara
perjuangan TNI, setelah Belanda bisa menguasai wilayah TNI di Situraja ini.
Pertempuran
TNI melawan Belanda itu tak ubahnya bagai semut melawan gajah. Tak ada perimbangan
kekuatan peralatan perang dan juga dari sisi jumlah personil juga. Sehingga
mayoritas perlawanan dari TNI lebih karena pertahanan semata. Memang pada
moment tertentu berhasil juga untuk merebut beberapa senjata dari Belanda,
tetapi itu nilainya tak seberapa. Karena Belanda tentu didukung oleh biaya yang
besar dan karena niat untuk menjajah kembali Indonesia yang begitu besar.
Namun
walau begitu, bagi masyarakat Indonesia sesungguhnya. Tentara adalah saudara
mereka yang sebenarnya dan hati mereka bersamanya, hanya saja karena sebagai
rakyat yang tak berkekuatan senjata kebanyakan mereka tidak sanggup untuk
melawan Belanda. Sebab kalau berani membangkang secara terbuka maka akibatnya
adalah penembakan atau penyiksaan.
Itu
adalah masa kelam bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Tak berdaya melawan kesombongan
dan kebrutalan kompeni. Nasib sebagai bangsa terjajah bukanlah sesuatu yang
menyenangkan.
Ada
dua orang “heho” (heiho bhs jepang) yang dikenal di wilayah Karangheuleut ini,
yang satunya berhasil dieksekusi pihak TNI dan yang satunya lagi kabur ke luar
daerah menjadi musuh masyarakat waktu itu.
“Salah sahiji warga nu ngahiji jeung
Walanda maotna ditembak TNI, kakuping tilu kali tembakan. Bapak keur heureuy di
buruan aki Sanusi, datang ti landeuh aya limaan anggota TNI, nyaeta bapak Kushada,
bpk. Mahdar, Bapak Kono, sareung bpk. Suhata. Disampeur kulimaan diolo di bawa
ka tonggoheun lembur Sanding di cikadal
meteng. Siganamah diolo da mun di taragal mah ku sigana moal kaangkup kulimaan ge,
matak sigana diolo atawa dibobodo...ku limaan di kawal ti hareup kuduaan, ti tukang ku tiluan. Di
lokasi tos nyampak loba pasukan TNI, ditembak na cangkengna, kalahkah molototan
rek ngambek. Ditembak deui dugi ka tilu kali. Mayatna nembe kapanggih warga
kaisuknakeun. Da meureun pas haritamah warga oge sarieun”.
“Saleresna anggota TNI haritamah teu
meunang gaji, ngan saukur tentara sukarela contohna bapak Engkus sareung bapak
Kono urang Cijeler. Katukangkeuna sanggeus nagara aman aranjeuna duaan alih
profesi jadi guru”.
Dari
pihak warga yang pro membantu perjuangan TNI itu mereka satu persatu dicari,
ditangkap dan di eksekusi. Sebagian tertangkap sebagian lainnya memilih hijrah
ke luar daerah, seperti ke Jakarta atau ke Bandung.
Pernah
kejadian terbunuhnya seorang anggota TNI di sekitar Caringin. Belanda datang
dari arah utara, untuk menyergap TNI yang menurut informan sedang berada di
sekitar Caringin tersebut.
“Ti pihak TNI kenging duaan, salah
sahijina nyaeta warga sipil nu salah lumpat kalah ka ka arah datangna walanda.
Atuh diudag ka leuweung pangangonan, beunang ditembak di na hiji lombang”. Para anggota TNI masuk ke hutan
lainnya dan dikejar pihak Belanda. Salah seorang warga “nyaeta suamina nini Emur urang Batugulung” yang tak tau apa dengan
kejadian menjadi korban penembakan secara semena-mena, “keur aya di lembur malah kena ditembak dipipir bumina nyalira, jadi
korban walanda oge”.
Satu
lagi korban juga kejadian di desa Ambit, saat TNI sedang main bola disana.
Kejadian-kejadian seperti itu adalah soal waktu. Termasuk terhadap semua pihak
yang masuk DPO Belanda, mereka menjadi incaran utama juga.
“Mun aya Patroli Walanda.... leumpang
mapay lembur, unggal warga nu panggih kudu ngucapkeun “Tabe Tuan...!” karek
dianggap baladna”.
“Remen unggal peuting, pihak walanda neangan
aki Madria”.
Setiap
kali Belanda datang ke kampung dan mencarinya, selalu saja tidak ada ditempat.
Sehingga sampai pada suatu hari..........
ada
sepucuk surat panggilan agar bapak Madria segera menghadap ke Markas Belanda di
Situraja.
Pada
hari itu, pagi-pagi benar bapak Madria pun bersiap untuk memenuhi panggilan
Belanda tersebut. Semua yang dirumah menjadi gelisah dan tentu menjadi khawatir
dan juga para tetangga. Semuanya mengiringi dengan doa, dan penuh kepasrahan
karena tak ada lagi yang bisa mereka perbuat selain itu. Biasanya kalau
dipanggil ke Situraja maka ujung-ujungnya adalah bahaya atau dalam ujung kematian.
Pagi
yang mencekam itu bapak Madria pun pergilah “(indit weh pasrah)” dengan membawa dan mengkuatkan keyakinan dan
do’a. Bahkan demi menunjukkan jiwa perjuangan, “memeh angkat ka Situraja eta bapak Madria ngabeukaskeun heula beudil
Cuplis ka langit”.
Dorrr...!, itu jelas membuat mereka yang akan
ditinggalkan tetap tak berkurang rasa khawatir disatu sisi, dan di satu sisi barangkali
itu adalah ekspresi perlawanan dan juga semacam melepas ketegangan supaya dapat
memberi ketegaran kepada bapak Madria
sendiri. Menumbuhkan keberanian sebelum melangkah pergi. Beliaupun akhirnya pergilah
dengan mantap ke Situraja, meliwati kampung-kampung, sungai dan desa.
Sampailah
akhirnya di Situraja di markas tentara Belanda yang sedang galak itu. Yang
sedang kebakaran jenggot itu, yang sedang membawa misi perebutan kembali
Indonesia ini. Yang sedang berkurang rasa toleransi dan kompromi, dari
ketiadaannya itu. Dan yang sedang marah-marahan. Maka tak terbayang apa yang
akan terjadi dengan bapak Madria disana. Habislah cerita ini dan riwayat ini,
itulah yang tetap dalam pikiran keluarga yang menanti di halaman rumah di
Bakanjati dengan cemas sekali.
Do’a
lah bertambah kuat, dzikirlah bertambah khusu’ kepasrahan total kepada Sang
Penguasa seluruh alam ini. Keimanan dan rasa harap yang amat dalam. Puja puji
kepadaNya, sholawat kepada sang nabi akhirulzaman....semua itulah yang menggema
kepada langit kepada angkasa. Tiada daya, tiada upaya melainkan hanya karena kuasa
dan kekuatanNya semata. Innama amruhu idza araada syaian anyaquula lahu kun
fayakun. Bismillahi tawakalna ‘alallahi la haula wala quwwata illa billahil
‘aliyyil adziim. Majreha wamursaha.
Dalam
cemas yang bertambah itu, dalalm ketegangan seluruh keluarga yang menunggu itu.
Hanya Allah lah yang menjadi andalan dan harapan. Tak ada sesuatupun yang
terjadi diluar kuasaNya. Diluar taqdirNya. Maka do’a menjadi senjata pertama
dan senjata berikutnya sampai kemudian menjadi senjata pamungkas juga. Surat
alfatihahpun dibaca, ayat kursy pun diulang-ulang. Begitu jua dengan surat al-ikhlas, al-falaq dan annas. Itulah yang diajarkan
Nabi kita Muhammad SAW.
Sejam
sudah, waktu terasa lama sekali bagai sewindu lebih seminggu. Kurang lebih
demikian adanya. Satu detik bagai lima hari, satu menit bagai tujuh bulan. Lama
sekali menanti karena harap dan cemas yang memuncak. Tiba-tiba bagai ada
halilintar yang menyambar, bagai ada geledek disiang bolong yang tanpa hujan
tiada angin.
Assalamu’alaikum.....
Mata
seakan tak melihat, telinga seakan tak mendengar, tubuh diam seakan terpaku
dalam bumi. Ini pertanyaannya adalah apakah ini nyata...?, apakah ini dalam
sebuah mimpi yang berat...? ataukah bagaimana...?, setiap mata saling
memandang, setiap nafas saling berdegup kencang...
Akhirnyapun
meledak juga....dalam peluk dalam tangis dan dalam haru yang bertumpuk satu
sama lain saling berangkulan.
Kunaon
bapak geuning tos uih deui...?, naha, kenapa,....kumaha...atau bagaimana dan ya
banyak pertanyaan yang tak perlu jawabannya.
Nyatanya
bapak Madria sudah kembali lagi ketengah keluarga dengan tanpa sesuatu kurang
apapun. Itu yang paling penting. Alhamdulillah bapak Madria akhirnya terbebas
dari bahaya dan ancaman kali ini. Kurang lebih hanya satu jam dari interogasi
kompeni.
“Kumaha caritana ieu teh pak...?”, gimana ceritanya...?
Syukur
alhamdulillah ternyata dengan kuasa Allah SWT, tak ada sesuatu yang berbahaya
sama sekali. Semua berjalan dengan baik dan lancar sekali.
Interogator
disana ternyata berlaku sopan, ramah dan penuh hormat. Semua berjalan lancar,
malah diperlakukan dengan baik sekali. Tanpa kata kasar bahkan sebaliknya
dengan tutur kata penuh kesopanan seakan tidak terjadi apa-apa. Bapak Madria pun
dibebaskan dari ancaman dan tuduhan.
“Aneh bapak oge, Sutarna nanyaan ka
bapak, tapi kalahkah nanya nu sopan pisan. Sugan bebentak, poporongos,
bobolotot. Teu, malahmah hade basa sopan someah....matak genah kadanguna, matak
mernah katanyaanna”. Kurang
lebih demikianlah.
“Moal aya sa jam, tos sumping deui ka
Bakanjati.
“Dipariksa di Situraja ku Sutarna,
meureun bapakna boga elmu nu matak
Sutarna jadi leuleuy ge...” ya..mungkin
berkat ilmu keimanan dan do’a tadi barangkali.
“Sumping ka bumi, diceungceurikan ku saeusi
imah....saha anu teu sedih (campur ku bungah oge panginteun)..bakat ku reuwas (sareung
ku rasa syukur siganamah)”.
Tak
sampai satu jam bapak Madria inipun kembali ke kampung ke Bakanjati. Maka semua
pihak dikampungpun terharu dan bersyukur atas kembalinya bapak Madria. Tak
satupun yang tak merasa terharu, terutama bagi sanak keluarga dan bahkan
tetangga.
Hari
ini akan lama terasa. Dari pagi ke dzuhur terasa seharian, dari dzuhur ke asyar
bagai lebih dari sehari. Semua hanya saling berkumpul saja. Makanan dan minuman
akhirnnya disediakan. Sehingga dalam keluarga bisa bersama dan makan bersama.
Alhamdulillah.
Haripun
berganti, siang menjadi malam. Malam kembali menuju siang. Begitulah hari-hari
berlalu masih dalam bayang-bayang cerita. Kisah yang sangat membekas menjadikannya
sebagai sejarah keluarga dalam cerita rakyat. Cerita kecil yang besar nilainya
bagi keluarga. Secuil kisah dari perjuangan rakyat biasa dalam melawan
penjajahan kompeni.
Minggu
sudah berganti bulan, bulan sudah berganti lagi. Keluarga sederhana tetap harus
berlangsung dalam kehidupannya. Dan juga dalam bantuannya kepada perjuangan Tentara
Nasional Indonesia, berjuang dari ancaman kompeni. Itu adalah terkait nasib
kehidupan dan juga terkait nafas dan jiwa raga. Mempertahankan kemerdekaan yang
amat berharga.
Akhirnya
kehidupanpun dimulai dengan lebih normal lagi, karena waktu terus melaju dan
perjuangan telah mendekati kemenangannya. Dari seluruh tumpah darah rakyat
Indonesia, berjuang untuk negerinya. Tapi ini tentu bukan akhir perjuangan.
Belanda belum beranjak dari ibu pertiwi. Tugas bela negara menjadi tanggung
jawab kita semua, rakyat Indonesia.
Dikota, juga di pelosok desa. Dikenal
maupun tidak. Tercatat maupun tidak tercatat dalam buku dalam sejarah. Tujuan
dan niat adalah sama berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Merdeka....!
Berjuta
cerita serupa itu menyebar disegala pelosok negeri. Gema perjuangan untuk tanah
air tercinta.
Kegiatan
bertani, kegiatan lainpun bisa dijalankan lagi seperti sebelumnya. Namun
perjuangan untuk membantu pihak TNI tetap dijalankan. Salah satunya mengirimkan
makanan ke pihak TNI yang bergerilya dipinggir hutan biasanya ketemuan di
daerah Depok tak jauh dari kampung Sanding masih di desa Karangheuleut waktu
itu.
Bisa deui aya kagiatan ngingu sapi
jeung domba,
Unggal isuk, sok nganteuran dahareun
ka TNI ditonggoheun Sanding (astana Depok).
Ti beurang TNI teh caricing di
leuweung, mun peuting karek turun nyerang ka Situraja.
Jika
malam telah tiba, jika letusan senjata mulai terdengar. Seluruh masyarakat “paburicat” berpencar mencari
perlindungan di tempat-tempat yang sudah disiapkan. Dalam lubang-lubang, dalam
goa-goa atau dalam sumur-sumur. Namun tak semuanya, tak selamanya bisa aman.
Tetap saja ada banyak masyarakat yang menjadi korban penembakan atau bahkan
minimal peluru nyasar. Seperti dialami oleh Nini Iti. Beliau terkena serempetan
peluru yang menyasar ke pipi. Begitulah resiko sebagai negeri terjajah.
Pertempuran dan peperangan tidak saja melibatkan korban dari tentara atau orang
bersenjata. Melainkan juga melibatkan banyak warga sipil yang tak bersenjata
dan tak bertameng besi maupun tembaga. Nyawa menjadi taruhan yang bisa terjadi
kapanpun dan dimanapun.
Di daerah lain yang tak jauh
dari kampung kami, di Cibugel misalnya; kejadian serupa juga terjadi. Seperti
dialami seorang warga yang disuruh naik pohon nira, lalu pohon tersebut dibakar
dibawahnya.
Banyak lagi cerita
mengerikan yang mungkin cukup diketahui para orang tua saja. Karena mungkin
terkait aib dan hal-hal yang kurang bagus diceritakan. Kesedihan hanya cukup
untuk bahan konsumsi mereka saja, tidak untuk generasi-generasi sesudahnya. *
Sementara
itu pihak pemerintahan Republik Indonesia berjuang secara diplomatik,
melahirkan perjanjian-perjanjian :
Perjanjian Linggarjati *wikipedia
Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama
Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15
November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut:
·
Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan
wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de
facto paling lambat 1
Januari 1949.
·
Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk
Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satu bagiannya adalah
Republik Indonesia.
·
Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda
dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi
komponennya. Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang terdiri dari
wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen lain.
Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni
Indonesia-Belanda bersama dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan
memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan
dan masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri
sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan
ini akan diselesaikan lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke
pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal 15
November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta,
berlangsung pemarafan secara resmi Perundingan Linggarjati. Sebenarnya Soekarno yang tampil
sebagai kekuasaan yang memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir
yang diidentifikasikan dengan rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada
yang tidak beres.
Agresi Militer I
Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota
Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
1.
Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
2.
Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
3.
Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di
daerahdaerah yang diduduki Belanda;
4.
Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk
daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama);
dan
5.
Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk
mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie
bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di
Republik.
Ketika jawaban
yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus "mengembalikan
ketertiban" dengan "tindakan kepolisian". Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisionil' mereka yang
pertama.
Aksi Belanda
ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan
pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta
dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari
Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang
lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai
semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di
sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang,
dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi
perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan
Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana
Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam
menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.
Menghadapi
aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam
kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi
Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan
untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook,
berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang
lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak
menyukai 'aksi polisional' tersebut serta menggiring Belanda untuk segera
menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
Naiknya Amir Syarifudin sebagai Perdana
Menteri
Setelah
terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, pengganti Sjahrir adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat
sebagai Menteri
Pertahanan. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana
Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada S.M. Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri
Pertahanan kedua. Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir Syarifudin, dia menolak kursi menteri karena "ia belum terlibat dalam
PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi".
S.M. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada Masyumi. Penolakan itu juga
ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang politik pusat.
Akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Indonesia
disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan Belanda. Di samping itu Kartosoewirjo tidak menyukai arah
politik Amir Syarifudin yang kekiri-kirian. Kalau
dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung di
percaturan politik nasional dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri
Pertahanan sangat jelas terlihat bahwa Amir Syarifudin ingin membawa politik
Indonesia ke arah Komunis.
1948
Perjanjian Renville
Sementara
peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas desakan Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal 1 Agustus 1947, dan segera setelah itu
mendirikan suatu Komisi
Jasa-Jasa Baik, yang terdiri dari wakil-wakil
Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan itu .
Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di
atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, ternyata menghasilkan persetujuan
lain, yang bisa diterima oleh yang kedua belah pihak yang berselisih. Akan
terjadi perdamaian yang mempersiapkan berdirinya zone demiliterisasi Indonesia
Serikat akan didirikan, tetapi atas garis yang berbeda dari persetujuan
Linggarjati, karena plebisit akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai
kelompok di pulau-pulau besar ingin bergabung dengan Republik atau beberapa
bagian dari federasi yang direncanakan Kedaulatan Belanda akan tetap atas
Indonesia sampai diserahkan pada Indonesia Serikat.
Pada tanggal
19 Januari ditandatangani persetujuan Renville Wilayah Republik selama masa
peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih terbatas lagi
ketimbang persetujuan Linggarjati : hanya meliputi sebagian kecil Jawa
Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa -Banten tetap
daerah Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk menentukan masa depan
wilayah yang baru diperoleh Belanda lewat aksi militer. Perdana menteri Belanda
menjelaskan mengapa persetujuan itu ditandatangani agar Belanda tidak
"menimbulkan rasa benci Amerika".
Sedikit
banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi selama dan sesudah
perundingan Linggarjati. Seperti melalui persetujuan Linggarjati, melalui
perundingan Renville, Soekarno dan Hatta dijadikan lambang kemerdekaan
Indonesia dan persatuan Yogyakarta hidup lebih lama, jantung Republik terus
berdenyut. Ini kembali merupakan inti keuntungan Seperti sesudah persetujuan
Linggarjati, pribadi lain yang jauh dari pusat kembali diidentifikasi dengan
persetujuan -dulu Perdana Menteri Sjahrir, kini Perdana Menteri Amir- yang
dianggap langsung bertanggung jawab jika sesuatu salah atau dianggap salah.
Runtuhnya Kabinet Amir dan naiknya Mohammad
Hatta sebagai Perdana Menteri
Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya Perjanjian Renville menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir. Seluruh anggota yang tergabung dalam kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatan ketika Perjanjian Renville ditandatangani, disusul kemudian Amir sendiri meletakkan
jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948. Dengan pengunduran dirinya
ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya kabinet baru yang beraliran komunis
untuk menggantikan posisinya. Harapan itu menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain
dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-1949), dimana seluruh
pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Dengan
terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya
mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang
tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari sayap kiri kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap
sebagai oposisi tersebut membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan
mereka dengan pengikut-pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri
yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan
dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Memang
runtuhnya Amir datang bahkan lebih cepat ketimbang Sjahrir, enam bulan lebih
dulu Amir segera dituduh -kembali khususnya oleh Masyumi dan kemudian Partai
Nasional Indonesia- terlalu banyak memenuhi keinginan pihak asing. Hanya empat
hari sesudah Perjanjian Renville ditandatangani, pada tanggal 23 Januari 1948, Amir Syarifudin dan seluruh kabinetnya berhenti. Kabinet baru dibentuk dan susunannya
diumumkan tanggal 29 Januari 1948. Hatta menjadi Perdana Menteri sekaligus tetap memangku
jabatan sebagai Wakil Presiden.
Tampaknya kini
lebih sedikit jalan keluar bagi Amir dibanding dengan Sjahrir sesudah Perundingan Linggarjati; dan lebih banyak penghinaan. Beberapa hari sesudah Amir berhenti, di awal Februari
1948, Hatta membawa Amir dan beberapa pejabat
Republik lainnya mengelilingi Provinsi. Amir diharapkan menjelaskan Perjanjian Renville. Pada rapat raksasa di Bukittinggi, Sumatera Barat, di kota
kelahiran Hatta -dan rupanya diatur sebagai tempat berhenti terpenting
selama perjalanan- Hatta berbicara tentang kegigihan Republik, dan pidatonya disambut
dengan hangat sekali.
Kemudian Amir naik mimbar, dan seperti
diuraikan Hatta kemudian: "Dia tampak bingung, seolah-olah nyaris tidak
mengetahui apa ayang harus dikatakannya. Dia merasa bahwa orang rakyat Bukittinggi
tidak menyenanginya, khususnya dalam hubungan persetujuan dengan Belanda. Ketika dia
meninggalkan mimbar, hampir tidak ada yang bertepuk tangan"
Menurut
peserta lain: "Wajah Amir kelihatannya seperti orang yang sudah tidak
berarti". Sjahrir juga diundang ke rapat
Bukittinggi ini; dia datang dari Singapura dan berpidato. Menurut
Leon Salim -kader lama Sjahrir- "Sjahrir juga kelihatan capai dan
jarang tersenyum". Menurut kata-kata saksi lain, "Seolah-olah
ada yang membeku dalam wajah Sjahrir" dan ketika gilirannya berbicara
"Dia hanya mengangkat tangannya dengan memberi salam Merdeka dan mundur".
Hatta kemudian juga menulis dengan singkat tentang pidato Sjahrir: "Pidatonya
pendek". Dipermalukan seperti ini, secara psikologis amat mungkin
menjadi bara dendam yang menyulut Amir untuk memberontak di kemudian hari.
Perjanjian Renville tidak lebih baik daripada perundingan di Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian,
dan Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya
menyerah. Bulan Juli 1948, Komisi
Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat
mengawasi pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan gencatan
senjata yang berulang-ulang.
1948-1949
Agresi Militer II
Agresi Militer
II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan
serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta
penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh
lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah
Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta
Serangan yang
dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara secara besar-besaran
yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah
Divisi III/GM III -dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah
sipil setempat- berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada
dunia internasional bahwa TNI -berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan
cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam
perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama
untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada
dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai
komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
Perjanjian Roem Royen
Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional melakukan tekanan kepada Belanda, terutama
dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan
menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk kembali
berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen.
Serangan Umum Surakarta
Serangan Umum
Surakarta berlangsung pada tanggal 7-10 Agustus 1949 secara gerilya oleh para
pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa yang berjuang tersebut
kemudian dikenal sebagai tentara pelajar. Mereka berhasil membumihanguskan dan
menduduki markas-maskas Belanda di Solo dan sekitarnya. Serangan itu
menyadarkan Belanda bila mereka tidak akan
mungkin menang secara militer, mengingat Solo yang merupakan kota yang
pertahanannya terkuat pada waktu itu berhasil dikuasai oleh TNI yang secara
peralatan lebih tertinggal tetapi didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh
seorang pemimpin yang andal seperti Slamet Riyadi.
Konferensi Meja Bundar
Konferensi
Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Yang menghasilkan
kesepakatan:
Penyerahan kedaulatan oleh Belanda
Belanda
mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, selang empat tahun setelah proklamasi
kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan
ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani
di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada
kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele
acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalah ilegal.
Sejarah
Nasional: Sumber Wikipedia.
Referensi
4.
^ Friend, Bill personal comment
22 April 2004; Friend,
Theodore (1988). Blue
Eyed Enemy. Princeton University Press. pp. 228 and 237. ISBN 978-0-691-05524-4.;
Nyoman S. Pendit, Bali Berjuang (2nd edn Jakarta:Gunung
Agung, 1979 [original edn 1954]); Reid (1973), page 58,n.25, page 119,n.7, page
120,n.17, page 148,n.25 and n.37; Pramoedya Anwar Toer, Koesalah Soebagyo Toer
and Ediati Kamil Kronik Revolusi Indonesia [Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, vol. I (1945); vol. II (1946) 1999; vol. III (1947); vol. IV
(1948) 2003]; Ann Stoler, Capitalism and Confrontation in Sumatra's Plantation Belt,
1870–1979 (New
Haven:Yale University Press, 1985), p103.; all cited in Vickers (2005), page
100
5.
^ a b c d e f g Pamflet PT KAI menyambut
ulang tahun PT KAI 2015, dipampangkan di Stasiun Yogyakarta
Lanjut Ke Cerita Rakyat :
Ancaman
Gerombolan DI/TII
Begitulah
kronologis kejadiannya sampai akhirnya Belanda meninggalkan tanah Republik
Indonesia. Masyarakat Indonesia sudah
terbebas dari kungkungan dan ancaman Belanda, pun juga dengan warga di kampung
kami. Hanya saja bedanya dikampung kami, keadaan merdeka itu belum lah terjadi
dalam arti sebenarnya, karena ancaman dari hutan masih menghantui, yang sama mengganggu
dan sama merusaknya. Yaitu dari gerombolan Kartosuwiryo.
Lepas
dari jajahan Belanda muncul gerombolan DI/TII. Ketika Belanda sudah mengakui
kemerdekaan Indonesia pada 29 Desember 1949, justru Gerombolan makin
mengkuatkan dirinya dengan serangan-serangan sporadis dan kejam. Pembunuhan pun
terjadi di mana-mana, termasuk di kampung kami dan disekitar kampung kami.
“Haritamah da musuh teh aya dua, nya
walanda nya kitu oge gerombolan”, kitu ceuk carita kolot di lembur.
Kerja
dari gerombolan adalah sama jahatnya dengan kaum imperialis Belanda dan juga
Jepang, perampokan, perampasan dan berbagai pemaksaan lainnya. Ibu dan para
gadis pun bisa jadi target mereka. Seringkali mereka harus bersembunyi, ke “lombang” atau (lubang tanah), kebun dan
atau selokan-selokan.
Orang
tua kita juga menjadi saksi sejarah tersebut, mereka adalah pelaku sejarah.
Setiap malam adalah mencekam karena bahaya selalu mengancam dari kegelapan.
Para anggota DI/TII juga bersenjata api, pembunuhan dan penembakan sering terjadi
dikampung-kampung. Sudah banyak korbannya, bahkan di bacok atau disembelih.
Bahan
pangan, beras termasuk hewan ternak menjadi bagian komoditas yang mereka cari.
Penduduk desa menjadi ketakutan karena mereka tak mampu melawannya berhubung
kedatangan mereka selalu mendadak dan juga dalam jumlah yang banyak dan dengan
persenjataan yang modern pada masanya dan juga karena ada niat kekerasan dari
mereka sendiri. Semua rakyat menjadi serba salah. Kalau bertani belum tentu
memanen, tak bertani apalagi.
“Teu nyawah moal dahar, mun molah ge
cang tangtu ngejo”.
Teu nyawah moal nguyah, teu molah moal
nyeuhah
Teu kabayang sagala ngabalayah...teu
kabayang mewah-mewah
teu kabayang di wayah-wayah
Rahayat jadi pameresan gerombolan,
matak dahar ge hese pisan
Aya tiwul ge geus untung, bieung
teuing isukmah aya deui
Sampeu mah kaasup mahal, komo deui
beas beureum.....
Tong boro boga leuit, boga dapur ge geus
tara ngebul
Tong boro boga duit, boga baju ge tinu
karebul (karung goni)
Pajarkeun mah boga goah, tapi naha teu
boga kuah
Pajar teh boga imah, tapi naha teu sare
ngeunah.
Lamun peuting geus ngarandapan, boro-boro
sare na dipan
Da hatemah asa diburuan
Euweuh lebaran euweh agustusan
Euweuh hiburan euweuh tahun baruan
Tong boro lalajoan, tong boro
bobodoran
Unggal waktu ngan ukur tutungguan
Rek indit rek kamana,
Rek cicing rek kumaha
Kaditu lain kadieu deungeun
Ni asa diteungteuingeun
Moal beja moal carita
Bisina dianggap gila
Moal ucap moal kecap
Bilihkalah ka salah kacap
Keun wae kuring ngahariring
Tibatan jadi geuring
Keun bae ti peuting nyaring
Nupenting kuring teu rungsing
Da bongan sok kitu geuning
Kadenge embe di giring
Tobat teuing ka Gusti Agung
Lamun nguping anu ngalangkung
Asa hate ngajelepung
Kaditu ka leuweung gunung
Tah kitu unggal sare
Teu bisa di hare-hare
Satungtung can aya poe
Ngan bisa ngadeudeupe
Ssst...Jeumpe.....!
Kekuatan
rakyat dengan kampung-kampung yang waktu itu masih jarang penduduknya dan juga
tanpa ada peralatan bersenjata, tentu bukan lawan sebanding buat para
gerombolan. Itu berjalan bertahun-tahun lamanya dari sejak diproklamirkannya
Negara Islam Indonesia oleh Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1949 di gunung
Sawal Ciamis, hingga setidaknya tahun 1956 ketika OKD yang pada masa itu masih
bernama PD (Pemuda Desa) didirikan. Ya, kurang lebih 7 tahun rakyat diperas
tanpa perlawanan. Apalagi sejak merebaknya gerombolan tersebut banyak warga
kampung yang lebih memilih “indit kakota,
ninggalkeun kakaya di desa”. Sehingga kampung-kampung menjadi tambah sepi.
Untuk
meningkatkan perlawanan rakyat maka pada tahun 1957 PD berubah menjadi OKD
(Organisasi Keamanan Desa). Mereka dipersenjatai dengan senapan laras panjang.
Bedil kokang atau dorlok (sakali jedor, sakali colok untuk membuang sisa
proyektil atau selongsong). Diberikan latihan baris-berbaris dan sedikit teori
perang. Dengan tanpa pakaian seragam alias ngoboy...!.
Anggotanya
terdiri dari para pemuda yang masih kuat “kukurusukan”
menembus semak dan hutan, kuat lari dan juga kuat dengan angin malam.
Seperti di kampung kami yang terdiri dari Aki Sadikin sebagai komandan okade dengan
anggotanya antara lain; bapak Karyadi, bpk Jumaim dan juga bpk Aim bin Madria.
Tugas
mereka adalah menghalau setiap pergerakan gerombolan sejak dari perbatasan
kampung, dengan atau tanpa pasukan dari TNI.
Setiap
terjadi kontak senjata, masyarakat bisa membedakan mana suara tentara, mana
suara OKD dan mana suara gerombolan karena masing-masing senapan punya suara
yang berbeda. Jika TNI dengan senapan otomatis seperti garand (geren), bren,
dan sten dengan suaranya “dereded”, OKD dengan dorlok suaranya dor....eureun heula...dor...eureun deui da lila
kudu ngeusi pelor, dan gerombolan dengan “tek dum” yaitu senjata yang
digunakan di Amerika untuk berburu byson suaranya tek dum ketika peluru itu
mengenai benda maka dia kembali meledak yang sangat merusak, sehingga bila
terkena senjata gerombolan biasanya membuat luka yang parah.
Kita
juga heran mereka memiliki persediaan senapan demikian dan juga termasuk
pelurunya, entah siapa yang membawanya dari Amerika. Ya mungkin itu tidak
terlepas dari datangnya sekutu dengan NICA yang hendak kembali menjajah
Indonesia. Upaya memperlemah kekuatan TNI dan juga mengadu domba bangsa
Indonesia. Setali sejalan dengan kemunculan berbagai pemberontakan di tanah air
waktu itu. Menyelam sambil minum air, barangkali begitu strategi musuh
Indonesia. Sebab itu terindikasi dari kepemilikan senapan yang digunakan
DI/TII. Dan juga kita tahu bagaimana strategi Belanda selama ini yang suka
mengadu domba antar kekuatan yang ada di Indonesia demi mengambil keuntungan
bagi mereka sendiri.
Devide
et impera. Seperti belah bambu, yang satu diangkat, ketika sudah diatas maka
dilepaskan supaya kedua bagiannya beradu dengan keras, sehingga keduanya
menjadi pecah.
Ki
Ikin (Sadikin) adalah komandan OKD yang ada di desa Karangheuleut memang tergolong
seorang yang kuat dan berani. Pada malam-malam tertentu adalah bertugas memata-matai
dan mengintip markas gerombolan di Bangbayang (kampung yang ada dipinggir hutan
dan sebagai basis DI/TII terdekat), pergi seorang diri mengendap meliwati
jalan-jalan tikus menembus hutan dan kebun-kebun. Sehingga bisa begitu dekat
dengan kumpulan gerombolan yang sedang ngobrol atau rapat. Bahkan bisa
mendengarkan apa pembicaraan mereka dan apa saja rencana dari DI/TII dalam
banyak kesempatan, sehingga pihak OKD dapat mengantisipasi sebelumnya.
Namun
tentu tidak semua rencana bisa diketahui, karena tak bisa lah aki Ikin terus
menguntit kegiatan mereka. Beberapa rencana bisa diketahui, kebanyakan lainnya
tidak.
Belasan
tahun dalam kekacauan dari gerombolan tentu, sudah tak terhitung
kejadian-kejadian yang menimpa masyarakat dikampung-kampung. Apalagi
sesungguhnya DI/TII ini sudah ada sebelum Indonesia merdeka di tahun 1945, karena
benih-benih DI/TII sudah ada sejak jaman penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Namun kekuatan besarnya baru kemudian muncul setelah perjanjian Renville pada
tanggal 8 Desember 1947 ditandatangani, dimana waktu itu pasukan TNI harus
meninggalkan Jawa Barat yang dikuasai Belanda menuju Yogyakarta. Banyak
pendukung Kartosuwiryo yang keluar dari barisan TNI dan bergabung DI/TII untuk
membentuk Darul Islam. Maka tidak heran kalau pasukan DI/TII ini mahir dalam
bergerilya dan berperang, karena banyak interniran TNI.
Selain itu persenjataan
DI/TII juga banyak didapat dari pencurian dari markas TNI. Dan pemberontakan
DI/TII ini juga terjadi tidak terlepas dari asal muasal sejarah yang melatar
belakangi dan kekecewaan Kartosuwiryo dkk karena waktu itu para tokoh Nasional Indonesia
lebih memilih diplomasi ketimbang kekuatan senjata dalam melawan Belanda.
Sementara Kartosuwiryo dkk menghendaki pergerakan bersenjata. Itu yang menjadi
alasan dan atau alibi dari kaum DI/TII di masa-masa awal keberadaan mereka.
Namun
kemudian kita ketahui itu hanyalah sebagai tameng aling-aling atau alasan yang
dibuat agar mendapat simpati atau dukungan masyarakat luas. Dan sehingga banyak
masyarakat tertentu pada mulanya yang tertarik bergabung dan mendukung DI/TII.
Namun setelah diketahui motif utamanya untuk kekuasaan dan kegiatan yang
merampok, maka masyarakat balik membenci mereka. Dan kurang tepat bila disebut
dalam rangka Kongres, ka TNI nyokong ka Gerombolan beres. Itu terlalu
menyakitkan bagi masyarakat disini, sebab yag dilakukan gerombolan adalah
perampokan, perampasan dan kekerasan-kekerasan. Sehingga banyak korban jiwa
diantara rakyat.
Pada
tahun 1959 misalnya gerombolan DI/TII
dengan kejamnya membantai lebih dari 100 penduduk di Cibugel. Penyerangan
melalui jalur Cibugel-Bangbayang ke kampung-kampung di sekitarnya menjadi
semakin gencar. Termasuk ke kampung Babakanjati.
Saat itu kejadian di Cibugel
sungguh mencekam bagi rakyat setempat. Seperti cerita dari ma warung bapak
Adang bin alm. Letkol Sadi yang jualan nasi di Jl. Kurdi Bandung yang keduanya asli
Cibugel, bahwa pamannya sendiri menjadi korban pembantaian di Cibugel itu. Para
korban bergelimpangan di Kayuputih yaitu sekitar kantor kecamatan Cibugel saat
ini. Tak bedanya seperti korban tsunami, mereka diangkat dengan “taraje”
(tangga bambu) untuk dikebumikan. Lebih 100 orang meninggal secara bersamaan.
Kekejaman-kekejaman DI/TII
sungguh sangat sadis, membuat masyarakat benar-benar terancam tiap waktu.
Mereka sembunyi di “balong”, ditembaki juga hingga tak ada ampun. Untunglah si
Ema bisa selamat karena disembunyikan orangtuanya dibawah “tampian” (pancuran
tempat mandi di balong). Mereka menjadi saksi kematian aki Jangkung yang tadi
ditembak dikepalanya hingga hancur berdarah-darah dibalong yang sama. Karena aki Jangkung kepergok dan masih
ketahuan dari siluet malam itu.
Kebengisan gerombolan
sungguh tak bisa dimaafkan, bagaimana tidak seorang ibu hamil pun dibunuhnya,
lalu perutnya di cabik dan bayinya dikeluarkan dimasukkan kedalam baskom
beserta “peujit”/usus ibunya yang amburadul. Seorang lainnya dibunuh, dipenggal
kepalanya, lalu direbus hingga tinggal tulang belulang dan ditenteng dijadikan tontonan.
Itulah kehororan yang diperlihatkan oleh gerombolan didepan rakyat Cibugel.
Di waktu yang lain di
Cibugel ini, sekeluarga dari rakyat meninggal karena lubang persembunyiannya
(“bewak”) dibakar dengan bakaran kasur diatasnya sehingga mereka didalamnya
kehabisan oksigen.
Para lelaki dicari, diciduk
lalu diberendel dengan kejam. Kekejaman itulah sangat membekas didalam benak masyarakat
Cibugel dan sekitarnya, seperti diceritkan Ma Adang kali ini.
Seperti
melawan Belanda, dalam menghadapi kaum gerombolan inipun kita dihadapkan dengan
kelompok pengkhianat atau ular berkepala dua. Ada minimal dua orang mata-mata
dari masyarakat Bangbayang yang menjadi kaki tangan DI/TII. Salah satu namanya
adalah Kandi.
Kombayana
yang sebagai musang berbulu domba itu. Salah satu tugasnya adalah sebagai
penunjuk jalan bagi gerombolan dalam setiap operasinya. Dengan menggunakan jasa
kombayana itu membuat para gerombolan DI/TII seringkali bisa menghindar dari
sergapan TNI dan OKD. Karena mereka bisa segera lari dan lenyap kedalam hutan
dalam sekejap.
Berulang
kali para gerombolan ini bisa menjarah dikampung-kampung yang tidak terjaga
oleh keamanan yang masih minim saat itu. Sehingga mereka tetap bisa bertahan
selama belasan tahun di hutan-hutan. Mereka akan datang ketempat yang disitu
ada makanan dan hasil panen, merekalah yang mengklaim atas semua hasil bumi/hasil
panen apapun dan sebanyak yang mereka inginkan. Termasuk juga hasil ternak,
sapi domba, kambing, ayam, itik dll.
Mata-mata
yang berwajah dua ini, tentu saja bisa keluar masuk kekampung-kampung atau ke
kota kecamatan dengan bebas tanpa dicurigai masyarakat. Menjadi pencari
informasi ke daerah mana yang akan panen, dan mengetahui siapa saja musuh
DI/TII yang ada di tengah masyarakat atau kekuatan-kekuatan lain yang bisa
mengancam eksistensi DI/TII.
Sejak itulah maka dengan segala taktik spionase ini perjuanagn
TNI menjadi semakin mudah. Semakin banyak gerombolan yang bisa tertangkap atau terbunuh.
Banyak penyergapan juga berhasil dari peran mata-mata ini.
Suatu
malam diadakan penyergapan terhadap gerombolan, seperti biasa para anggota TNI
mengendap dan tiarap. Dalam kekacauan malam yang gelap, bapak Aim yang saat itu
sedang tiarap menceritakan bahwa dirinya terinjak pasukan gerombolan yang lari pontang
panting setelah mereka mengetahui keberadaan TNI dan OKD disana.
Kejadiannya
yaitu di daerah Caringin Dengkang, yaitu suatu tempat yang memang biasa
dijadikan tempat penyergapan karena lokasinya yang sangat strategis. Jalur
jalan yang ada memang menyempit disana. Di sisi timur berupa gawir/tebing dan
lembah yang curam yang banyak ditumbuhi danas sabrang yang berdaun tajam pada
masa itu, sehingga itu menjadi sulit dilalui dan menjadi benteng alami. Terus di
sebelah barat adalah hutan atau pangangonan yang sempit dan menurun tempatnya.
Sehingga ini adalah jalur utama orang yang datang dari dan menuju ke
Bangbayang. Dari kampung Bangbayang itulah biasanya kedatangan gerombolan yang
akan menuju ke kampung-kampung dibawahnya ke arah utara. Dan pada malam
tersebut TNI bersama OKD berhasil membunuh dua orang dari anggota DI/TII.
Para
gerombolanpun akhirnya kembali ke hutan dengan tangan kosong dan kerugian nyawa
anggotanya. Semenjak menggunakan jasa mata-mata itulah, kita bisa sedikit
berjaya.
Dalam
teknisnya penyergapan tentu dibuat kode-kode atau isyarat agar TNI dan OKD tak
salah sasaran kepada Kandi sebagai mata-mata mereka. Ada teknisnya. Sehabis
penyergapan, pihak TNI pun membiarkan Kandi kembali lepas ke Bangbayang kembali
ketengah-tengah gerombolan. Itu dengan tanpa disadari oleh mereka. Banyak rencana
DI/TII menjadi bocor dan dapat diketahui oleh pihak TNI dan OKD. Beberapa
operasi memang gagal, tapi beberapa penyergapan lainnya berhasil.
Kandi
yang juga bertindak sebagai guide, berjalan dalam kelompok gerombolan dapat
diketahui dari dua hal. Pertama biasanya dia berjalan diposisi paling depan dan
ciri utamanya adalah terdapat ikat di kepala dari kain berwarna merah.
“mastaka simkuring dibeungkeut lawon beureum
eta ciri abdi, kitu ceuk bah Kandi ka TNI”.
Sehingga
ketika TNI dan OKD menyergap gerombolan, bapak Kandi bisa teridentifikasi dan bisa
terhindar dari penyerangan. Ketika dalam penyergapan sering kali bahkan bapak
Kandi ini berbalik dan berlindung di pihak Tentara. Karena gelapnya malam tentu
perbuatan Kandi tidak bisa diketahui musuh. Setelah selesai pertempuran atau
penyergapan, anggota gerombolan “paburicat”
kabur kemudian bapak Kandipun dilepas kembali supaya mengikuti mereka.
Begitulah
sampai beberapa kali penyergapan.
Namun
pada ahirnya pihak gerombolan bisa mencium gelagat tidak beres dan akhirnya diancamlah
bapak Kandi ini. Oleh sebab itu suatu hari walau dengan berat hati, bapak Kandi
dan keluarga pun akhirnya pindah dari Bangbayang dan memilih mengembara ke kota
Bandung.
Gangguan
dari gerombolan ini sungguh telah membuat masyarakat Jawa Barat tetap dalam
kondisi peperangan. Berlangsung 13 tahun lamanya (1949-1962) dan menelan
kerugian yang cukup banyak.
Maka
untuk menuntaskan misi pemberantasan DI/TII, pada sekira tahun 1960-an TNI dari
Divisi Siliwangi melakukan operasi besar-besaran dan terstruktur dengan taktik
tertentu.
Sekian
tahun Jawa Barat dibiarkan karena ditinggal Siliwangi dan dalam kekuasaan
Belanda. Sehingga para gerombolan sangat leluasa dalam melakukan perampokan dan
kejahatan-kejahatannya.
Akhirnya
tentara Siliwangi yang dari Yogyakarta bisa kembali pulang ke Jawa Barat,
sehingga hal tersebut membuat kekhawatiran tersendiri dari pihak pemberontak
DI/TII.
Terjadilah
ucapan selamat datang dari DI/TII dalam suatu pertempuran dengan TNI.
Pertempuran
yang menelan korban dari kedua belah pihak tentunya. Itu menjadi titik awal
pemikiran pemerintah untuk segera dapat mengakhiri kekacauan di tanah Pasundan
ini. lalu diadakanlah pendekatan musyawarah untuk dicapai kesepakatan. Namun
itu semua gagal. Dan akhirnya diputuskan untuk operasi militer besar-besaran.
Pager Betis (1960-1962).
Pager
Betis adalah sistem pertahanan sekaligus bentuk strategi untuk menumpas
gerombolan DI/TII yang operasinya berbasis dari dalam hutan. Dengan Pager Betis
ini pihak TNI dan Masyarakat bisa mencegah para gerombolan bisa lolos keluar
dari hutan memasuki kampung-kampung.
Konsepnya
adalah “paningkeran” atau operasi
pengepungan, atau dibuat pos-pos penjagaan diseluruh kawasan hutan tempat
basisnya DI/TII terutama di tatar Priangan dari Ciamis, Tasik, Garut dan
Sumedang. Hutan-hutan diblokade dalam setiap sisinya dengan bantuan OKD yang
kemudian berganti nama pada tahun 1961 menjadi OPR (Organisasi Pertahanan
Rakyat) dan juga lapisan masyarakat lainnya. Sehingga ruang gerak DI/TII
semakin terjepit dan semakin lama semakin kesulitan. Akomodasi dan bahan pangan
yang biasanya didapat dari perampokan, kini tiada lagi. Jelas mereka akan
kelaparan dengan seiring waktu.
Sekian
tahun perjuangan rakyat Jawa Barat bersama TNI akhirnya mendapat
keberhasilannya. Syukurlah sejak hancurnya DI/TII ini maka kita bisa lebih aman
lagi dan bisa mengejar ketertinggalan dari masyarakat lainnya di Indonesia.
Dalam segala bidang, kini masyarakat Jawa Barat juga bisa ikut berperan dan
membangun bangsanya.
Jelas
bahwa banyak warga yang menjadi korban pembunuhan DI/TII ini. Kungkungan dari gerombolan
ini terjadi bertahun-tahun lamanya. Sehingga warga di kampung kami belumlah
genap benar dalam kemerdekaan bangsanya. Pendidikan dan perekonomian jadi
terganggu, menjadikan tetap terbelakang dalam kebodohan, kemiskinan, dan
ketidak amanan.
Kini
semua itu sudah berlalu. Kami bisa lebih sejajar dengan saudara kami lainnya,
terutama dalam merasakan hawa kemerdekaannya. amin.
Sekian.
Catatan Kaki :
1. Sumber cerita Primer Saur Sepuh
2. Referensi Lain (Wikipedia)
*cerita Ma Warung Nasi bapak Adang Kurdi Bandung
2. Referensi Lain (Wikipedia)
*cerita Ma Warung Nasi bapak Adang Kurdi Bandung
**cerita dari sumber primer , Ma Warung Kurdi (13-02-2017)
0 Komentar