17 Jebakan Logika (Jangan ditelan mentah)

Dahulu saya sering terheran-heran bagaimana seorang lulusan perguruan tinggi dg sederet ijazah dan sertifikat keilmuan bisa di perdaya oleh seseorang yg berpendidikan sangat rendah. Bagaimana pejabat yg sangat tinggi (tertinggi) bisa di perdaya oleh seseorang yg tidak berpendidikan untuk mengembangkan tenaga listrik yg menurut dasar ilmu thermodinamika jelas-jelas dikatakan mustahil dilakukan. 

Tetapi setelah saya amati dan fikir-fikir lagi, ternyata memang pendidikan kita meninggalkan lubang besar yg menganga yg bahkan tidak pernah secara sistematis disinggung (paling tidak saya sendiri dari pendidikan TK, sekolah menengah terbaik di kota saya dan sampai Perguruan Tinggi yg dianggap terbaik di Indonesia tidak pernah merasa dikenalkan dan dilatih tentang metoda berfikir dan menghindari jebakan logika "Logical Fallacies"). Kalau hal ini saya dapatkan secara sporadis dan tidak utuh, maka itu saya dapatkan  dari kegiatan sebagai aktivis mahasiswa.

Terus terang saya bukan seorang yg ahli dibidang ini. Saya hanya berusaha berbagi dg pengetahuan yg saya miliki. Semoga bisa menjadi awal dari pembahasan yg lebih luas dan lebih dalam. Yg jelas apa-apa yg saya bahas di bawah tidak mungkin diajarkan oleh mereka yg sudah berkuasa, khususnya yg meraih kekuasaanya dg memanfaatkan orang-orang yg bodoh. 

 

Pemerintah dinegara manapun juga terdiri dari manusia manusia juga, yg (rata-rata) tidak ingin diawasi dan direcoki oleh rakyat yg kritis. 

Padahal, rakyat yg kritis meskipun membuat program berjalan lebih lambat, tetapi akan berjalan secara lebih aman (sebagaimana mobil, selain memiliki gas dan kemudi, dia juga wajib memiliki rem). Dg pemahaman yg lebih baik, ini akan membuat orang lebih kritis dan kita semua jadi lebih aman. 

Jangan terjebak dg istilah istilah asingnya, teruskan saja membaca dan biarkan dia mengendap dalam fikiran anda dan menjadikan anda lebih tanggap dan waspada.

Bila anda tidak ingin di kepung lautan manusia bodoh yg di kendalikan oleh para penjahat, maka ikutlah menyebarkan pesan-pesan ini. Pesan ini boleh diambil semuanya (di share), di copy paste, diambil sebagian, maupun di tulis ulang dan hanya diambil intisarinya. Atau bahkan cari sumber yg lain yg membahas topik yg sama agar kita semua bisa saling belajar dan menghindari diperdaya oleh siapapun.


1. Bandwagon Fallacy: Menganggap sesuatu benar karena banyak yg setuju.

Contoh: “Semua orang sudah tahu dan sudah setuju, kok kamu tidak?”

Padahal "kebenaran" tidak harus selalu di dukung oleh orang banyak. Bahkan, lebih sering sebaliknya, hanya karena semua orang sudah tertipu, apakah kita juga harus ikut ikutan tertipu?


2. Strawman Fallacy: Menyerang posisi yg justru bukan jadi bagian penting dari argumen. Mengalihkan serangan kepada sesuatu yg lain yg dianggap melekat pada dirinya. Kadang-kadang menyerang dan membahas ilustrasi yg di gunakan. 

Contoh: “Bagaimana dia mau berbicara lingkungan hidup sementara dia saja selalu naik mobil mewah?”

Padahal dia tetap saja bisa berbicara mengenai lingkungan hidup, meskipun tetap menggunakan mobil mewah, karena itu adalah dua hal yg berbeda.


3. Ad Hominem: Mengkaitkan dg pribadi, latar belakang dan semua yg bersifat pribadi bukan mendiskusikan objek nya. Tidak etis. (ke orangnya).

Contoh: “Ngomong apa dia itu? Lha keluarganya saja berantakan!”

Artinya, karena keluarganya berantakan, maka dianggap bahwa dia tidak lagi layak untuk menyampaikan apapun yg benar.

Atau sebaliknya, bisa saja karena orang itu selalu jujur, maka semua pembicaraannya dianggap sebagai kebenaran. Padahal dia bisa saja jujur dalam semua hal yg lain, kecuali dalam satu hal dia berbohong, sehingga kejujuran menjadi modal kuat bagi kebohongannya. Justru biasanya penipu penipu yg hebat dalam dunia perdagangan dan perbankan, lebih sering dikenal sebagai orang-orang yg jujur. 

Salah satu yg biasa digunakan dalam hal ini adalah menaikkan derajat orangnya agar terlihat meyakinkan, seperti misalnya ketika seorang pedagang akan menjumpai rekan bisnisnya, dia akan menggunakan perlengkapan (assessories) yg menunjukkan kesuksesan dan kekayaannya, seperti mrenggunakan mobil yg mahal, jam tangan yg mahal (bukan berarti itu lebih tepat waktu, tetapi hanya ingin menunjukkan bahwa dia mampu membeli barang-barang yg orang lain tidak mampu membelinya), demikian juga tinggal di hotel berbintang dg harga yg mahal, dsb. Bahkan bisa juga dia menggunakan helicopter ketempat pertemuan sehingga orang terkagum-kagum (yg lagi-lagi akan mengakibatkan orang lain lengah). Sasarannya adalah membuat lawannya atau rekan bisnisnya lengah dan menganggap dia pasti berkecukupan sehingga tidak perlu berhati-hati. Ini semua masih ditambah dg cerita - cerita tentang betapa hebatnya dia dan betapa dia mengenal semua pejabat tinggi dan orang-orang kaya yg terkenal yg lain (seakan-akan semua bisa diperintah oleh dia).


4. Circular Argument: Mendasarkan semua alasan pada assumsi awal yg juga belum tentu kebenarannya. 

Contoh: “Kitab suci hanya berbicara tentang kebenaran dan itu juga disebut dalam kitab suci, maka itu benar adanya.” 

 Jadi apapun yg ditulis dikitab suci dianggap sebagai kebenaran mutlak. Karena kalau dibantah, maka di kembalikan ke pernyataan awal. 

Kalau ilmu pengetahuan membuktikan bahwa bintang-bintang itu jauh lebih besar dari bumi, maka dianggap sebagai sebuah kesalahan, karena kitab suci mengatakan bahwa bintang-bintang itu seperti paku payung yg di tancapkan di langit.

 “Karena Dewa Zeus dan Alcmene sudah sangat rindu, mereka mengirimkan seekor kuda bersayap bernama Pegasus untuk menjemput Hercules dan membawa dia ke langit untuk bertemu Dewa Zeus”

Lho, darimana ada kuda bisa terbang? 

Itu di muat dalam kitab suci!

Siapa yg menyampaikan kitab sucinya? 

Ya Hercules sendiri!

Akhirnya kelihatan seakan-akan sebagai sebuah berita, tetapi sumbernya semua mengarah ke Hercules lagi. Tidak ada bukti dan tidak ada saksi yg lain.

Dari sejarah di negeri kita juga pernah terjadi seorang Jendral mengatakan: “Presiden sebagai Panglima Tertinggi sudah memberikan kekuasaan penuh kepada saya untuk melakukan apapun yg saya anggap perlu untuk menyelamatkan negeri ini.” (padahal ini adalah kudeta).

 Kalau ada yg bertanya: “Buktinya apa?” 

Dia selalu menjawab: “Lho, kan saya sudah katakan bahwa Surat Pengalihan kekuasaan itu ada. Tanyakan saja kepada Pak Amir, Pak Yusup, Pak Basuki.” 

(yg kesemuanya adalah anak buah atau teman temannya sendiri yg juga akan mendapatkan keuntungan dari situ).

Dan dia bisa berkuasa sangat lama dg mengawali kekuasaannya dg “Circular Agreement” begitu.


5. Slippery Slope: Melibatkan konsekwensi yg sebetulnya tidak berhubungan atau tidak sepenuhnya relevan.

Contoh: “Kalau aku tidak datang ke pesta, semua orang bisa membenci aku.” 

Padahal, bisa saja dia tidak datang ke pesta dan semua orang justru mencari dan kangen kepada dia. Dia bisa tidak datang ke pesta dan tetap dicintai teman-temannya.

 Atau ketika anak remaja minta agar di izinkan keluar malam: “Kalau aku tidak diizinkan keluar malam, nanti oleh teman-temanku aku dianggap sebagai anak yg culun, anak pingitan dan akan diremehkan oleh teman-temanku” 

 Padahal penilaian teman-temannya tidak selalu berdasarkan pada seberapa sering dia keluar malam.

 “Kalau kamu tidak rajin-rajin beribadah maka kamu akan jadi penjahat yg ateis”

 Padahal ibadah seseorang tidak selalu menjamin kebaikan perilakunya, demikian juga mereka yg tidak beribadah juga belum tentu jadi ateis yg tidak percaya kepada Tuhan.


6. Fallacy of Sunk Cost: Karena sudah berinvestasi sangat besar, akhirnya dianggap sebagai sebuah keharusan.

 Contoh: “Karena sudah nonton 6 episode sinetron akhirnya harus selesai.”

 Meskipun sebenarnya tidak tertarik dg sinetron itu, tetapi nanggung, sudah meluangkan waktu lama untuk nonton 6 episode. Jadi ya, harus nonton terus. Padahal bisa 30 episode lagi yg bisa jadi acara yg menyiksa dan sia - sia.

“Kita sudah mengeluarkan uang sebanyak 60 juta dollar untuk mengerjakan proyek itu, jadi harus di teruskan agar bisa berhasil!” 

 Padahal kita bisa keluar lebih banyak uang lagi dan belum tentu memberikan hasil yg di harapkan. 

Seharusnya terus di evaluasi dg data yg baru dan apakah sasarannya masih layak di lakukan. Sebagai contoh orang yg mengembangkan jam dg penggerak "per" yg kuno, meskipun sudah keluar uang banyak, tetapi mungkin lebih baik di hentikan saja karena sekarang orang sudah bergeser kearah jam digital yg jauh lebih murah, lebih handal dan lebih flexible untuk di variasi. Jam yg menggunakn per hanya untuk koleksi yg pasarnya tidaknterlaku besar. Bahkan jam sendiri pun sekarang sudah kuno karena orang sudah memakai handphone sebagai; jam, alarm, alat perekam dan berbagai keperluan yg lain. 

 “Sebenarnya saya tidak terlalu percaya pada keampuhan keris itu, tetapi karena nenek moyang saya sudah merawatnya selama beberapa generasi, jadi ya saya teruskan saja” 

 Kalau dalam istilah Jawa di bilangnya *“wis kadung”* alias sudah terlanjur. Karena sudah membuang waktu bertahun tahun sambil mengharapkan keajaiban keris, akhirnya di teruskan saja, padahal masih bisa beberapa generasi lagi yg melakukan hal yg sia-sia.


7. Confirmation Bias: Hanya mengambil data yg sesuai dg keyakinan awal.

Contoh: “Data dipilih hanya yg sesuai untuk menunjang kesimpulan yg sudah di inginkan sebelumnya” 

Dalam menyajikan data hasil survey statistik, seringkali jebakan ini digunakan, dimana orang hanya mengambil data data yg menunjang kesimpulan yg di harapkan dan mengabaikan data data yg sebaliknya.


8. Appeal to Ignorance: Menyerang sebuah argumen karena ketidak tahuan sesuatu yg tidak ada hubungannya dg objek.  

Contoh: “Lho Kimia Dasar saja tidak tahu kok mau mendiskusikan Politik?”

“Lha mau bicara filsafat apa? Lha wong Kitab Darmo Gandul saja dia tidak pernah baca dan tidak tahu apa isinya!”

Padahal tidak tahu ilmu kimia, tidak membaca kitab Darmo Gandul tidak ada kaitan nya dg filsafat.

*Ketiadaan bukti, tidak bisa di jadikan bukti ketidak adaannya.*

Salah satu contoh: “Karena tidak ada yg bisa membuktikan adanya UFO, maka semua hal tentang UFO adalah salah, padahal sebaliknya juga bisa dikatakan bahwa karena tidak ada yg bisa membuktikan bahwa UFO itu tidak ada maka sebetulnya UFO itu benar adanya” 

Seharusnya dalam posisi begini kita netral.  Bisa iya, bisa juga tidak. Sejujurnya kita tidak bisa membuktikan ada atau tidaknya. Yg ada hanyalah laporan pandangan mata yg tidak bisa di ulang dan di buktikan secara ilmiah.


9. False Dilemma / False Dichotomy:  Membatasi pilihan dari kemungkinan yg sebenarnya. Seperti hanya hitam atau putih, sementara pilihan yg sesungguhnya lebih bervariasi, ada biru, kuning, merah, dsb.

Contoh: “Pilihannya adalah dia cinta pada group band Led-Zeppelin, atau dia sangat membenci musik?” 

Padahal seseorang bisa saja benci group Led Zeppelin yg hinggar bingar, tetapi dia sebetulnya suka musik klasik, kroncong dan gamelan.

"Kalau kalian tidak mau bergabung berperang dg saya, maka kalian adalah musuh saya" (False dichotomi yg populer yg dikatakan George Bush ketika mau menyerang Iraq)

“Pilihannya, apakah kamu cinta atau kamu benci?”

 Padahal bisa saja seseorang yg tidak mencintai, tetapi tidak juga membenci.


10. Hasty Generalization: Melakukan generalisasi secara berlebihan.

Contoh: “Orang sekarang selalu memilih berdasarkan emosinya.” 

 Mungkin memang banyak orang yg menjadi emosional dalam suasana pandemi, tetapi tidak semua orang. Masih banyak juga yg rasional dan tidak memilih dan tidak bersikap berdasarkan emosi.


11. Red Herring Fallacy:  Memindahkan topik yg tidak sepenuhnya berhubungan.

 Contoh: “Istri saya mengkatakan kalau garasi saya terlalu penuh, maka saya minta dia pergi berbelanja saja!” 

Sebuah pengalihan issue yg tidak berhubungan. Meskipun mirip dg “strawman fallacy” tetapi ini pengalihan issue yg sama sekali tidak berhubungan.


12. Tu Quoque Fallacy: Lha kamu juga begitu! Berbagi kesalahan untuk menghindari tanggung jawab. 

Contoh: “Lho bapak dulu kan juga merokok, kok sekarang melarang saya merokok?” 

Padahal sesuatu yg salah tidak menjadi benar hanya karena orang yg di hormati melakukannya juga.


13. Causal Fallacy: Dua kejadian beruntun yg tidak berhubungan dijadikan sebab.

Contoh: “Wah karena melindas kucing dan lewat terus, akhirnya aku kecelakaan.” 

Dua kejadian yg berbeda dan tidak berhubungan dianggap sebagai sebab dan akibat.

“Gara-gara lewat dibawah tangga, akhirnya dagangannya tidak laku!”

Kejadian awal yg tidak berhubungan di jadikan sebab kejadian kedua.

“Karena kedatangan bintang berekor (lintang kemukus) maka sekarang terjadi huru hara di seluruh negeri.” 

Padahal huru hara akibat kenaikan harga yg diluar kewajaran yg tidak ada hubungannya dg kedatangan komet (bintang berekor / lintang kemukus).


14. Appeal to Authority: Mendasarkan argumen kepada yg dianggap lebih mampu.

Contoh: “Bahkan guru matematik saya mengatakan begitu”

Padahal, mungkin guru matematiknya bukan ahli yg tepat untuk membicarakan masalah; sejarah, atau politik atau kesehatan. Seseorang yg ahli di satu bidang, tidak serta merta menjadi ahli di bidang yg lain.


15. Equivocation: Permainan kata bersayap yg bisa menyesatkan.

Contoh: “Saya tidak pernah bicara dg dia, hanya kirim sms dan gambar”

Meskipun tidak berbicara secara langsung, tetapi pertukaran informasi tetap bisa di lakukan lewat email, whatsapp, sms dan berbagai macam cara.


16. Appeal to Pity: Mempermainkan emosi yg sebetulnya tidak relevan.

Contoh: “Kok teganya kamu makan wortel yg kurus dan tidak berdosa itu?”

“Kok kita di aniaya terus terusan dan terus dianiaya, salah kita apa sih?” 

 Kata kata begini sangat cepat menimbulkan simpati, meskipun itu hanya berdasar sebuah kebohongan untuk mendapatkan perhatian. Bisa saja yg merasa di zalimi justru yg selalu melakukan kezaliman. Tetapi bila seseorang sudah merasa melas, maka semua logika dan fakta yg lain jadi tidak berarti.


17. Edify: Dimana seseorang menggunakan orang lain untuk memuji muji dirinya sehingga terlihat hebat. Cara ini sangat umum dilakukan oleh mereka yg ingin mengangkat dirinya jadi lebih hebat dari realita yg sesungguhnya. Biasa juga di gunakan dalam pemasaran MLM. Ada cerita bagaimana seorang yg kaya selalu menjemput rekan bisinisnya dg mobil mewahnya dan si supir sepanjang jalan hanya memuji-muji orang itu sehingga diberi kesan bahwa seakan-akan rekan bisnisnya sangat beruntung bisa berhubungan dg si orang kaya itu (yg sebetulnya hanya penipu). Semua dilakukan agar orang lengah dan tidak waspada thd orang kaya itu sehingga ketika dia diikat dg segala macam surat perjanjian yg penuh jebakan, dia akan dengan senang hati menanda tanganinya. Cara yg kelihatan tolol iini ternyata sangat effektif digunakan baik di Indonesia sendiri (dg sangat banyak korban) maupun di luar negeri.


Masih banyak lagi jenis-jenis jebakan logika yg lain yg tidak semuanya bisa di muat disini. Bagaimanapun juga sedikit banyak hal-hal diatas bisa digunakan untuk membuka fikiran kita dan kaum generasi muda agar lebih “kritis” dalam berdiskusi dan berfikir. Saya betul betul mengharapkan bahwa "tema" begini secara sengaja dan sistematis dimasukkan dalam kurikulum sekolah, bukan saja di ajarkan, tetapi juga di latih secara berkesinambungan sehingga bisa menjadi sesuatu yg alami dilakukan agar betul-betul terlihat bedanya antara seseorang yg berpendidikan tinggi (yg otomatis lebih lama sekolahnya) dg yg berpendidikan rendah. Dan yg paling utama agar kita tidak terlalu mudah di perdaya dan mampu berfikir secara jernih. (Sayangnya mana ada pejabat yg mau rakyatnya kritis dan cerdas begitu?😀) 


Semoga kita sadar bahwa dunia pendidikan kita belum melahirkan orang-orang yg bisa berfikir kritis dan terhindar dari segala macam jenis jebakan logika yg biasanya berakhir dg penipuan.


#dapat copas
#perlu telaah lagi

Posting Komentar

0 Komentar