Gunung itu, Rakutak namanya. Tahun 1962 adalah tahun kartosuwiryo ditangkap kapten Suhanda dari kompi pasukan Siliwangi atas perintah Ibrahim Adjie yang kala itu menjabat sebagai kodam III Siliwangi.
Akhir drama DI/TII yang telah membuat Jawa Barat terjajah oleh bangsanya sendiri. Oleh sekelompok kaum dungu agama yang menggunakan dalil Negara Islam.
Gerombolan yang telah menteror masyarakat Jawa Barat belasan tahun lamanya. Banyak korban nyawa menjadi tumbal kekejamannya di seantero Jawa Barat.
Memanfaatkan situasi Negara yang sedang konfrontasi dan peperangan melawan Belanda, tahun 1950, kartosuwiryo memproklamirkan Darul Islam di tanah Pasundan yang saat itu Jawa Barat sedang ditinggalkan tentaranya yang meninggalkan Bandung Jawa Barat menuju Jogjakarta.
Gangguan dari gerombolan ini, telah menghadirkan kesengsaraan tersendiri bagi rakyat Jawa Barat. 12 tahun lamanya, gerombolan itu dari hutan ke hutan, menteror warga siang dan terutama malam hari.
Sistem gerilya itu, memaksa warga untuk patuh kepada mereka. Siapa saja yang melawan sudah pasti berurusan dengan golok atau senapan. Dor, dor, rakyat bergelimpangan dimana-mana.
Kejam, tidak berperikemanusiaan. Itulah ciri gerombolan DI/TII ini. Mereka merasa sedang berjihad, menegakkan Daarul Islam, Negeri yang berasas Islam versi orang-orang bahlul.
Di kampungku di Sumedang, mereka datang dari arah selatan, dari hutan antara Sumedang Garut. Turun ke kampung-kampung untuk perampasan ternak, bahan pangan dll.
Malam ini mereka datang, kampung telah sunyi sepi seperti tanpa kehidupan. Hanya lolongan anjing yang menandakan kedatangan mereka dari ujung kampung, membuat cemas semua ibu, semua anak-anak dan semua orang dewasa.
Mereka telah terbiasa dalam suasana seperti itu. Tiap malam tak bisa tidur nyaman. Sembunyi di lubang-lubang yang mereka gali, di bawah rumah, di selokan-selokan, di tempat-tempat yang tersembunyi. Lari mereka semua, masing-masing menuju persembunyiannya sendiri-sendiri.
Siapa yang tertangkap karena menghalangi niat mereka, maka ditembak, di gorok dan di cabik-cabik jiwa dan harga dirinya.
Gn. Rakutak |
Belum lama kita lepas dari kejaran tentara Belanda, kini harus berhadapan pula dengan gerombolan DI/TII.
Itulah keadaan satu negeri yang dilanda peperangan, penindasan, dan gangguan keamanan dari kaum sempalan agama.
Jika menolong TNI, maka mereka di buru Belanda dan gerombolan. Maka tidak sedikit akhirnya rakyat menjadi serba salah. Mendukung DI/TII, jelas itu bukan pilihan hati nurani rakyat. Mereka tahu kekejaman, merasakan teror tiap malam tanpa ada ketenangan.
Itulah sepotong kisah yang juga kita dapati disini, di Kertasari dan sekitarnya ini.
Sudah kedua kalinya aku kesini, untuk mengenang kisah negeri ini di masa lalu, kini dan masa yang akan datang.
Peperangan masa lalu itu, mewariskan keterbelakangan, kebodohan, kelemahan, tak percaya diri sudah terbiasa jadi bangsa yang terjajah, berabad lamanya.
Untuk membangkitkan sesuatu yang hilang itu tentu tidaklah mudah. Namun walau sanajan tidak mudah, tetap harus kita perjuangkan, membangkitkan bangsa ini, dari jiwa, dari semangat, dari etos kerja, semangat belajar, dst.
Bangsa yang terjajah itu terbiasa dikomandoi dan tak terbiasa berinisiatif sendiri. Tentu 365 tahun terjajah bukanlah waktu yang sebentar. Itu adalah pengkungkungan, pemaksaan, pembatasan, dan segala macam peraturan yang terlalu pro penjajah, sebaliknya tentu tidak menguntungkan bagi mereka yang terjajah.
Palestina saat ini, itu adalah cerminan nyata satu negeri yang terjajah. Tak jauh demikianlah keadaan negeri kita di masa lalu.
Gunung Rakutak itu jadi saksi kebejatan kaum gerombolan, setiap kali melihat gunung itu, teringatlah kisah 58 tahun yang lalu. Tertangkapnya kartosuwiryo dkk.
Kini, setengah abad sejak masa itu, bangsa Indonesia sudah berada di jaman modern. Sudah saatnya untuk move on..
Mobil memenuhi setiap jalanan, motor terparkir di hampir semua rumah. Teknologi komunikasi, telpon, hp, televisi, internet sudah menjadi barang murah, lumrah, buat sekolah, kerja dari rumah dst.
Dalam suasana covid-19 ini, sekolahpun dari rumah, bekerja pun dirumah saja.
Kalau dirasa-rasa, suasana saat ini seperti kita mengalami waktu yang berhenti. Kehidupan seperti tak menentu, kota terasa sepi. Ekonomi menjadi sulit. Orang tak berkutik.
Entah sampai kapan suasana wabah ini akan berakhir. Perputaran uang, kegiatan masyarakat sudah terlanjur mati suri. Hidup enggan, mati tak sudi.
Entahlah, entah triger apakah yang diperlukan agar suasana bisa kembali normal.
Seperti di Kertasarie ini. Seperti ada sesuatu yang hilang dari negeri ini.
Kampung sisa peninggalan dari masa lalu. Hutan, kebun teh, pepohonan cemara tua adalah monumen yang tersisa dan masih bisa kita dapati di hari ini.
Pemandangan yang kedua, tentu tidaklah seperti pemandangan yang pertama. Sudah tak terkejut lagi dengan keadaannya, sudah tak terlalu kaget seperti ketika pertama kesini.
Perkebunan teh dengan diselingi beberapa pepohonan kayu adalah ciri khas dari Kertasarie nol km.
Itu nampak indah terutama jika ada banyak wisatawan yang sama kesini. Jika sepi seperti saat ini 8 September 2020, keelokan Kertasarie terasa berbeda. Serasa hambar, seperti sayur tanpa garam.
Perjalananpun kami lanjut menuju arah ke Pangalengan. Makan lontong kari ayam lagi seperti kemarin dulu. Ayamnya masing-masing satu potong, goreng tahu dua buah. Air teh hangat yang asli Santosa tentu harum dan menambah nikmat sajian makanan kali ini.
Gak bisa lama-lama makan disini, sebab lalat terlalu menguasai keadaan. Kita nyerah, dan pergi karena belum sholat dzuhur.
Kamipun pergi melewati situ Cihaniwung yang mulai surut itu, meninggalkan perkampungan Afdeling Santosa.
Seperti kemarin dulu, tentu jalan yang kita liwati adalah melalui jalan yang menuju ke Cibolang itu.
Beberapa pemandangan sudah berubah jauh. Dulu danau yang disisi jalan ini, terlihat hijau cingcau yang indah, namun kini telah binasa karena ditutupi ganggang dll.
Juga pepohonan yang dulu, 10 atau lima tahun yang lalu amat rindang, kini sudah sirna, raib ditelan zaman, dibinasakan orang-orang.
Kini, Pangalengan terasa panas dan hareudang.
Hareudang, hareudang, hareudang...
Panas, panas, panas...
Hareudang, hareudang, hareudang..
Panas dan hareudaang....
Nyanyian itu terasa cocokuntuk menggambarkan suasana Pangalengan belakangan ini. Jagung rebus di sisi sebuah lapang bola, cukuplah membuat memori kita terkenang kembali ke masa silam.
"Barudak ayeuna moal apal", orang sekarang tak akan tahu betapa teduhnya jalan ini di masa lalu. Kini pepohonan besar itu sudah tumbang, ditebang dan burung-burung pun menghilang.
Pangalengan pun kembali kami susuri, melewati jalan pintas yang melewati makamnya Boscha, menuju Pasir Malang Cileunca dan Cukul.
Cukulnya pun terasa panas di hari ini, tak lama kamipun putar balik saja menuju Cileunca hendak ke tempat yang teduh dan adem (hutan pinus rahong).
Namun sayang tempat yang kami tuju itu kini lagi di pugar, ada beko, dan alat berat lainnya, membongkar gawir-gawir disisi tebing dan sungai itu.
Kamipun kembali lagi, hendak pulang saja ke bawah, ke Baleendah, bale yang endah.
Namun di persimpangan ini, kami belok kanan menuju Kertamanah, hendak cari tempat untuk bisa makan-makan (karena tadi bekal kami belum sempat kami santap), dan juga terutama karena masih ada waktu, sekarang baru jam ashar. Pulang ke bawah janganlah tergesa-gesa. Karena tujuan kita kesini memang untuk jalan-jalan, picnic dan juga botram...makan-makan bersama (sambil gelar tikar ditempat yang cocok, dst)
Santapan "ulen" ketan bakar dengan sambel oncom, dan risoles adalah menu kita hari ini.
Syukurlah, akhirnya kitapun pulang ke arah bawah, dengan perasaan yang lebih baik sekarang.
KERTASARIE TO KERTAMANAH.
hari berseri, beramah tamah...
Dan juga berbungah-bungah...
Salam yaktos...dari pribados..
Ngaleos...dijurung ku waktos..
Wassalam...
0 Komentar