Photo ilustrasi.
Ada beberapa curug yang mantap akan tetapi tersembunyi lokasinya. Di Sumedang, di Garut selatan dll. Kasih tahu jangan ya...?
1. Curug Cicapar Sumedang
Curug Cicapar letaknya di sebuah hutan di kabupaten Sumedang. Untuk bisa sampai ke curug ini terbilang sulit level medium. Harus meliwati alur sungai yang sempit dengan undakan bebatuan atau gawir yang butuh untuk dinaiki. Sungainya benar-benar masih alami karena bersumber dari mata air diatasnya yang masih murni.
Jarak sungai yang harus disusuri itu sekira satu atau setengah kilometer. Penulis gak yakin berapa persisnya. Mungkin kurang, tapi karena treknya sangat sulit dan harus buka jalur dulu sehingga waktu tempuh menjadi lumayan lama juga. Ada sekira setengah jam berbasah-basahan (kukucuprakkan) di sungai. Airnya sih jernih karena masih banyak bebatuan alam yang juga bersih.
Itu adalah sekitar tahun 1995 atau 1997an. Kami berangkat dari kampung yang sekira 4-5 km jaraknya menuju lokasi tersebut. Jalan pada waktu itu jelas tak akan seperti sekarang yang sudah diaspal hotmix. Dulu masih berupa jalan batu (batu balast). Rombongan kami saat itu antara lain saya, adik saya, bohim, langir, ustadz, dani, dan dinta (bukan tapi adiknya dinta, bobby) dan seekor anjing.
Hari itu kami tiba diperkampungan terakhir cukup Sore dan cuaca juga agak berkabut gitu. Sehingga kami putuskan untuk nginap di sebuah saung yang ada di dekat hutan itu. Posisinya di antara persawahan yang terasering dengan aliran cicapar di bawahnya dan hutan-hutan di sekitarnya. Lokasi disana adalah sebuah pegunungan yang sekira 800 mdpl dan menjadi batas antara perkampungan dan hutan yang masih cukup alami. Benar-benar menyenangkan sekali. Segar dan terasa sehat.
Malampun tiba, untunglah kita sudah siapkan dengan perbekalan untuk makanan dan atau air. Waktunya tidur terbilang cepat. Karena kami hanya bisa ngaringkuk berdesakan di saung itu. Dan anjing ada dikolongnya. Dan beruntungnya adalah bahwa saung tersebut cukup tertutup, sehingga terasa aman dari binatang liar di malam hari. Sore tadi kebetulan ada pemilik saung itu dan kami sudah minta ijin untuk ikut numpang disana.
Malam memang terasa panjang, tapi tidur harus dilakukan karena supaya besok tetap segar dalam acara lintas alam selanjutnya.
Rencananya kita memang akan menuju curug Cicapar, setelah itu lanjut ke atas lagi ke daerah Cisoka-Cibubut dan lanjut memutar ke timur ke daerah Cibugel.
Malam sangat mencekam karena suasana hutan makin terasa disana. Entah binatang-binatang apa bersahutan di atas sana. Ada kodok, dan binatang-binatang malam lainnya. Tapi sungguh alam nan permai seperti itu adalah bagaikan secuil Surga di Katulistiwa. Adem, segar dan sepi dari kehidupan modern.
Belum ada kamera hp waktu itu, belum musim. Belum ada kamera biasa juga, maklum kami tak bawa alat-alat seperti itu. Belum musim narsis soalnya. Atau mungkin karena kami tak punya tustel (kami menyebutnya kodak). Mungkin kami tak punya kamera waktu itu. Atau emang tak niat bawa atau tak merasa butuh. Kami hanya butuh golok, bahan perbekalan, tenda, senter dll.
Pagipun menjelang dengan udara yang terasa segar nan embun membasahi di sekitaran. Kamu harus mengalami sendiri untuk dapatkan penjelasan yang terperinci. Intinya adalah, sebagaimana suatu keadaan di perbatasan hutan belantara, dengan sawah subur disekitarnya yang sedang menghijau, air memancar dimana-mana dan burung-burung juga bebas beterbangan dan bernyani. Binatang-binatang kecil seperti kupu-kupu, laron, kunang-kunang, papaptong, dll beterbangan memperelok suasana di pagi yang mervelous itu.
Sudah agak siang dikit, setelah sarapan pagi dan embun juga sudah mulai mengering kita baru melanjutkan kisah petualangan yang kemarin terhenti. Menuju curug Cicapar.
Curug Cicapar ini memiliki kisah dan sejarah. Kisah sejarah zaman pemberontakan DI/TII. Disinyalir disekitaran curug ini menjadi tempat persembunyian kaum pemberontak. Ada bukti kerangka jenazah yang mati disana. Sebuah sumur mirip kejadian G-30SPKI. Beberapa cerita tentang DI/TII. Seorang wanita yang diinjak perutnya beserta bayi yang dikandungnya. Dan kekejaman-kekejaman lainnya. Mereka benar-benar sudah dirasuki iblis, tak ada lagi perikemanusiaan. Kalap dan hilang akal sehat.
Cicapar hulu, telah menjadi saksi sejarah DI/TII. Tanah di atas kiri ini sebenarnya labil, sudah beberapa kali mengalami amblas dan longsor. Terbukti beberapa hari setelah kami lewati jalan itu. Tanah di hutan itu amblas dan menutup aliran sungai yang kami pijak ini. Keberuntungan yang luar biasa. Bahkan setelah selesai dari curug Cicapar kami balik lagi dan terus naik menyusuri bukit yang bukit tersebut sudah seperti tanah longsoran ditanami pohon-pohon perdu dan rerumputan, serta air mengalir di permukaannya. Tak tahu jika beberapa hari setelah itu tanah tersebut benar-benar longsor kembali. Ngeri-ngeri sedap jika teringat kisah waktu itu.
Beberapa kali kami harus saling bahu untuk menaiki bebatuan di aliran sungai itu, untuk bisa terus melaju menuju hulu. Aku yang berdiri di posisi paling depan, dengan golok ditangan membabat tanaman atau dahan-dahan yang menghalangi. Hanya lewat aliran sungai tersebutlah kami pikir satu-satunya jalur menuju curug. Sisi kiri adalah tebing dari bukit yang tinggi dengan bekas tanah yang labil. Dan sebelah kanan sungai adalah juga tebing dengan pepohonan raksasa yang lebat dan rapat. Tak mungkin kami melewati kedua sisi tersebut.
Pada beberapa aliran sungai, hingga sampai se tinggi perut. dengan dedaunan diatasnya, mirip memasuki suatu lorong atau lubang goa. Sebagai yang membuka jalur, saya babati ranting-ranting dari rumput atau tanaman perdu itu, membuat beberapa ulat berjatuhan ke aliran sungai. Tapi tekad kami tak akan surut karena kami yakin kesulitan kami itu akan dibayar kontan oleh pemandangan dari curug yang bakal memuaskan hati kami.
Beberapa curug kecil mengalir dari sisi kanan sungai ini, itu semakin membuat kita bersemangat. Dan sementara jarak ke curug utama semakin terasa dekat. Suara itu sudah samar terdengar.
Ya....bagai penemuan harta karun. Curug itu akhirnya nampak juga dari kejauhan. Menambah adrenalin dan kegembiraan buat kami semua. "Horeeeee....curugnya sudah kelihatan...!!!"
Tinggi sekali curug itu, dan ada dua curug utama, rupanya hulu Cicapar ini terbagi lagi dua aliran disini. Yang kiri dan yang kanan. Kalau yang kiri agak menjorok lagi terhalangi oleh semak yang sangat menakutkan karena nyaris gelap dan dipenuhi tetumbuhan yang merintangi jalur. Dan sementara kami sudah merasa cukup terpuaskan oleh curug yang sebelah kanannya. Ketinggian kedua curug ini sama saja, ada lebih dari 20 atau 30 meter. Dan debit air nya juga cukup besar dengan tebing bebatuan yang terlihat bersih dan membentuk ceruk yang melingkar.
Tak sabar, aku lansung saja ke tepi kubangan air yang terbentuk di pangkal curug. Terlihat amat jernih bening, dan yes....airnya benar-benar murni, sejuk dan wow....alami 100 persen. Segar rasanya. Tak ada kamera untuk membagi pemandangan tersebut. Jadi hanya kami berlima yang dapat menikmatinya secara sempurna. Luaar biasa...!
Entah kapan lagi kami bisa menikmati curug itu. Entah apakah sekarang ini curugnya masih ada, atau sudah merana seperti banyak curug lainnya. Mudah-mudahan curug Cicapar itu tetap lestari, dan abadi. aamiin.
Sebenarnya dalam benak kami, dalam benak penulis, ada terpikir jika saja trek ke curug ini bisa dibuka tentu akan menarik banyak pengunjung. Walau dilain sisi, penulis berharap curug ini tetap seperti apa adanya. Alami terasa lebih indah. Jika sudah banyak pengunjung biasanya akan mulai terjadi keruksakan dan itu jangan sampai terjadi. Di curugku ini.
Tentang curug ini, ternyata terdapat kisah dari bapakku sendiri. Beliau sewaktu zaman dahulu, pernah tersasar dihutan sabeulit itu. Maklum hutan disana itu benar-benar masih rimba. tak ada jalur pendakian atau tapak orang.
Sepulang berburu, orang tua kami dan beberapa temannya. sore itu kesasar diatas dari curug Cicapar ini. Sehingga satu-satunya cara pulang adalah mengikuti alur sungai. Tak tahu sungai apa. Yang penting ikuti saja alur sungai karena niscaya aliran sungai akhirnya akan menuju ke permukiman penduduk.
Terbayang sudah segitu tingginya curug itu, mereka harus menuruninya. Jika lewat tebing, itu tak mungkin...sisi kiri dan kanannya adalah tebing yang curam semuanya, dan hanya ada satu pilihan menuruni curug via pucuk pohon yang kebetulan tumbuh disisi salah satu curug itu. Bermodalkan akar-akaran yang diikatkan dari dahan pohon itu dan lalu seorang demi seorang menuruni melewati pohon itu. Terakhir adalah giliran bapak kita. Beliau yang dari tadi berperan sebagai pemegang tali akar itu, kini tak ada yang bisa bantu beliau. Akhirnya ujung akar itu diikatnya ke akar-akar rerumputan yang ada didekat situ. hanya bekal lillah...semoga selamat.
Benar saja, baru saja bapak berpegangan pada dahan pohon itu, lalu tiba-tiba akar itu terlepas dari ikatannya dan terang saja pohon menjadi terpelanting. Dan orang tua kami berayun-ayun di ujung pohon itu. Dengan gemetar di kesudahannya, alhamdulillah selamat semuanya.
Hanya anjing-anjing yang mereka bawa yang kemudian tak bisa ikut pulang bersama mereka. Entah mungkin jadi penghuni hutan itu dan berketurunan disana atau semuanya bisa bertahan hidup atau tidak. Kita tak ada yang mengetahuinya sampai dengan hari ini.
Babeh bercerita itu beberapa lama setelah kita berkisah tentang petualangan kami itu kepada beliau. Bukan sebelumnya, sehingga pada saat kami ke sana. Kami benar-benar tak memiliki referensi apapun juga tentang curug itu. Hanya saja, kami mendengar bahwa di sana ada curug Cicapar dan kami penasaran untuk dapat mengetahuinya.
Tapi itu curug adalah sebelum terjadi longsoran. Mungkin saja hari ini sudah berubah. Hanya memori yang ada dalam ingatan kita.
Waktu itu aliran sungai Cicapar masihlah deras dengan debit yang cukup besar. Akan tetapi sejak beberapa tahun kebelakang, sangat sedih jika kita melihatnya. Sungai Cicapar tak pantas lagi disebut sebagai sungai, ia lebih layak dibilang solokan yang saat. Menangis hatiku...betapa alamku kini sudah ruksak parah nampaknya. Pembabatan hutan di gunung itu terpergok oleh kami yang waktu itu melewatinya. Pohon-pohon kayu hutan denga seenak sendiri ditebanginya dengan tanpa merasa bersalah. Mata kami menjadi saksinya. Bukan kata orang, tapi kata mata kami sendiri.
Betapa lemahnya perlindungan hutan kita, penjarahan bisa terjadi dengan begitu leluasa. Tanpa ada yang melarangnya atau apalagi menghentikannya. Entah sekarang, saya kira pastilah kondisi hutan itu kini sudah semakin ruksak. Buktinya, aliran sungai Cicapar yang lewat di kampungku...nyaris tak berair lagi. Apakah aku harus berteriak dan mengatakan bedebaah...!!!...???.
Kemiskinan, kebodohan telah menjadi biang kerok dari pembalakan itu. Orang kaya semakin kaya, orang miskin tak berdaya. Memang sedih menyaksikan kehidupan kita ini. Apa daya, kita tak mampu berbuat apa-apa.
Tapi ini hanya pilihan sementara. Harus membuat pilihan lain, melakukan perlawanan terhadap kemiskinan dan kebodohan itu. Pendidikan dan perekonomian harus terus kita dorong agar semakin baik lagi. Kita berharap peran serta semua pihak yang membaca keadaan seperti demikian itu. Kita sama-sama peduli dan lalu mari melakukan tindakan-tindakan yang dapat kita lakukan. Dalam dunia pendidikan, dalam bidang perekonomian, pemerintahan dan perpolitikan. Semua harus kita garap secara serentak dan bareng-bareng. Terlalu banyak tantangan kita saat ini. Terlalu terbelakang kehidupan kita ini. Itu tanggung jawab kita semua. Silahkan yang punya ilmu, pengalaman dan kekuatan/kekuasaan, keterampilan, dan siapa saja yang memiliki semangat untuk membela tanah air kita dari keterpurukan, dari kehancuran alam dan dari keterbelakangan ekonomi, sosial, pendidikan, politik dst.
Alam Jawa Barat yang dulu kita kenal, gemah ripah repeh rapih. Air melimpah, sungai dimana-mana. Kini sungai-sungai itu nyaris hilang. Kini, sumber mata airpun semakin jarang. Apakah kita hanya akan menyaksikan kehancuran tanah air kita yang seperti itu...?. Pasrahkah kita...?
Berilah kami kekuatan...
Berilah kami kemampuan...
Berilah kami kesanggupan...
Berilah kami daya upaya
Wahai Tuhan....
Demikian saja kisah kita tentang Curug Cicapar itu.
Pertanyaan...
Apakah Curug itu yang kini masih seperti yang dulu..?
Satu, setelah melihat kondisi sungai Cicapar, sudah pasti curug itu kini pasti tak akan sama seperti dulu.
Dua, setelah kejadian longsor dari tebing bukit yang di sebelah kiri sungai itu, ada kemungkinan besar sungai itu sudah tertimbun sehingga mungkin saja ketinggian Curug itupun menjadi berkurang. Itu adalah kemungkinan yang paling masuk akal. Walau kami berharap bahwa curug itu tidak ikut terdampak. Semoga saja.
2. Curug lain-lain
0 Komentar