Curug Orok Garut

Jalan-jalan ke curug orok.
Jalan-jalan kali ini adalah menuju curug orok yang tempatnya ada di suatu perkebunan teh di daerah Pamulihan Garut Selatan.

Tadinya tempat yang sebenarnya ingin kutuju adalah ke Kamojang saja. Pagi benar kami sudah pergi dari Bandung. 

Jalan yang dilewati adalah Buahbatu, Bojongsoang, Simpang Baleendah, Munjul, Jelekong, Cangkring, Cikawung, Ciparay, Majalaya, Ibun, Monteng dan sampai di Monteng pas sekira jam 7 pagi. 

Di jembatan Monteng itu kami sarapan dulu, gak muluk-muluk sarapannya. Mie rebus, leupeut, cireng dan air teh hangat yang enak sekali.

Udara kali itu dingin sekali. Angin juga berhembus membuat udara yang super dingin itu menelisik kedalam pori-pori, membhuatku cukup menggigil. Untungnya ada sinar mentari yang kekuningan dibalik siluet jembatan itu...hingga sampai ke sisi meja ini. Lumayan bisa sedikit memberikan kehangatan yang sangat aku inginkan saat itu. 


Kamu bayangkan, ini masih pagi dengan cuaca yang dingin dan butiran-butiran air bak kapas yang beterbangan dari langit. Itu adalah cuaca yang sangat dingin di masa pancaroba ini. Barangkali ini adalah akan memasuki musim yang hujan. Dalam waktu sebulan ini memang di kita sudah beberapa kali turun hujan. Dari sekira awal bulan september lalu hingga awal oktober ini, hujan sudah menyapa kita. 

Moyan (berjemur) atau siduru (perapian) sebenarnya adalah yang paling pas untuk pagi seperti ini. Tapi, kita masih harus ada yang dituju. 

Tiga perempat jam sudah cukup untuk sarapan kita dipagi di sini.

Monteng yang sepi, hanya ada empat petualang aki-aki yang ada disana. Mereka nampaknya sudah sejak tadi disana, kalau kita taksir mereka juga sama nampaknya sedang ikut menghangatkan perut dengan teh dan secangkir kopi. Entah tujuan kemana, kita tak tanya itu. Hanya terdengar asyik ngobrol saja...ketawa dan ketiwi yang tak jelas.

Rupanya bukan hanya aku yang suka perjalanan naik motor juga di pagi ini, jadi merasa ada teman saja. 

Saat covid 19 ini memang sering kita lihat orang punya banyak waktu luang untuk sekedar melepas rasa bosan diam di rumah. Work from home, pembatasan sosial bersekala mikro, new normal, adaptasi kebiasaan baru AKB dll.

Dan juga kita sering lihat grup bersepeda yang lagi booming di Bandung dan sekitarnya ini. Kemana saja kita pergi, terutama di hari sabtu atau minggu...kita akan jumpai kelompok pesepeda yang sangat ramai.  Ke timur ke Sumedang, ke tenggara ke Cisanti, ke Selatan ke Pangalengan dan Ciwidey, ke utara ke Dago dan Lembang...banyak para GOWESER..

Suasana yang demikian itu yang covid itu, sungguh terasa dimana-mana.

Kehidupan memang menuju normal, tapi tidak akan senormal biasanya. Masih akan cukup waktu untuk benar-benar bisa kembali pulih dari wabah corona ini. Dunia memasuki era yang aneh. Waktu seperti ada dalam inkubasi, diputar tapi tak banyak yang bisa kita perbuat...terkungkung, dan segala terbatas.

Tuhan punya cara untuk membuat manusia sedunia ini kembali kepada kesadaran dirinya. Sadar bahwa dunia yang kita pacu akhir-akhir ini, ternyata rapuh. Dengan virus yang berasal dari satu pasar saja cukup membuat seisi dunia menjadi lumpuh, atau layu.

Harta, kemewahan, bersenang-senang dengan dunia dan seisinya itu....nyatanya hanya patamorgana. Tak bisa sesuka hati. Ada kuasa lain yang tak bisa kita lawan. 

Tuhan hendak mengingatkan semua itu sesungguhnya tak semestinya kita kejar habis-habisan. Kita ngoyo dengan kehidupan dunia ini, hingga kita lupa dimensi lain dari kehidupan ini. Kita lupa berbagi dengan kaum ekonomi lemah, kita lupa dengan waktu yang menggerogoti usia kita. Karena dunia yang berlimpah, harta yang mudah didapat, kemewahan, pesta suka-suka. Itulah yang kita saksikan selama ini hingga covid datang menghentikan semua gemerlap dunia itu.

Barangkali itulah pesan Tuhan kepada kita saat ini.

Sudah sekira 7 hingga 8 bulan, bangsa Indonesia terdampak corona covid 19 ini. Program-program pembangunan banyak yang terhenti. Percepatan peningkatan kesejahteraan juga terhenti. Ini mirip dengan kejadian tahun 1998, saat tumbangnya rezim orde baru berganti ke era reformasi. Ekonomi lumpuh, negara yang sedang tumbuh kembali ke titik start. Barangkali Tuhan lebih suka melihat bangsa ini menjadi bangsa pejuang, dan tak mau bangsa ini menjadi tenggelam dalam kemewahan duniawi.

Ya, sejatinya kita tak perlu hidup mewah, serba jetset, serba gemerlap di dunia ini.

Kita hanya cukup dengan pangan, papan, sandang, beberapa piknik, dan tak lebih dari itu. Kita gak perlu mobil mewah, kita gak perlu rumah yang megah.

Tuhan lebih suka kita bangsa Indonesia hidup dalam sejahtera yang sederhana. Jangan hidup di era kemewahan, bermewah-mewah itu awal kehancuran suatu bangsa.

Tuhan menjaga kita dari kemewahan yang kita berlomba-lomba didalamnya yang sesungguhnya kemewahan itu sumber malapetaka dunia akhirat.

Kita hanya cukup dengan rumah tempat kita berteduh, sekolah yang baik, mengaji, makanan yang tersedia dimana-mana, kesehatan, waktu luang untuk keluarga anak dan istri, bercengkrama dengan tetangga...semacam itu terasa lebih indah. 

Dunia yang kita kejar selama ini, sesungguhnya tak perlu membuat kita jadi melupakan keseimbangannya.

Keseimbangan.
Itulah kata yang sering dianggap remeh oleh pengejar harta dunia selama ini.

Untunglah covid segera datang, menyadarkan kita apa sesungguhnya MISI hidup kita di dunia ini.

Dunia bukan untuk dunia semata.
Ada akhirat tempat yang MENANTI kita. 
Akhirat sudah menunggu kita di depan kita.

Itu yang sering sekali manusia LUPA.


Seperti suasana Kamojang saat ini, dunia terasa sepi dengan kabut yang tebal mampu menutup ruang dan waktu kita.

Sesungguhnya niat awal adalah hendak menuju ke Kamojang ini, karena lokasinya tak perlu jauh-jauh dari Bandung. Namun, cuaca yang penuh kabut, membuat pemandangan menjadi hilang disini. Itu tak terlalu cocok karena kita merasa butuh sesuatu yang terang, yang cerah agar kita semua menjadi merasa bersemangat dan juga gembira.

Cuaca yang dingin, hanya membuat kita "murungkut", diam dan padahal kita butuh suasana yang lebih bersemangat.

Karena itu kita buat rencana lain, rencana baru yaitu menuju curug.

Kita sebenarnya ingin mengunjungi curug Sanghyang Taraje. Tapi karena waktu yang tidak akan cukup, karena cuaca terutama sudah mendung. Akan cukup bagi kita mengunjungi satu curug saja, yaitu curug orok.

Jalanan dari Kamojang menuju Samarang yang didominasi perkebunan sayuran, perkampungan, dan juga hutan. Dari sana kita belok ke kanan menuju Bayongbong Cisurupan dan Cikajang.

Kita isi bensin dulu di sekitar Cisurupan itu, beli makanan juga dan lalu perjalanan kita lanjut ke arah selatan. Tadi sempat salah arah, tak sadar selepas dari isi bensin aku belok kiri, dan baru sadar kok seperti mengulang waktu. Tadi aku kesini lewat tempat ini...berarti kita itu sekarang menuju arah pulang. 2,5 km sudah. Kamipun putar balik karena harusnya dari pom itu kita nyebrang jalan, jika tujuan kita bukan putar balik sebab ketika kita masuk pom itu kita juga nyebrang jallan. Masuk nyebrang maka keluarpun harusnya nyebrang juga. 

Maklum lagi asyik keasyikan ngobrol, jadi lupa arah tujuan.

Duh, ditotal berarti kita buang waktu, buang bensin juga sebanyak 2x2,5 km. Lumayan jauh.

Dari Cisurupan ini kita masih terus ke selatan, tak akan lama lagi akan sampai di kecamatan Cikajang. Dari Kamojang jam delapan, ini sudah sekitar jam 9 lebih. Hari akan sempit karena ini hari jum'at.

Pertigaan Cikajang kita ambil jalan yang ke kanan, disana tertulis arah menuju Bungbulang. 

Tak terlalu jauh kita akan sampai di tujuan. Curug Orok.

Jalan ini pertama penulis kunjungi adalah tak sengaja karena pekerjaan semata. Tiga tahun yang lalu ada tugas kerja untuk bantu listrik desa. Hanya dua kali penulis kesini. Ini baru yang ketiga kalinya.

Pemandangan indah di tempat yang baru biasanya akan cukup kuat untuk diingat. 

Beberapa point yang masih diingat..., komplek raider TNI, kebon teh, Curug Sanghyang Taraje, Pamulihan, dan tanjakan Panganten.

Hari ini, kita akan lewati itu semua, kecuali Sanghyang Taraje yang kita cancel.

10.30 waktu saat ini, kita baru saja sampai di pelataran parkir Curug Orok. 

Hanya ada waktu kurang dari satu jam untuk kita disini. 


Air Terjun di kec. Pamulihan Garut.
Curug ini dulu sempat terkenal karena keunikannya. Air terjunnya yang beranak pinak membuat curug ini dinamai curug orok. Orok dalam bahasa Sunda yang artinya adalah bayi. Curug Bayi, curug yang memiliki beberapa anak di sampingnya. 

Jika kita amati, pastilah beberapa curug yang lebih kecil itu tidak bersumber dari induknya yang lebih tinggi. Sebab jatuhnya air dari curug yang lebih tinggi itu langsung ke undakan yang bawah (undakan ketiga atau keempat), sehingga beberapa curug yang lebih pendek itu tidak mendapat aliran darinya. Mereka memiliki sumber aliran yang berbeda. Nampaknya mereka muncul dari terowongan yang ada dibalik undakan yang kedua dari atas. Dari sisi debit juga nampak jika curug-curug yang lebih kecil itu memiliki volume yang lebih besar jika dibandingkan dengan curug utama yang paling tinggi itu.

Namun sayang seribu sayang, keunikan curug orok ini tidak dibarengi dengan kualitas airnya. Kelihatan air yang mengalir itu sudah tidak bersih lagi karena sungai di hulunya sudah terkotori oleh limbah-limbah penduduk. Ada banyak sampah, sedikit keruh dst.



Indonesia yang dikaruniai alam yang indah namun tak diimbangi oleh sikap perilaku masyarakatnya yang belum seindah alamnya. Sehingga keindahan alamnya ini menjadi tidak terpelihara dengan baik. 

Malu kita, jika melihat sampah berserak dimana saja. Perilaku se ENAK UDELnya sendiri. Gak ada rasa tanggung jawab terhadap pemeliharaan alam ciptaan Tuhan ini. 

Jiwa "khalifatu fil ardli" nya tidak ada. Tak ubah seperti monyet yang tak dikaruniai akal pikiran. Membuang sampah sembarangan. Monyet-monyet itu padahal pernah disekolahkan. Tapi, entah apa yang mereka dapat. Anak dan ibu, anak dan bapaknya sama saja. Sama-sama tidak memiliki kualitas MANUSIA sebagai makhluk yang berakal yang harusnya berperilaku lebih mulia, tidak berperilaku bak monyet-monyet yang hanya "culak cileuk", terlihat bodoh, dan berakhlak masabodoh. 

Hanya manusia-manusia monyet saja yang membuang sampah dimana dia maui. Tanpa rasa bersalah, tanpa rasa malu, tanpa rasa bertanggung jawab.

Pengurusnyapun sama saja, mereka semua diam tak mampu merubah perilaku anggota masyarakatnya itu. Kita semua sudah pernah belajar betapa lingkungan itu harus dijaga. Bahwa membuang sampah sembarangan itu dilarang. Bahwa kebersihan adalah sebagian dari keimanan. 

Terdidik tidak. Berperilaku imanpun tidak. 

Coba kita bandingkan dengan negeri Jepang, New Zealand, Singapura dll. Negeri kita terlihat sangat kotor. Buang sampah di jembatan-jembatan, disisi jalan, di sungai, di selokan, di halaman rumah, diruang umum dll. Dimana saja mereka lewat, disitu saja mereka buang sampah. Apakah mereka manusia...?!?.

ya tubuh mereka adalah terlihat manusia, tapi perilaku mereka tak beda seperti monyet. 

Monyet-monyet kampung, monyet-monyet kota sama saja. Makan, bahkan di tempat kampung orang, di kawasan-kawasan yang dianggap indah untuk tamasya...mereka makan-makan disana. Sudah kenyang sampahpun dibuang saja di tempat makan mereka itu lalu pulang. Dia gak mikir, dia makan disitu karena keindahan tempat itu. Lalu setelah itu dibuatnya tak indah. Dia gak mikir dia makan disitu karena keindahan tempat tersebut, bukan karena tempat itu tak indah. Lalu dia nyampah disitu, membuat tempat itu jadi kotor. Apa dia pikir dia telah menjaga keindahan tempat yang dia sendiri kesana karena disana dirasa terlihat indah...?!?

OTAKNYA DIMANA SIH...?!?

Monyet-monyet itu, sungguh memalukan. Malu aku sebagai bagian dari entitas masyarakat seperti itu. Aku tak sudi disebut sebagai bagian dari mereka. Karena aku merasa bukan bagian dari monyet-monyet itu. 

Siapa yang tersinggung...?!?
Monyet-monyet itu tersinggung...?!?.

Kalau tersinggung, baiklah seharusnya kalian memang tersinggung. Dan oleh karena itu mulailah menjadi MANUSIA yang normal yang punya sikap sebagai makhluk yang berakal, bukan berperilaku sama dengan monyet-monyet, lebih buruk dari monyet-monyet.

Jika kalian merasa sebagai manusia, berperilakulah sebagai makhluk yang punya cita rasa, bukan berperilaku seperti keledai dan monyet-monyet.

Saya percaya, tak ada satu orang dewasapun yang tak tahu bagaimana memperlakukan sampah. Saya percaya semua warga NKRI ini pernah sekolah, pernah diajarkan tak boleh buang sampah sembarangan. Mereka belajar menyapu, membersihkan rumah. Tapi kenapa mereka tak mampu memelihara kebersihan di luar rumah mereka...LICIK, PICIK, UDIK. 

Malu aku. Apa kata orang jika melihat kampungku ini sekotor ini...?!?

Malu aku, apa kata orang jika negeriku sejorok ini. 

Tuhan sedang melihatku saat ini. Menyaksikan alamnya yang dibuatNya sedemikian indah itu, kemudian dibuat kotor oleh manusia-manusia ini. Apakah mereka layak disebut manusia...?!?

tidak. mereka tidak layak disebut manusia. Karena manusia adalah makhluk paling mulia, karena manusia adalah makhluk yang punya cita rasa. Tak seperti mereka yang sudah kehilangan jatidirinya itu, yang harusnya berpredikat sebagai makluk paling berakal, sudah berubah jadi manusia-manusia bodoh, sontoloyo, tak beradab, tak bertata cara.

Kalau mereka bukan monyet, tentulah mereka bisa baca tulisan ini. Kalau mereka bukan kera, pastilah mereka malu dengan perilaku mereka itu.

kalau kalian tak merasa sebagai monyet, pastilah kalian tak berperilaku sebodoh monyet, tidak sejorok binatang-binatang. 

Hanya sapi yang tak bisa bedakan dimana saja mereka harus buang kotoran.

Manusia yang tak tahu tempat dimana dia buang kotoran, sampah-sampah bekas mereka gunakan dan mereka buang...melainkan mereka adalah tak bedanya dengan monyet-monyet dan binatang-binatang itu. 

kuharap kalian yang merasa berperilaku seperti itu merasa tersinggung...dan merasa terhina jatidirinya yg tubuhnya seperti manusia tapi otaknya berakal seperti binatang. 

silahkan jika kalian tersinggung. hendak mendendamkah seperti setan yang dilaknat Tuhan itu...?!?, atau berperilaku taubatan nasuhakah seperti yang dilakukan oleh bapak-bapak kalian yakni Nabi Adam as. 

kalian harus tersinggung...dan kemudian jadilah manusia yang seutuhnya. 

Jangan bodoh. Mikiiiiir...!!

Air terjun yang harusnya bisa dinikmati keindahannya itu... kini jadi ruksak bak tempat pembuangan sampah. rujit, jorok, kotor.

Entah hewan-hewan apa yang telah mengotorinya. Monyet...?, tidak mungkin buang sendal. Kucing...?!?, tidak mungkin buang bantal.

Anjing...?!?, tidak mungkin buang keresek. 
Babi...?!?, tidak mungkin mereka buang bungkus rokok. 

Lalu siapa yang telah nyampah berserak seperti itu...?!?

pastilah itu perbuatan mereka yang berbadan manusia, tapi ruhnya tidak berjiwa manusia. 

Coba curug ini adanya di Singapura. Pastilah tempat ini akan sangat di jaga, dipelihara, di bagus-bagus. 

Namun sayang curug ini adanya disini. Di Negeri yang masyarakatnya tak tahu arti kebersihan, negeri yang tak peduli dengan kelestarian alam, negeri yang acuh dengan lingkungan.

Butuh gerakan era milenial agar merubah perilaku tak beradab itu menjadi masyarakat yang beradab dan bermartabat.

Kapan kita bisa juara kalau mental kita masih seperti itu. Kapan kita jadi bangsa yang maju jika kelakuan kita masih terbelakang begitu.

Ayo kita bangkit. Jadilah manusia-manusia berakal yang beradab dan berkebudayaan yang agamis, maju dan juara.

Dilarang buang sampah sembarangan.
Kebersihan adalah bagian dari iman.

Mau kapan kita berubah.
Cintai yang dibumi, niscaya yang "di langit" akan mencintaimu.

Salam Bersih
Salam Akal Sehat

Jabar Juara
Indonesia Gemilang

Kurang dari satu jam kitapun enyah dari sini. Geram dengan keadaan itu hanya membuat sesal saja.

Setelah sholat Jum'at nanti kita akan langsung saja pulang memutar melewati Pakenjeng, Bungbulang, Cisewu, Talegong Cukul  Pangalengan dan kembali ke Bandung.

Cerita kita saat ini panjang sekali, tapi kalau disimpulkan tentu hanya ada beberapa point saja. Covid membuat kita prihatin, tapi ada niat baik Tuhan dibalik semua itu. Cerita perjalanan demi mencintai alam ini, Curug Orok cermin masyarakat yang JOROK. 

Dan kita pun pergi saja menuju Bungbulang.
Jalanan ini sangat jauh juga rupanya. Dari Pamulihan sekira jam 12.30...sampai di sini masih terasa jauh.


Beberapa kali rantai motorku lepas, dua kali. Cukup berbahaya saat lepas ditanjakan seperti ini. Untung pijakan kaki masih menahan motor, kalau saja tak tertahan tadi, kita bisa bergelimpangan di sini.

Rupanya ini jadi pelajaran jika hendak bepergian, cek kondisi kendaraan kita. Rantai, rem, ban, oli, dll.

Perut sudah lapar, tapi kita akan cari tempat makan yang paling cocok. Pengen di lesehan biar suasananya asyik untuk ngobrol dan santai sebentar.

Dari pamulihan itu kita lewati lagi perkebunan teh, jalan yang menurun, melewati turunan atau "Tanjakan Panganten", lalu setelah jembatan itu jalan menanjak lagi.

Kondisi jalan disini kadang bagus, kadang buruk.

Kecamatan Pakenjeng ini ternyata luas juga. Dari tadi masih Pakenjeng.

Di sebuah desa, namanya Depok. Kita berhenti dulu karena ada warung nasi yang cocok.

Hmm, enak juga nasi disini.
Air tehnya juga pas dan hangat.
Satu makanan yang baru pertama kudengar adalah...pepes Manga.

Jadi inget pemain voli, Manganang. Aprilia Manganang.
Pepes Manga ini, mirip beunteur katanya. Kamu kok tahu...?!?
Ya, didalamnya bukan hanya ikan Manga, ada juga bogo kecil-kecil seukurun kelingking. Ada juga udang merah yang sama juga kecil. Dan terakhir ada juga keuyeup kecil. 
Duh, baru kali ini ada masakan keuyeup di meja makanku.

Makanan yang sangat original. Enak dan maknyus.

Hanya itu yang kami makan, selain lalaban leunca, roay dll. Tahu dan juga karedok menemani kita saat ini.

Alhamdulillah, nikmat sekali.

Desa Depok ini tak jauh dari kawasan sungai Tonjong yang disana ada pembangunan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro).

Oh ini rupanya PLTMH yang sudah dibangun sejak beberapa tahun yang lalu itu. Pipanya terlihat dari jalan yang kita lewati tadi, menyebrangi jalan menuju turbin di bawah sana. 

Aliran sungai memang cukup besar disana. Dan juga lembah yang cukup permai. Damai kita merasakan suasananya.

Pengen sebenarnya kunikmati alam disana, tapi seperti kita bilang tadi. Hari sudah terlihat mendung di beberapa langit. Di belakang dan didepan kita.

Malah motorpun kita pacu lebih kencang walau jalan ini jalan seribu tambalan.

Kami menyebut jalan Pakenjeng ini, adalah Jalan Seribu Tambalan karena hampir semua aspal adalah berupa tambal sulam. Semua bagian jalan sudah merupakan aspal tambalan.

Bahkan tadi kita jumpai tiga lokasi sedang dalam pengerjaan penambalan jalan. Tiga lokasi berbeda dengan tiga grup pengerjaan. 

Sayang kita tak sempat memotretnya disini. Cukuplah kalian bayangkan demikian.

Mungkin jallan ini cocok untuk elf. Tapi tak cocok untuk motorku. Kalau kencang terasa sakit di pinggang atau pantat.

Duh...kapan jalan ini bisa mulus. Walau sesungguhnya dengan kondisi jalan yang demikian itu justru serasa lebih cocok untuk petualangan atau saba desa kali ini.

Kuharap kelak ketika kita kembali disini...setelah covid ini, program jamu, jalan mulus di jabar akan dilanjutkan lagi. Aamiin.

Lama sekali jalanan Pakenjeng ini, Bungbulang masih didepan sana.

Oh rupanya kota kecamatan Bungbulang ini cukup asyik juga. Ada beberapa persimpangan jalan. Itu membuat Bungbulang ini terlihat cukup ramai dibanding Pamulihan dan Pakenjeng.

Bungbulang ini adalah pegunungan dataran rendah. Ia adalah perbatasan antara kawasan pegunungan tinggi diutara dan pantai di bagian arah selatannya. Jadinya udaranya campur aduk, hangat dan kadang ada sedikit teduh.

Baru pertama penulis lewat tempat ini. Dulu waktu pekerjaan listrik desa, hanya sampai tadi di sebelum Tonjong arah Cikajang.

Jadinya belum bisa memperkirakan waktu perjalanan lewat jalan ini. 

Dipersimpangan kita akan belok kanan, kalau lurus itu adalah menuju Rancabuaya.

Cisewu aku kembali padamu.
Curug Rahong, Curug pelangiku, Macan Cisewu, Lembah yang asri, lembah yang alami.

Cisewu, kita bersua kembali.
Seminggu yang lalu, terakhir kita bersua. Rasanya belum cukup.

Nanti semoga kita bersua kembali dalam suasana yang baru. Dan kebahagiaan yang juga baru.

Cisewu...engkau istimewa karena ceritamu.
Si Macan Terlugu di dunia.

**Cerita tentang cisewu, boleh kalian baca dengan ketik link cisewu di blog ini....ceritanya cukup seru. Nanti bisa sambung juga cerita tentang Talegong dan Rancabuayanya. Salam membaca...

Demikian saja kisah perjalanan kita kali ini. Semoga ini mengobati luka dari Curug Orok tadi. Menjadi senyum karena asrinya perjalanan menuju Cisewu-Talegong ini.

Sampai jumpa di Pangalengan yang semoga ada penjual Jagong Rebus disana. Di simpang tiga atau pasar Pasar  Pangalengan.

Salam damai Indonesia...


#edisi gerah
#edisi marah
#infonesia
#ypidea 2020

Posting Komentar

0 Komentar