DI TII di KAMPUNGKU




Nyukcruk Carita Baheula

(Cerita Rakyat Tentang Perjuangan Revolusi dan Gerombolan DI/TII di Situraja Sumedang)




Kemerdekaan Indonesia ini ternyata tidak didapat dengan mudah begitu saja. Perjuangan untuk meraihnya adalah suatu hal yang serius dan sungguh-sungguh. Harga yang harus ditebusnya adalah besar dan bukan remeh-temeh. Amat salah jika kita tidak bangga dan juga tidak bisa menghargai pengorbanan para leluhur kita. Terutama dalam hal mengusir penjajahan di negeri ini.

Sesengguhnya bahwa perjuangan dari segenap anak bangsa dimasa lalu itu begitu penting dan pantas untuk di renungkan, supaya kita sebagai generasi masa kini bisa belajar dari mereka. Sungguh-sungguh dalam mengisi dan menjaga kemerdekaan bangsa Indonesia ini. Menjauhkan Indonesia dari pertengkaran, menghindarkan Indonesia dari perpecahan, dan membangunkan Indonesia menuju kemajuan dan kesejahteraan bersama seluruh lapisan masyarakatnya. Dan terutama menjadikan kita semua penduduk Indonesia yang berjiwa ksatria, bukan berjiwa pecundang.

Kesatria artinya hidup dengan menjaga nilai keinsanan, ketinggian budi tidak memusuhi orang dan juga tidak menistakan yang lain. Berjiwa pecundang artinya, bersikap rendahan. Menipu, memanipulasi, memfitnah, menjelekkan dan hal-hal buruk lainnya bersifat egois dan bersifat ingin menang dan ingin yang lain kalah. Itulah antara lain tugas perjuanagan kita di era sekarang ini.

Kesatria adalah manusia agamis yang menilai segala sesuatu hal baik dan buruk berdasarkan tolak ukur yang jelas dan yang bersifat mashlahat, bukan menilai segala sesuatu dari sudut pandang keuntungan pribadi yang setiap orang tentu akan punya patokan sendiri-sendiri yang cenderung akan merugikan lainnya secara tidak syah. Kesatria juga adalah jiwa dan sikap hormat kepada orang lain, jiwa merendah, jiwa persaudaraan, jiwa pemaaf dan sifat-sifat agung lainnya. Bukan sebaliknya berjiwa pecundang yang egois, yang menghalalkan segala cara, tidak jujur, menutupi kebenaran, dan sifat-sifat buruk lainnya.

Begitulah kita seharusnya sebagai anak bangsa ini, janganlah malah kita memandang saudara sebangsa kita ini dari sisi kesinisan, dari sisi kecemburuan, bukan pula merendahkan dan menistakan. Justru kita harus memuliakan, menjaga dan mempersatukan.

Bersama masyarakat lainnya para pendahulu kita itu saling membantu, saling sokong demi tercapainya kemerdekaan Indonesia ini.

Pada masa revolusi misalnya, ketika kaum penjajah hendak kembali menancapkan kekuatannya di bumi pertiwi. Saat Indonesia sudah menyatakan kemerdekaannya, saat Indonesia hendak melepaskan diri dari tali penjajahan dan ingin membangun bangsanya sendiri menuju keadilan dan cita-cita luhur lainnya. Perjuangan belum berhenti.

Kedatangan bangsa Belanda kembali ke Indonesia itu jelas telah membangkitkan perlawanan dari bangsa Indonesia. TNI dan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia maju berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari ancaman penjajahan kembali.
Perjuangan yang tidak mudah, dan harus mengeluarkan pengorbanan yang tidak sedikit. Bahkan ribuan nyawa jadi taruhannya.

Pada saat itulah kita diuji keteguhan dan kesungguhannya dalam mempertahankan negerinya. Bangsa Indonesia yang kembali harus mengangkat senjata, dan berperang.

Perlawanan dari TNI bersama rakyat di daerah misalnya.
Sistem gerilya yang di lakukan oleh Jendral Sudirman di Jawa Tengah, mungkin menjadi sesuatu yang diterapkan juga diberbagai daerah lainnya dimana tentara Belanda hendak menancapkan lagi kekuasaannya. Termasuk juga yang terjadi di kampungku.

Diwilayah kewedanaan Sumedang Tenggara yang meliputi Wado, Darmaraja, Situraja “persaingan/peperangan” kekuasaan antara pihak TNI dan pihak Belanda juga terjadi sengit. Belanda sudah menguasai ibukota Sumedang dan wilayah kekuasaan TNI bergeser ke luar kota, meliputi wilayah tenggara  tersebut. Kalau di barat batasnya adalah desa Ganeas, sementara di Timur adalah kecamatan Darmaraja.

Wilayah tersebut adalah wilayahnya kekuasaan TNI yang masih ada saat Belanda sudah menguasai sebelah barat di kota Sumedang dan di timur dari arah Wado-Malangbong.
Situraja menjadi salah satu basis pertahanan TNI diwilayah tersebut. Diwilayah Situraja ini pihak TNI masih belum dapat ditembus pihak Belanda. Pertahanannya masih terbilang kokoh. Pertempuran sering tak bisa dihindarkan misalnya pemboman Belanda dari udara menyasar dari sepanjang Dayeuh Luhur-Ganeas garis lurus sampai ke utara. Setiap hari dilakukan pemboman yang sporadis, mengakibatkan kerusakan yang tentu tidak sedikit. 

Dayeuh Luhur memang menjadi salah satu basis TNI yang cukup besar juga, sehingga kekuatan udara harus dikerahkan Belanda.

Karena kalah peralatan, kalah senjata dan kalah teknologi maka kekuatan TNI semakin berkurang setiap harinya. Pemboman  udara tersebut tak mendapat perlawanan yang sepadan. Bahkan dari Sumedang meriam kanon juga diluncurkan ke tapal batas Ganeas tersebut. Berhari-hari, setiap hari terjadi desakan dari Belanda mengakibatkan pihak TNI harus mundur, ke tanjakan Sukatali. Disanalah kemudian yang menjadi Pos Keamanan TNI berikutnya. Namun karena kemudian Belanda semakin gencar melakukan penyerangan yang tidak bisa diimbangi pihak TNI, tapal batas tersebut juga lama-kelamaan bisa direbut oleh tentara Belanda. Pasukan Belanda mulanya juga masuk dari Darmaraja. Sehingga TNI akhirnya mundur lagi dan terpusat di Babakanjati serta menyebar ke hutan-hutan.

Sampai kemudian ibukota kecamatan Situraja pun jatuhlah ke tangan Belanda. Dan dibuatlah markas Belanda disebelah utara Alun-alun Situraja. Semenjak itu maka basis pertahanan TNI berpindah total ke kampung-kampung dan hutan.

Dan selama ini, Kampung Babakanjati adalah sebagai markas utama dari TNI. Menempati sebuah rumah bapak Obseter yang yang menjadi tokoh masyarakat di kampung tersebut waktu itu. Disanalah segala kegiatan organisasi pertahanan TNI diselenggarakan. Personil TNI waktu itu antara lain adalah Letnan Herawan, Letnan Slamet, Pak Rosad, Pak Kushada, Pak Mahdar, Pak Kono, Pak Suhata dll.

Karena kampung Babakanjati ini masih menjadi basis pertahanan TNI waktu itu juga, maka sudah barang tentu menjadi salah satu sasaran bidik dari pihak Belanda. Maka direkrutlah para  spy men, mata-mata untuk kepentingan Belanda dalam menumpas perlawanan TNI dan rakyat Indonesia terutama yang ada di desa kami dan sekitarnya. Tugas para mata-mata ini adalah mengumpulkan informasi apa saja yang diperlukan pihak kompeni untuk melumpuhkan perlawanan bangsa Indonesia disana.

Mata-mata yang dalam bahasa pewayangannya disebut sebagai kombayana, atau “heho” atau pihak yang bermuka dua. Kombayana inilah kerjanya mengadukan siapa saja masyarakat yang pro TNI dan juga membantu TNI dalam berjuang. Ada banyak daftar dari masyarakat yang dibuat oleh Kombayana ini, dilaporkan ke pihak Belanda. Semua mereka dicari dan kalau kedapatan maka pasti ditangkap atau dibunuh. Beberapa kaum pejuang dari masyarakat itu antara lain dari kp. Babakanjati  adalah bapak Sarkijan, bpk Sastra (kp. Kaduheuleut), bpk. Ulis Winata, Kokolot Suldan, bpk, Sukarya Nini Uji, bpk Sukarya (satunya lagi), bpk Madria dll. Dari Babakan Karangnagngka antara lain bpk. Barja, Bpk Sanaf dan Bpk Engkib. Belum lagi dari desa Cikadu, Cijeler dan Ambit. Mereka ini adalah pro TNI yang aktif membantu dan bahu-membahu bersama TNI. Dan mereka itu semua masuk dalam daftar pencarian dari pihak Belanda. Satu persatu dari mereka dicari, ditangkap dan bahkan dibunuh. Bapak Engkib misalnya, beliau gugur ditembak Belanda di daerah Cibogo Ganeas.  

“Sanggeus pertahanan di Sukatali diobrak abrik, TNI di Babakanjati pindah kaleuweung”.
Sejatinya semenjak jatuhnya pertahanan tapal batas di Sukatali maka pusat kegiatan TNI tidak lagi menetap di Babakanjati melainkan berpindah-pindah di hutan (bergerilya dihutan). Kalau siang mereka pergi ke hutan, barulah jika malam mereka kembali ke kampung atau melakukan penyusupan dan penyerangan ke markas Belanda di Situraja. Begitulah cara perjuangan TNI, setelah Belanda bisa menguasai wilayah TNI di Situraja ini.

Pertempuran TNI melawan Belanda itu tak ubahnya bagai semut melawan gajah. Tak ada perimbangan kekuatan peralatan perang dan juga dari sisi jumlah personil juga. Sehingga mayoritas perlawanan dari TNI lebih karena pertahanan semata. Memang pada moment tertentu berhasil juga untuk merebut beberapa senjata dari Belanda, tetapi itu nilainya tak seberapa. Karena Belanda tentu didukung oleh biaya yang besar dan karena niat untuk menjajah kembali Indonesia yang begitu besar.

Namun walau begitu, bagi masyarakat Indonesia sesungguhnya. Tentara adalah saudara mereka yang sebenarnya dan hati mereka bersamanya, hanya saja karena sebagai rakyat yang tak berkekuatan senjata kebanyakan mereka tidak sanggup untuk melawan Belanda. Sebab kalau berani membangkang secara terbuka maka akibatnya adalah penembakan atau penyiksaan.

Itu adalah masa kelam bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Tak berdaya melawan kesombongan dan kebrutalan kompeni. Nasib sebagai bangsa terjajah bukanlah sesuatu yang menyenangkan. 

Maka beruntunglah kita saat ini yang telah menjadi negara merdeka. Bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya didunia. Untuk itu perlu kiranya kita memperkuat rasa persatuan Indonesia agar kemerdekaan ini tetap ada dan kita bisa lebih membangun kearah kemajuan. Amin.

Ada dua orang “heho” (heiho bhs jepang) yang dikenal di wilayah Karangheuleut ini, yang satunya berhasil dieksekusi pihak TNI dan yang satunya lagi kabur ke luar daerah menjadi musuh masyarakat waktu itu.

“Salah sahiji warga nu ngahiji jeung Walanda maotna ditembak TNI, kakuping tilu kali tembakan. Bapak keur heureuy di buruan aki Sanusi, datang ti landeuh aya limaan anggota TNI, nyaeta bapak Kushada, bpk. Mahdar, Bapak Kono, sareung bpk. Suhata. Disampeur kulimaan diolo di bawa ka tonggoheun lembur Sanding  di cikadal meteng. Siganamah diolo da mun di taragal mah ku sigana moal kaangkup kulimaan ge, matak sigana diolo atawa dibobodo...ku limaan di kawal  ti hareup kuduaan, ti tukang ku tiluan. Di lokasi tos nyampak loba pasukan TNI, ditembak na cangkengna, kalahkah molototan rek ngambek. Ditembak deui dugi ka tilu kali. Mayatna nembe kapanggih warga kaisuknakeun. Da meureun pas haritamah warga oge sarieun”.

“Saleresna anggota TNI haritamah teu meunang gaji, ngan saukur tentara sukarela contohna bapak Engkus sareung bapak Kono urang Cijeler. Katukangkeuna sanggeus nagara aman aranjeuna duaan alih profesi jadi guru”.

Dari pihak warga yang pro membantu perjuangan TNI itu mereka satu persatu dicari, ditangkap dan di eksekusi. Sebagian tertangkap sebagian lainnya memilih hijrah ke luar daerah, seperti ke Jakarta atau ke Bandung.

Pernah kejadian terbunuhnya seorang anggota TNI di sekitar Caringin. Belanda datang dari arah utara, untuk menyergap TNI yang menurut informan sedang berada di sekitar Caringin tersebut.

“Ti pihak TNI kenging duaan, salah sahijina nyaeta warga sipil nu salah lumpat kalah ka ka arah datangna walanda. Atuh diudag ka leuweung pangangonan, beunang ditembak di na hiji lombang”. Para anggota TNI masuk ke hutan lainnya dan dikejar pihak Belanda. Salah seorang warga “nyaeta suamina nini Emur  urang Batugulung” yang tak tau apa dengan kejadian menjadi korban penembakan secara semena-mena, “keur aya di lembur malah kena ditembak dipipir bumina nyalira, jadi korban walanda oge”.

Satu lagi korban juga kejadian di desa Ambit, saat TNI sedang main bola disana. Kejadian-kejadian seperti itu adalah soal waktu. Termasuk terhadap semua pihak yang masuk DPO Belanda, mereka menjadi incaran utama juga.

Kalau malam menjelang mereka pergi dari rumah untuk sembunyi, karena hampir tiap malam mereka selalu diintai dan dicari pihak Belanda. Mereka sembunyi ditempat-tempat rahasia mereka, mungkin di hutan atau mungkin di dekat hutan. Seperti kisah bapak Madria yang kalau “sareupna” menjelang malam tiba beliau dengan ditemani anaknya pergi ke pinggiran kampung di Lio untuk bersembunyi. Beliau berdua tidur dan bersembunyi disana disebuah “pamakanan” kandang Sapi (dipamakanan sapi) milik ki Sarhani. Begitulah dijalaninya setiap hari.

“Mun aya Patroli Walanda.... leumpang mapay lembur, unggal warga nu panggih kudu ngucapkeun “Tabe Tuan...!” karek dianggap baladna”.
“Remen unggal peuting, pihak walanda neangan aki Madria”.

Setiap kali Belanda datang ke kampung dan mencarinya, selalu saja tidak ada ditempat. Sehingga sampai pada suatu hari..........

ada sepucuk surat panggilan agar bapak Madria segera menghadap ke Markas Belanda di Situraja.

Pada hari itu, pagi-pagi benar bapak Madria pun bersiap untuk memenuhi panggilan Belanda tersebut. Semua yang dirumah menjadi gelisah dan tentu menjadi khawatir dan juga para tetangga. Semuanya mengiringi dengan doa, dan penuh kepasrahan karena tak ada lagi yang bisa mereka perbuat selain itu. Biasanya kalau dipanggil ke Situraja maka ujung-ujungnya adalah bahaya atau dalam ujung kematian.

Pagi yang mencekam itu bapak Madria pun pergilah “(indit weh pasrah)” dengan membawa dan mengkuatkan keyakinan dan do’a. Bahkan demi menunjukkan jiwa perjuangan, “memeh angkat ka Situraja eta bapak Madria ngabeukaskeun heula beudil Cuplis ka langit”

Dorrr...!, itu jelas membuat mereka yang akan ditinggalkan tetap tak berkurang rasa khawatir disatu sisi, dan di satu sisi barangkali itu adalah ekspresi perlawanan dan juga semacam melepas ketegangan supaya dapat  memberi ketegaran kepada bapak Madria sendiri. Menumbuhkan keberanian sebelum melangkah pergi. Beliaupun akhirnya pergilah dengan mantap ke Situraja, meliwati kampung-kampung, sungai dan desa.

Sampailah akhirnya di Situraja di markas tentara Belanda yang sedang galak itu. Yang sedang kebakaran jenggot itu, yang sedang membawa misi perebutan kembali Indonesia ini. Yang sedang berkurang rasa toleransi dan kompromi, dari ketiadaannya itu. Dan yang sedang marah-marahan. Maka tak terbayang apa yang akan terjadi dengan bapak Madria disana. Habislah cerita ini dan riwayat ini, itulah yang tetap dalam pikiran keluarga yang menanti di halaman rumah di Bakanjati dengan cemas sekali.

Do’a lah bertambah kuat, dzikirlah bertambah khusu’ kepasrahan total kepada Sang Penguasa seluruh alam ini. Keimanan dan rasa harap yang amat dalam. Puja puji kepadaNya, sholawat kepada sang nabi akhirulzaman....semua itulah yang menggema kepada langit kepada angkasa. Tiada daya, tiada upaya melainkan hanya karena kuasa dan kekuatanNya semata. Innama amruhu idza araada syaian anyaquula lahu kun fayakun. Bismillahi tawakalna ‘alallahi la haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil adziim. Majreha wamursaha.

Dalam cemas yang bertambah itu, dalalm ketegangan seluruh keluarga yang menunggu itu. Hanya Allah lah yang menjadi andalan dan harapan. Tak ada sesuatupun yang terjadi diluar kuasaNya. Diluar taqdirNya. Maka do’a menjadi senjata pertama dan senjata berikutnya sampai kemudian menjadi senjata pamungkas juga. Surat alfatihahpun dibaca, ayat kursy pun diulang-ulang. Begitu jua dengan surat al-ikhlas,  al-falaq dan annas. Itulah yang diajarkan Nabi kita Muhammad SAW.

Sejam sudah, waktu terasa lama sekali bagai sewindu lebih seminggu. Kurang lebih demikian adanya. Satu detik bagai lima hari, satu menit bagai tujuh bulan. Lama sekali menanti karena harap dan cemas yang memuncak. Tiba-tiba bagai ada halilintar yang menyambar, bagai ada geledek disiang bolong yang tanpa hujan tiada angin.

Assalamu’alaikum.....
Mata seakan tak melihat, telinga seakan tak mendengar, tubuh diam seakan terpaku dalam bumi. Ini pertanyaannya adalah apakah ini nyata...?, apakah ini dalam sebuah mimpi yang berat...? ataukah bagaimana...?, setiap mata saling memandang, setiap nafas saling berdegup kencang...

Akhirnyapun meledak juga....dalam peluk dalam tangis dan dalam haru yang bertumpuk satu sama lain saling berangkulan.

Kunaon bapak geuning tos uih deui...?, naha, kenapa,....kumaha...atau bagaimana dan ya banyak pertanyaan yang tak perlu jawabannya.

Nyatanya bapak Madria sudah kembali lagi ketengah keluarga dengan tanpa sesuatu kurang apapun. Itu yang paling penting. Alhamdulillah bapak Madria akhirnya terbebas dari bahaya dan ancaman kali ini. Kurang lebih hanya satu jam dari interogasi kompeni.
“Kumaha caritana ieu teh pak...?”, gimana ceritanya...?

Syukur alhamdulillah ternyata dengan kuasa Allah SWT, tak ada sesuatu yang berbahaya sama sekali. Semua berjalan dengan baik dan lancar sekali.

Interogator disana ternyata berlaku sopan, ramah dan penuh hormat. Semua berjalan lancar, malah diperlakukan dengan baik sekali. Tanpa kata kasar bahkan sebaliknya dengan tutur kata penuh kesopanan seakan tidak terjadi apa-apa. Bapak Madria pun dibebaskan dari ancaman dan tuduhan.

“Aneh bapak oge, Sutarna nanyaan ka bapak, tapi kalahkah nanya nu sopan pisan. Sugan bebentak, poporongos, bobolotot. Teu, malahmah hade basa sopan someah....matak genah kadanguna, matak mernah katanyaanna”. Kurang lebih demikianlah.
“Moal aya sa jam, tos sumping deui ka Bakanjati.

“Dipariksa di Situraja ku Sutarna, meureun bapakna boga  elmu nu matak Sutarna jadi leuleuy ge...” ya..mungkin berkat ilmu keimanan dan do’a tadi barangkali.

“Sumping ka bumi, diceungceurikan ku saeusi imah....saha anu teu sedih (campur ku bungah oge panginteun)..bakat ku reuwas (sareung ku rasa syukur siganamah)”.

Tak sampai satu jam bapak Madria inipun kembali ke kampung ke Bakanjati. Maka semua pihak dikampungpun terharu dan bersyukur atas kembalinya bapak Madria. Tak satupun yang tak merasa terharu, terutama bagi sanak keluarga dan bahkan tetangga.

Hari ini akan lama terasa. Dari pagi ke dzuhur terasa seharian, dari dzuhur ke asyar bagai lebih dari sehari. Semua hanya saling berkumpul saja. Makanan dan minuman akhirnnya disediakan. Sehingga dalam keluarga bisa bersama dan makan bersama. Alhamdulillah.

Haripun berganti, siang menjadi malam. Malam kembali menuju siang. Begitulah hari-hari berlalu masih dalam bayang-bayang cerita. Kisah yang sangat membekas menjadikannya sebagai sejarah keluarga dalam cerita rakyat. Cerita kecil yang besar nilainya bagi keluarga. Secuil kisah dari perjuangan rakyat biasa dalam melawan penjajahan kompeni.

Minggu sudah berganti bulan, bulan sudah berganti lagi. Keluarga sederhana tetap harus berlangsung dalam kehidupannya. Dan juga dalam bantuannya kepada perjuangan Tentara Nasional Indonesia, berjuang dari ancaman kompeni. Itu adalah terkait nasib kehidupan dan juga terkait nafas dan jiwa raga. Mempertahankan kemerdekaan yang amat berharga.

Akhirnya kehidupanpun dimulai dengan lebih normal lagi, karena waktu terus melaju dan perjuangan telah mendekati kemenangannya. Dari seluruh tumpah darah rakyat Indonesia, berjuang untuk negerinya. Tapi ini tentu bukan akhir perjuangan. Belanda belum beranjak dari ibu pertiwi. Tugas bela negara menjadi tanggung jawab kita semua, rakyat Indonesia. 

Dikota, juga di pelosok desa. Dikenal maupun tidak. Tercatat maupun tidak tercatat dalam buku dalam sejarah. Tujuan dan niat adalah sama berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Merdeka....!

Berjuta cerita serupa itu menyebar disegala pelosok negeri. Gema perjuangan untuk tanah air tercinta.

Kegiatan bertani, kegiatan lainpun bisa dijalankan lagi seperti sebelumnya. Namun perjuangan untuk membantu pihak TNI tetap dijalankan. Salah satunya mengirimkan makanan ke pihak TNI yang bergerilya dipinggir hutan biasanya ketemuan di daerah Depok tak jauh dari kampung Sanding masih di desa Karangheuleut waktu itu.

Bisa deui aya kagiatan ngingu sapi jeung domba,
Unggal isuk, sok nganteuran dahareun ka TNI ditonggoheun Sanding (astana Depok).
Ti beurang TNI teh caricing di leuweung, mun peuting karek turun nyerang ka Situraja.

Jika malam telah tiba, jika letusan senjata mulai terdengar. Seluruh masyarakat “paburicat” berpencar mencari perlindungan di tempat-tempat yang sudah disiapkan. Dalam lubang-lubang, dalam goa-goa atau dalam sumur-sumur. Namun tak semuanya, tak selamanya bisa aman. 

Tetap saja ada banyak masyarakat yang menjadi korban penembakan atau bahkan minimal peluru nyasar. Seperti dialami oleh Nini Iti. Beliau terkena serempetan peluru yang menyasar ke pipi. Begitulah resiko sebagai negeri terjajah. 

Pertempuran dan peperangan tidak saja melibatkan korban dari tentara atau orang bersenjata. Melainkan juga melibatkan banyak warga sipil yang tak bersenjata dan tak bertameng besi maupun tembaga. Nyawa menjadi taruhan yang bisa terjadi kapanpun dan dimanapun.


Di daerah lain yang tak jauh dari kampung kami, di Cibugel misalnya; kejadian serupa juga terjadi. Seperti dialami seorang warga yang disuruh naik pohon nira, lalu pohon tersebut dibakar dibawahnya.

Banyak lagi cerita mengerikan yang mungkin cukup diketahui para orang tua saja. Karena mungkin terkait aib dan hal-hal yang kurang bagus diceritakan. Kesedihan hanya cukup untuk bahan konsumsi mereka saja, tidak untuk generasi-generasi sesudahnya. *


Sementara itu pihak pemerintahan Republik Indonesia berjuang secara diplomatik, melahirkan perjanjian-perjanjian :


Perjanjian Linggarjati *wikipedia
Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut:
·         Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi SumatraJawa dan MaduraBelanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949.
·         Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
·         Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda bersama dengan BelandaSuriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi Perundingan Linggarjati. Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.

 

Agresi Militer I

Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
1.   Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
2.   Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
3.   Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerahdaerah yang diduduki Belanda;
4.   Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama); dan
5.   Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda terus "mengembalikan ketertiban" dengan "tindakan kepolisian". Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli 1947) mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisionil' mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.

 

Naiknya Amir Syarifudin sebagai Perdana Menteri

Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, pengganti Sjahrir adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada S.M. Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua. Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir Syarifudin, dia menolak kursi menteri karena "ia belum terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi".
S.M. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan Belanda. Di samping itu Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Syarifudin yang kekiri-kirian. Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung di percaturan politik nasional dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat bahwa Amir Syarifudin ingin membawa politik Indonesia ke arah Komunis.

1948

Perjanjian Renville

Sementara peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas desakan Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal 1 Agustus 1947, dan segera setelah itu mendirikan suatu Komisi Jasa-Jasa Baik, yang terdiri dari wakil-wakil Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan itu .
Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima oleh yang kedua belah pihak yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang mempersiapkan berdirinya zone demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan, tetapi atas garis yang berbeda dari persetujuan Linggarjati, karena plebisit akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di pulau-pulau besar ingin bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari federasi yang direncanakan Kedaulatan Belanda akan tetap atas Indonesia sampai diserahkan pada Indonesia Serikat.
Pada tanggal 19 Januari ditandatangani persetujuan Renville Wilayah Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati : hanya meliputi sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa -Banten tetap daerah Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk menentukan masa depan wilayah yang baru diperoleh Belanda lewat aksi militer. Perdana menteri Belanda menjelaskan mengapa persetujuan itu ditandatangani agar Belanda tidak "menimbulkan rasa benci Amerika".
Sedikit banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi selama dan sesudah perundingan Linggarjati. Seperti melalui persetujuan Linggarjati, melalui perundingan Renville, Soekarno dan Hatta dijadikan lambang kemerdekaan Indonesia dan persatuan Yogyakarta hidup lebih lama, jantung Republik terus berdenyut. Ini kembali merupakan inti keuntungan Seperti sesudah persetujuan Linggarjati, pribadi lain yang jauh dari pusat kembali diidentifikasi dengan persetujuan -dulu Perdana Menteri Sjahrir, kini Perdana Menteri Amir- yang dianggap langsung bertanggung jawab jika sesuatu salah atau dianggap salah.

 

Runtuhnya Kabinet Amir dan naiknya Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri

Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya Perjanjian Renville menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir. Seluruh anggota yang tergabung dalam kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatan ketika Perjanjian Renville ditandatangani, disusul kemudian Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948. Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-1949), dimana seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari sayap kiri kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi tersebut membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Memang runtuhnya Amir datang bahkan lebih cepat ketimbang Sjahrir, enam bulan lebih dulu Amir segera dituduh -kembali khususnya oleh Masyumi dan kemudian Partai Nasional Indonesia- terlalu banyak memenuhi keinginan pihak asing. Hanya empat hari sesudah Perjanjian Renville ditandatangani, pada tanggal 23 Januari 1948, Amir Syarifudin dan seluruh kabinetnya berhenti. Kabinet baru dibentuk dan susunannya diumumkan tanggal 29 Januari 1948. Hatta menjadi Perdana Menteri sekaligus tetap memangku jabatan sebagai Wakil Presiden.
Tampaknya kini lebih sedikit jalan keluar bagi Amir dibanding dengan Sjahrir sesudah Perundingan Linggarjati; dan lebih banyak penghinaan. Beberapa hari sesudah Amir berhenti, di awal Februari 1948, Hatta membawa Amir dan beberapa pejabat Republik lainnya mengelilingi Provinsi. Amir diharapkan menjelaskan Perjanjian Renville. Pada rapat raksasa di Bukittinggi, Sumatera Barat, di kota kelahiran Hatta -dan rupanya diatur sebagai tempat berhenti terpenting selama perjalanan- Hatta berbicara tentang kegigihan Republik, dan pidatonya disambut dengan hangat sekali.
Kemudian Amir naik mimbar, dan seperti diuraikan Hatta kemudian: "Dia tampak bingung, seolah-olah nyaris tidak mengetahui apa ayang harus dikatakannya. Dia merasa bahwa orang rakyat Bukittinggi tidak menyenanginya, khususnya dalam hubungan persetujuan dengan Belanda. Ketika dia meninggalkan mimbar, hampir tidak ada yang bertepuk tangan"
Menurut peserta lain: "Wajah Amir kelihatannya seperti orang yang sudah tidak berarti". Sjahrir juga diundang ke rapat Bukittinggi ini; dia datang dari Singapura dan berpidato. Menurut Leon Salim -kader lama Sjahrir- "Sjahrir juga kelihatan capai dan jarang tersenyum". Menurut kata-kata saksi lain, "Seolah-olah ada yang membeku dalam wajah Sjahrir" dan ketika gilirannya berbicara "Dia hanya mengangkat tangannya dengan memberi salam Merdeka dan mundur". Hatta kemudian juga menulis dengan singkat tentang pidato Sjahrir: "Pidatonya pendek". Dipermalukan seperti ini, secara psikologis amat mungkin menjadi bara dendam yang menyulut Amir untuk memberontak di kemudian hari.
Perjanjian Renville tidak lebih baik daripada perundingan di Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian, dan Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah. Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan gencatan senjata yang berulang-ulang.

1948-1949

Agresi Militer II

Agresi Militer II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

 

 

Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta

Serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III -dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat- berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI -berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.

 

Perjanjian Roem Royen

Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional melakukan tekanan kepada Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen.

 

Serangan Umum Surakarta

Serangan Umum Surakarta berlangsung pada tanggal 7-10 Agustus 1949 secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa yang berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai tentara pelajar. Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo dan sekitarnya. Serangan itu menyadarkan Belanda bila mereka tidak akan mungkin menang secara militer, mengingat Solo yang merupakan kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu berhasil dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih tertinggal tetapi didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang andal seperti Slamet Riyadi.

 

Konferensi Meja Bundar

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Yang menghasilkan kesepakatan:
·         Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
·         Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan.

 


Penyerahan kedaulatan oleh Belanda


Bung Hatta di Amsterdam, Belanda menandatangani perjanjian penyerahan kedaulatan.
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, selang empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalah ilegal.
Sejarah Nasional: Sumber Wikipedia.

Referensi

1.    ^ "The War for Independence: 1945 to 1950". Gimonca. Diakses tanggal 23 September 2015.
2.    ^ Kirby, Woodburn S (1969). War Against Japan, Volume 5: The Surrender of Japan. HMSO. p. 258.
4.    ^ Friend, Bill personal comment 22 April 2004; Friend, Theodore (1988). Blue Eyed Enemy. Princeton University Press. pp. 228 and 237. ISBN 978-0-691-05524-4.; Nyoman S. Pendit, Bali Berjuang (2nd edn Jakarta:Gunung Agung, 1979 [original edn 1954]); Reid (1973), page 58,n.25, page 119,n.7, page 120,n.17, page 148,n.25 and n.37; Pramoedya Anwar Toer, Koesalah Soebagyo Toer and Ediati Kamil Kronik Revolusi Indonesia [Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, vol. I (1945); vol. II (1946) 1999; vol. III (1947); vol. IV (1948) 2003]; Ann Stoler, Capitalism and Confrontation in Sumatra's Plantation Belt, 1870–1979 (New Haven:Yale University Press, 1985), p103.; all cited in Vickers (2005), page 100
5.    ^ a b c d e f g Pamflet PT KAI menyambut ulang tahun PT KAI 2015, dipampangkan di Stasiun Yogyakarta



Lanjut Ke Cerita Rakyat :
Ancaman Gerombolan DI/TII

Begitulah kronologis kejadiannya sampai akhirnya Belanda meninggalkan tanah Republik Indonesia. Masyarakat Indonesia sudah terbebas dari kungkungan dan ancaman Belanda, pun juga dengan warga di kampung kami. Hanya saja bedanya dikampung kami, keadaan merdeka itu belum lah terjadi dalam arti sebenarnya, karena ancaman dari hutan masih menghantui, yang sama mengganggu dan sama merusaknya. Yaitu dari gerombolan Kartosuwiryo.

Lepas dari jajahan Belanda muncul gerombolan DI/TII. Ketika Belanda sudah mengakui kemerdekaan Indonesia pada 29 Desember 1949, justru Gerombolan makin mengkuatkan dirinya dengan serangan-serangan sporadis dan kejam. Pembunuhan pun terjadi di mana-mana, termasuk di kampung kami dan disekitar kampung kami.

“Haritamah da musuh teh aya dua, nya walanda nya kitu oge gerombolan”, kitu ceuk carita kolot di lembur.

Kerja dari gerombolan adalah sama jahatnya dengan kaum imperialis Belanda dan juga Jepang, perampokan, perampasan dan berbagai pemaksaan lainnya. Ibu dan para gadis pun bisa jadi target mereka. Seringkali mereka harus bersembunyi, ke “lombang” atau (lubang tanah), kebun dan atau selokan-selokan.

Orang tua kita juga menjadi saksi sejarah tersebut, mereka adalah pelaku sejarah. Setiap malam adalah mencekam karena bahaya selalu mengancam dari kegelapan. Para anggota DI/TII juga bersenjata api, pembunuhan dan penembakan sering terjadi dikampung-kampung. Sudah banyak korbannya, bahkan di bacok atau disembelih.

Bahan pangan, beras termasuk hewan ternak menjadi bagian komoditas yang mereka cari. Penduduk desa menjadi ketakutan karena mereka tak mampu melawannya berhubung kedatangan mereka selalu mendadak dan juga dalam jumlah yang banyak dan dengan persenjataan yang modern pada masanya dan juga karena ada niat kekerasan dari mereka sendiri. Semua rakyat menjadi serba salah. Kalau bertani belum tentu memanen, tak bertani apalagi.

“Teu nyawah moal dahar, mun molah ge cang tangtu ngejo”.
Teu nyawah moal nguyah, teu molah moal nyeuhah
Teu kabayang sagala ngabalayah...teu kabayang mewah-mewah
teu kabayang di wayah-wayah

Rahayat jadi pameresan gerombolan, matak dahar ge hese pisan
Aya tiwul ge geus untung, bieung teuing isukmah aya deui
Sampeu mah kaasup mahal, komo deui beas beureum.....

Tong boro boga leuit, boga dapur ge geus tara ngebul
Tong boro boga duit, boga baju ge tinu karebul (karung goni)
Pajarkeun mah boga goah, tapi naha teu boga kuah
Pajar teh boga imah, tapi naha teu sare ngeunah.
Lamun peuting geus ngarandapan, boro-boro sare na dipan
Da hatemah asa diburuan

Euweuh lebaran euweh agustusan
Euweuh hiburan euweuh tahun baruan
Tong boro lalajoan, tong boro bobodoran
Unggal waktu ngan ukur tutungguan

Rek indit rek kamana,
Rek cicing rek kumaha
Kaditu lain kadieu deungeun
Ni asa diteungteuingeun
Moal beja moal carita
Bisina dianggap gila
Moal ucap moal kecap
Bilihkalah ka salah kacap
Keun wae kuring ngahariring
Tibatan jadi geuring
Keun bae ti peuting nyaring
Nupenting kuring teu  rungsing
Da bongan sok kitu geuning
Kadenge embe di giring

Tobat teuing ka Gusti Agung
Lamun nguping anu ngalangkung
Asa hate ngajelepung
Kaditu ka leuweung gunung

Tah kitu unggal sare
Teu bisa di hare-hare
Satungtung can aya poe
Ngan bisa ngadeudeupe
Ssst...Jeumpe.....!

Kekuatan rakyat dengan kampung-kampung yang waktu itu masih jarang penduduknya dan juga tanpa ada peralatan bersenjata, tentu bukan lawan sebanding buat para gerombolan. Itu berjalan bertahun-tahun lamanya dari sejak diproklamirkannya Negara Islam Indonesia oleh Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1949 di gunung Sawal Ciamis, hingga setidaknya tahun 1956 ketika OKD yang pada masa itu masih bernama PD (Pemuda Desa) didirikan. Ya, kurang lebih 7 tahun rakyat diperas tanpa perlawanan. Apalagi sejak merebaknya gerombolan tersebut banyak warga kampung yang lebih memilih “indit kakota, ninggalkeun kakaya di desa”. Sehingga kampung-kampung menjadi tambah sepi.

Untuk meningkatkan perlawanan rakyat maka pada tahun 1957 PD berubah menjadi OKD (Organisasi Keamanan Desa). Mereka dipersenjatai dengan senapan laras panjang. Bedil kokang atau dorlok (sakali jedor, sakali colok untuk membuang sisa proyektil atau selongsong). Diberikan latihan baris-berbaris dan sedikit teori perang. Dengan tanpa pakaian seragam alias ngoboy...!.

Anggotanya terdiri dari para pemuda yang masih kuat “kukurusukan” menembus semak dan hutan, kuat lari dan juga kuat dengan angin malam. Seperti di kampung kami yang terdiri dari Aki Sadikin sebagai komandan okade dengan anggotanya antara lain; bapak Karyadi, bpk Jumaim dan juga bpk Aim bin Madria.

Tugas mereka adalah menghalau setiap pergerakan gerombolan sejak dari perbatasan kampung, dengan atau tanpa pasukan dari TNI.

Setiap terjadi kontak senjata, masyarakat bisa membedakan mana suara tentara, mana suara OKD dan mana suara gerombolan karena masing-masing senapan punya suara yang berbeda. Jika TNI dengan senapan otomatis seperti garand (geren), bren, dan sten dengan suaranya “dereded”, OKD dengan dorlok suaranya dor....eureun heula...dor...eureun deui da lila kudu ngeusi pelor, dan gerombolan dengan “tek dum” yaitu senjata yang digunakan di Amerika untuk berburu byson suaranya tek dum ketika peluru itu mengenai benda maka dia kembali meledak yang sangat merusak, sehingga bila terkena senjata gerombolan biasanya membuat luka yang parah.

Kita juga heran mereka memiliki persediaan senapan demikian dan juga termasuk pelurunya, entah siapa yang membawanya dari Amerika. Ya mungkin itu tidak terlepas dari datangnya sekutu dengan NICA yang hendak kembali menjajah Indonesia. Upaya memperlemah kekuatan TNI dan juga mengadu domba bangsa Indonesia. Setali sejalan dengan kemunculan berbagai pemberontakan di tanah air waktu itu. Menyelam sambil minum air, barangkali begitu strategi musuh Indonesia. Sebab itu terindikasi dari kepemilikan senapan yang digunakan DI/TII. Dan juga kita tahu bagaimana strategi Belanda selama ini yang suka mengadu domba antar kekuatan yang ada di Indonesia demi mengambil keuntungan bagi mereka sendiri.

Devide et impera. Seperti belah bambu, yang satu diangkat, ketika sudah diatas maka dilepaskan supaya kedua bagiannya beradu dengan keras, sehingga keduanya menjadi pecah.

Ki Ikin (Sadikin) adalah komandan OKD yang ada di desa Karangheuleut memang tergolong seorang yang kuat dan berani. Pada malam-malam tertentu adalah bertugas memata-matai dan mengintip markas gerombolan di Bangbayang (kampung yang ada dipinggir hutan dan sebagai basis DI/TII terdekat), pergi seorang diri mengendap meliwati jalan-jalan tikus menembus hutan dan kebun-kebun. Sehingga bisa begitu dekat dengan kumpulan gerombolan yang sedang ngobrol atau rapat. Bahkan bisa mendengarkan apa pembicaraan mereka dan apa saja rencana dari DI/TII dalam banyak kesempatan, sehingga pihak OKD dapat mengantisipasi sebelumnya.

Namun tentu tidak semua rencana bisa diketahui, karena tak bisa lah aki Ikin terus menguntit kegiatan mereka. Beberapa rencana bisa diketahui, kebanyakan lainnya tidak.

Belasan tahun dalam kekacauan dari gerombolan tentu, sudah tak terhitung kejadian-kejadian yang menimpa masyarakat dikampung-kampung. Apalagi sesungguhnya DI/TII ini sudah ada sebelum Indonesia merdeka di tahun 1945, karena benih-benih DI/TII sudah ada sejak jaman penjajahan Jepang pada tahun 1942. Namun kekuatan besarnya baru kemudian muncul setelah perjanjian Renville pada tanggal 8 Desember 1947 ditandatangani, dimana waktu itu pasukan TNI harus meninggalkan Jawa Barat yang dikuasai Belanda menuju Yogyakarta. Banyak pendukung Kartosuwiryo yang keluar dari barisan TNI dan bergabung DI/TII untuk membentuk Darul Islam. Maka tidak heran kalau pasukan DI/TII ini mahir dalam bergerilya dan berperang, karena banyak interniran TNI. 

Selain itu persenjataan DI/TII juga banyak didapat dari pencurian dari markas TNI. Dan pemberontakan DI/TII ini juga terjadi tidak terlepas dari asal muasal sejarah yang melatar belakangi dan kekecewaan Kartosuwiryo dkk karena waktu itu para tokoh Nasional Indonesia lebih memilih diplomasi ketimbang kekuatan senjata dalam melawan Belanda. 

Sementara Kartosuwiryo dkk menghendaki pergerakan bersenjata. Itu yang menjadi alasan dan atau alibi dari kaum DI/TII di masa-masa awal keberadaan mereka.

Namun kemudian kita ketahui itu hanyalah sebagai tameng aling-aling atau alasan yang dibuat agar mendapat simpati atau dukungan masyarakat luas. Dan sehingga banyak masyarakat tertentu pada mulanya yang tertarik bergabung dan mendukung DI/TII. Namun setelah diketahui motif utamanya untuk kekuasaan dan kegiatan yang merampok, maka masyarakat balik membenci mereka. Dan kurang tepat bila disebut dalam rangka Kongres, ka TNI nyokong ka Gerombolan beres. Itu terlalu menyakitkan bagi masyarakat disini, sebab yag dilakukan gerombolan adalah perampokan, perampasan dan kekerasan-kekerasan. Sehingga banyak korban jiwa diantara rakyat.

Pada  tahun 1959 misalnya gerombolan DI/TII dengan kejamnya membantai lebih dari 100 penduduk di Cibugel. Penyerangan melalui jalur Cibugel-Bangbayang ke kampung-kampung di sekitarnya menjadi semakin gencar. Termasuk ke kampung Babakanjati.


Saat itu kejadian di Cibugel sungguh mencekam bagi rakyat setempat. Seperti cerita dari ma warung bapak Adang bin alm. Letkol Sadi yang jualan nasi di Jl. Kurdi Bandung yang keduanya asli Cibugel, bahwa pamannya sendiri menjadi korban pembantaian di Cibugel itu. Para korban bergelimpangan di Kayuputih yaitu sekitar kantor kecamatan Cibugel saat ini. Tak bedanya seperti korban tsunami, mereka diangkat dengan “taraje” (tangga bambu) untuk dikebumikan. Lebih 100 orang meninggal secara bersamaan.

Kekejaman-kekejaman DI/TII sungguh sangat sadis, membuat masyarakat benar-benar terancam tiap waktu. Mereka sembunyi di “balong”, ditembaki juga hingga tak ada ampun. Untunglah si Ema bisa selamat karena disembunyikan orangtuanya dibawah “tampian” (pancuran tempat mandi di balong). Mereka menjadi saksi kematian aki Jangkung yang tadi ditembak dikepalanya hingga hancur berdarah-darah dibalong yang sama.  Karena aki Jangkung kepergok dan masih ketahuan dari siluet malam itu.

Kebengisan gerombolan sungguh tak bisa dimaafkan, bagaimana tidak seorang ibu hamil pun dibunuhnya, lalu perutnya di cabik dan bayinya dikeluarkan dimasukkan kedalam baskom beserta “peujit”/usus ibunya yang amburadul. Seorang lainnya dibunuh, dipenggal kepalanya, lalu direbus hingga tinggal tulang belulang dan ditenteng dijadikan tontonan. Itulah kehororan yang diperlihatkan oleh gerombolan didepan rakyat Cibugel.

Di waktu yang lain di Cibugel ini, sekeluarga dari rakyat meninggal karena lubang persembunyiannya (“bewak”) dibakar dengan bakaran kasur diatasnya sehingga mereka didalamnya kehabisan oksigen.

Para lelaki dicari, diciduk lalu diberendel dengan kejam. Kekejaman itulah sangat membekas didalam benak masyarakat Cibugel dan sekitarnya, seperti diceritkan Ma Adang kali ini. 

Para gerombolan itu bukan hanya dari kaum lelaki, ada juga dari kaum perempuannya. Mereka turun kekampung sekira jam sepuluh malam. Kalau pulang membawa banyak barang hasil rampokan. “Hayam ngagararantung reuteum dina cangkengna”. Ayam diikat di pinggang para gerombolan, banyak sekali. **

Seperti melawan Belanda, dalam menghadapi kaum gerombolan inipun kita dihadapkan dengan kelompok pengkhianat atau ular berkepala dua. Ada minimal dua orang mata-mata dari masyarakat Bangbayang yang menjadi kaki tangan DI/TII. Salah satu namanya adalah Kandi.

Kombayana yang sebagai musang berbulu domba itu. Salah satu tugasnya adalah sebagai penunjuk jalan bagi gerombolan dalam setiap operasinya. Dengan menggunakan jasa kombayana itu membuat para gerombolan DI/TII seringkali bisa menghindar dari sergapan TNI dan OKD. Karena mereka bisa segera lari dan lenyap kedalam hutan dalam sekejap.

Berulang kali para gerombolan ini bisa menjarah dikampung-kampung yang tidak terjaga oleh keamanan yang masih minim saat itu. Sehingga mereka tetap bisa bertahan selama belasan tahun di hutan-hutan. Mereka akan datang ketempat yang disitu ada makanan dan hasil panen, merekalah yang mengklaim atas semua hasil bumi/hasil panen apapun dan sebanyak yang mereka inginkan. Termasuk juga hasil ternak, sapi domba, kambing, ayam, itik dll.

Mata-mata yang berwajah dua ini, tentu saja bisa keluar masuk kekampung-kampung atau ke kota kecamatan dengan bebas tanpa dicurigai masyarakat. Menjadi pencari informasi ke daerah mana yang akan panen, dan mengetahui siapa saja musuh DI/TII yang ada di tengah masyarakat atau kekuatan-kekuatan lain yang bisa mengancam eksistensi DI/TII. 

Suatu waktu Kandi ini ditangkap tentara di Situraja, dan kemudian diinterogasi dengan dua pilihan. Tetap bersama DI/TII atau berbalik menjadi mata-matanya TNI. Bapak Kandi ini memilih mengikuti kehendak TNI dan kemudian menjadi mata-mata TNI terhadap DI/TII. 

Sejak itulah maka dengan segala taktik spionase ini perjuanagn TNI menjadi semakin mudah. Semakin banyak gerombolan yang bisa tertangkap atau terbunuh. Banyak penyergapan juga berhasil dari peran mata-mata ini.

Suatu malam diadakan penyergapan terhadap gerombolan, seperti biasa para anggota TNI mengendap dan tiarap. Dalam kekacauan malam yang gelap, bapak Aim yang saat itu sedang tiarap menceritakan bahwa dirinya terinjak pasukan gerombolan yang lari pontang panting setelah mereka mengetahui keberadaan TNI dan OKD disana.

Kejadiannya yaitu di daerah Caringin Dengkang, yaitu suatu tempat yang memang biasa dijadikan tempat penyergapan karena lokasinya yang sangat strategis. Jalur jalan yang ada memang menyempit disana. Di sisi timur berupa gawir/tebing dan lembah yang curam yang banyak ditumbuhi danas sabrang yang berdaun tajam pada masa itu, sehingga itu menjadi sulit dilalui dan menjadi benteng alami. Terus di sebelah barat adalah hutan atau pangangonan yang sempit dan menurun tempatnya. Sehingga ini adalah jalur utama orang yang datang dari dan menuju ke Bangbayang. Dari kampung Bangbayang itulah biasanya kedatangan gerombolan yang akan menuju ke kampung-kampung dibawahnya ke arah utara. Dan pada malam tersebut TNI bersama OKD berhasil membunuh dua orang dari anggota DI/TII.

Para gerombolanpun akhirnya kembali ke hutan dengan tangan kosong dan kerugian nyawa anggotanya. Semenjak menggunakan jasa mata-mata itulah, kita bisa sedikit berjaya.

Dalam teknisnya penyergapan tentu dibuat kode-kode atau isyarat agar TNI dan OKD tak salah sasaran kepada Kandi sebagai mata-mata mereka. Ada teknisnya. Sehabis penyergapan, pihak TNI pun membiarkan Kandi kembali lepas ke Bangbayang kembali ketengah-tengah gerombolan. Itu dengan tanpa disadari oleh mereka. Banyak rencana DI/TII menjadi bocor dan dapat diketahui oleh pihak TNI dan OKD. Beberapa operasi memang gagal, tapi beberapa penyergapan lainnya berhasil.

Kandi yang juga bertindak sebagai guide, berjalan dalam kelompok gerombolan dapat diketahui dari dua hal. Pertama biasanya dia berjalan diposisi paling depan dan ciri utamanya adalah terdapat ikat di kepala dari kain berwarna merah.

mastaka simkuring dibeungkeut lawon beureum eta ciri abdi, kitu ceuk bah Kandi ka TNI”.
Sehingga ketika TNI dan OKD menyergap gerombolan, bapak Kandi bisa teridentifikasi dan bisa terhindar dari penyerangan. Ketika dalam penyergapan sering kali bahkan bapak Kandi ini berbalik dan berlindung di pihak Tentara. Karena gelapnya malam tentu perbuatan Kandi tidak bisa diketahui musuh. Setelah selesai pertempuran atau penyergapan, anggota gerombolan “paburicat” kabur kemudian bapak Kandipun dilepas kembali supaya mengikuti mereka.

Begitulah sampai beberapa kali penyergapan.
Namun pada ahirnya pihak gerombolan bisa mencium gelagat tidak beres dan akhirnya diancamlah bapak Kandi ini. Oleh sebab itu suatu hari walau dengan berat hati, bapak Kandi dan keluarga pun akhirnya pindah dari Bangbayang dan memilih mengembara ke kota Bandung.

Gangguan dari gerombolan ini sungguh telah membuat masyarakat Jawa Barat tetap dalam kondisi peperangan. Berlangsung 13 tahun lamanya (1949-1962) dan menelan kerugian yang cukup banyak.

Maka untuk menuntaskan misi pemberantasan DI/TII, pada sekira tahun 1960-an TNI dari Divisi Siliwangi melakukan operasi besar-besaran dan terstruktur dengan taktik tertentu.

Sekian tahun Jawa Barat dibiarkan karena ditinggal Siliwangi dan dalam kekuasaan Belanda. Sehingga para gerombolan sangat leluasa dalam melakukan perampokan dan kejahatan-kejahatannya.

Akhirnya tentara Siliwangi yang dari Yogyakarta bisa kembali pulang ke Jawa Barat, sehingga hal tersebut membuat kekhawatiran tersendiri dari pihak pemberontak DI/TII.
Terjadilah ucapan selamat datang dari DI/TII dalam suatu pertempuran dengan TNI.

Pertempuran yang menelan korban dari kedua belah pihak tentunya. Itu menjadi titik awal pemikiran pemerintah untuk segera dapat mengakhiri kekacauan di tanah Pasundan ini. lalu diadakanlah pendekatan musyawarah untuk dicapai kesepakatan. Namun itu semua gagal. Dan akhirnya diputuskan untuk operasi militer besar-besaran.

Pager Betis (1960-1962).
Pager Betis adalah sistem pertahanan sekaligus bentuk strategi untuk menumpas gerombolan DI/TII yang operasinya berbasis dari dalam hutan. Dengan Pager Betis ini pihak TNI dan Masyarakat bisa mencegah para gerombolan bisa lolos keluar dari hutan memasuki kampung-kampung.

Konsepnya adalah “paningkeran” atau operasi pengepungan, atau dibuat pos-pos penjagaan diseluruh kawasan hutan tempat basisnya DI/TII terutama di tatar Priangan dari Ciamis, Tasik, Garut dan Sumedang. Hutan-hutan diblokade dalam setiap sisinya dengan bantuan OKD yang kemudian berganti nama pada tahun 1961 menjadi OPR (Organisasi Pertahanan Rakyat) dan juga lapisan masyarakat lainnya. Sehingga ruang gerak DI/TII semakin terjepit dan semakin lama semakin kesulitan. Akomodasi dan bahan pangan yang biasanya didapat dari perampokan, kini tiada lagi. Jelas mereka akan kelaparan dengan seiring waktu. 

Taktik tersebut akhirnya berhasil, Kartosuwiryo bisa ditangkap pada 4 Juli 1962 dan dihukum mati. Para anggotanya juga menyerahkan diri.

Sekian tahun perjuangan rakyat Jawa Barat bersama TNI akhirnya mendapat keberhasilannya. Syukurlah sejak hancurnya DI/TII ini maka kita bisa lebih aman lagi dan bisa mengejar ketertinggalan dari masyarakat lainnya di Indonesia. Dalam segala bidang, kini masyarakat Jawa Barat juga bisa ikut berperan dan membangun bangsanya.

Jelas bahwa banyak warga yang menjadi korban pembunuhan DI/TII ini. Kungkungan dari gerombolan ini terjadi bertahun-tahun lamanya. Sehingga warga di kampung kami belumlah genap benar dalam kemerdekaan bangsanya. Pendidikan dan perekonomian jadi terganggu, menjadikan tetap terbelakang dalam kebodohan, kemiskinan, dan ketidak amanan.

Kini semua itu sudah berlalu. Kami bisa lebih sejajar dengan saudara kami lainnya, terutama dalam merasakan hawa kemerdekaannya. amin.

Sekian.

Catatan Kaki :
1. Sumber cerita Primer Saur Sepuh
2. Referensi Lain (Wikipedia)
*cerita Ma Warung Nasi bapak Adang Kurdi Bandung
**cerita dari sumber primer , Ma Warung Kurdi (13-02-2017)

Posting Komentar

0 Komentar