EDISI GARUT “the PROVINCE”
(CANGKUANG), 31 Januari 2016
Lir ibarat provinsi, Garut memang sangat luas dan kaya.
Kalau mau dipecah, Garut mungkin termasuk kabupaten yang layak untuk itu.
Menyusuri jalanan di kabupaten Garut ibarat menyusuri sebuah provinsi saja. Dari
satu ujung ke ujung lainnya sungguh jauh sekali.
Di barat laut (Northwest) berbatasan dengan Pangalengan
Bandung selatan, sementara di barat daya (Southwest) Rancabuaya berbatasan
dengan kabupaten Cianjur. Keutara Limbangan berbatasan dengan Cibugel Sumedang
dan timur laut (Northeast) Malangbong Wado. Terus kebarat lagi berbatasan
dengan Nagreg kabupaten Bandung. Di timur adalah gunung Galunggung Tasikmalaya,
ditenggara (Southeast) berbatasan dengan Salawu Singaparna. Dan di ujung
Selatan pakidulan berbatasan gunung Sancang dan Cipatujah. Wuih luas sekali
Garut ini.
Perjalanan kali ini adalah menuju Cangkuang di Leles dan
Mulih ka Desa di Samarang.
Tujuan pertama tentu adalah Cangkuang Temple. Sebagai biasa
kami berangkat secara rombongan berempat saja. Judulnya adalah short fun
touring.
Berangkat dari Bandung sekira jam 10 pagi 31 Januari 2016.
Terlalu siang memang. Tapi “better late than never”, begitulah kira-kira
pandangan kami saat itu. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Sesampainya di alun-alun Leles kamipun belokkan kendaraan ke
arah kiri, disitu ada plang penunjuk jalan, "Situ Cangkuang", "Sini Bangkuang". oh tidak ketang, itumah canda...
Sekira lima belas menit kami pun sampai digerbang Situ dan
Candi Cangkuang. Tempat pariwisata budaya ini memang cukup baik, tapi mungkin
sudah sedikit terdegradasi oleh perkembangan permukiman disekitar yang cukup
masif. Alangkah baiknya apabila lahan disekitar lokasi ini dibebaskan dan
dihijaukan, sebab jika tidak maka semakin lama lingkungan ini bisa menjadi
kumuh dan merusak keindahan situ Cangkuang. Jika itu terjadi tentu yang rugi
adalah semuanya, masyarakat setempat, pemerintah setempat, dan juga nilai
kesejarahannya. Termasuk dunia kepariwisataan pun akan terdampak.
Banyak sekali para pengunjung yang datang ke Cangkuang ini.
Segitu banyaknya perahu rakit, tetapi mereka tidak kekurangan penumpangnya.
Bayarnya juga gak mahal, masuk dikantong segala masyarakat.
Bahkan ada juga
turis mancanegara kesini, hanya sayang kita kurang memberikan pelayanan yang
terbaik buat mereka. Rasa khawatir menjadikan para turis enggan kembali lagi
kesini, atau bahkan enggan mereverensikannya buat lainnya diluar negeri sana.
Pendidikan
masyarakat kita sungguh masih jauh dari layak. Belum ada kesadaran tentang
kerapihan, ketertiban, kebersihan dan kepedulian. Pokoknya masih terbelakang.
Masih memandang waktu dengan uang tunai, bukan menganggapnya sebagai investasi
dan tidak memandangnya sebagai kualitas di urutan pertama. Sehingga karena uang
yang ada dipikirannya, apapun dilakukan untuk dapat uang meski itu merusak
alam, merusak pemandangan dan bahkan mengotorinya. Memang itulah PR bangsa
Indonesia.
Namun meski demikian, masyarakat disini sudah lebih terbiasa
dengan adanya para pelancong sehingga itu bisa menjadi modal awal yang baik
untuk perbaikan lagi kedepan.
Berbicara tentang situ Cangkuang ini misalnya, kita berharap
agar genangan air yang ada ini bisa dipertahankan dan bahkan diperbaiki lagi.
Istilahnya sebagai kampung pulo, rasa-rasanya sudah tidak pas lagi, sebab sudah
tak ada lagi pulau disini. Seharusnya genangan airnya bisa di perluas sehingga
sekeliling Cangkuang ini bisa tergenang dengan air dan penyebutan kampung pulo
menjadi sesuai dengan namanya. Kelihatannya telah terjadi penyusutan air,
sehingga sudah tak ada lagi pulau cangkuang disini.
Okelah untuk sementara kawasan ini cukup bagus untuk tetap
dikunjungi, tetapi rasanya tempat ini masihlah bisa lebih di mumule/dipelihara
dan ditingkatkan kualitas dan keindahannya. Semoga saja pemerintahan setempat
bisa melakukan terobosan-terobosan untuk itu.
Ke kampung pulo ini bagi penulis adalah untuk pertama
kalinya, setelah dahulu waktu SD. Entahlah bagaimana keaadaan dahulu kala
disini, karena waktu itu tentu penulis belum begitu hafal keadaannya. Tetapi
secara sepintas tentulah telah terjadi degradasi disini, tak sehebat dahulu,
tak seindah dahulu.
Cangkuang adalah bisa disebut satu-satunya candi berbahan
batu di Jawa Barat karena candi lainnya terbuat dari batu bata. Sehingga
seharusnya tempat ini bisa diperhatikan secara lebih baik lagi agar tetap
lestari dan terutama bisa menarik banyak peminat kunjungan kesini. Baik dalam
negeri dan juga dari luar negeri. Untuk itu tentu perlu penambahan fasilitas
dan penambahan daya tarik agar terlihat lebih spektakuler.
Begitulah kiranya jika kita berharap agar potensi
kepariwisataan disini bisa lebih dioptimalkan dan dapat menjadi andalan
pemasukan bagi masyarakat sekitar dan masyarakat kepariwisataan di Jawa Barat
pada umumnya.
Jawa Barat harus menjadi surga kepariwisataan tingkat dunia yang
dikenal di mancanegara. Tentu butuh kepedulian dan kesepahaman dari setiap kita
semua. Jadikan Jawa Barat sebagaimana kawasan tourisme dunia lainnya. Tentu
juga dengan kekhasan kita sebagai negeri yang religius.
Tempat ini sungguh tempat yang mahal dan bernilai historis
yang cukup tinggi. Apalagi jika semua terkoneksi secara global dengan potensi
kepariwisataan disekitarnya, tentu akan semakin menjadikannya satu titik
destinasi diantara sejuta destinasi lainnya di Jawa Barat tercinta ini.
Tentu saja kita harus menanamkan rasa optimisme yang tinggi,
karena lingkungan yang bersih, menarik, indah, nyaman dan berkualitas tinggi
adalah berguna baik untuk kehidupan masyarakat sehari-harinya maupun demi
kesejahteraan kita semua pada akhirnya. Amin.
Cobalah kita sering melihat
majalah terbitan Jepang atau Eropa sana. Dimana kualitas kebersihan dan
lingkungan disana terbilang sangat tertib dan berkualitas tinggi. Itulah yang
seyogyanya menjadi harapan dan impian kita bisa menjadi nyata. Harapan
menjadikan Jawa Barat sebagai negeri yang maju, modern dan beradab. Amin.
Masyarakat kita seyogyanya semakin berpendidikan dan semakin
berwawasan luas, serta berperilaku agamis menjaga kebersihan, ketertiban,
kenyamanan, kekeluargaan dst. Jangan sampai negara kita dikonotasikan sebagai
bangsa yang kotor, bangsa yang jorok, dan bangsa yang semrawut. Kalau kita mau
tentu kita pasti bisa mewujudkan itu semua, asal ada kesadaran kita semua
untuk bekerjasama dan bersama-sama
saling mendukung demi kebaikan untuk bersama pula, untuk kita dan untuk
generasi anak cucu kita. Amin.
Kepedulian soal kebersihan misalnya, kepedulian tentang
menjaga alam dan keasrian lingkungan misalnya. Tak membuang sampah sembarang,
tak merokok ditempat umum, tidak kencing sembarang, tidak membalak hutan dll.
Itu adalah bisa kita lakukan baik secara individu, lingkungan terkecil maupun
sebagai satu bangsa yang besar. Asal ada niatan tentu bisa dimulai saat ini
juga.
Lakukanlah pergerakan dan sedikit/banyak usaha untuk menjadi manusia
bersih, peduli dan tertib.
Tentang Cangkuang ini memang cukup menarik dan cukup
berkesan. Seyogyanya kita bisa membuatnya tetap ada dan makin berkembang.
Cukup lama kami membuat sesi pemotretan di kompleks
Cangkuang ini, kamipun terpaksa harus segera menyudahinya karena masih ada satu
tempat tujuan lainnya yaitu Kamojang Hill Puncak Darajat.
Sebagaimana biasa, kamipun pulang dengan melalui jalur
berbeda agar sekali mendayung satu dua pulau terlewati.
Jalan yang kami susuri
adalah kearah sebaliknya dari kami datang tadi. Tujuannya adalah melewati situ
Bagendit dan kemudian menuju kota Garut via Cibatu.
Sayangnya jalan ini begitu
jauh, tetapi walau begitu itu bisa menambah pemandangan yang berbeda dari
biasanya.
Di jalan yang kami lewati ini, bisa ditemukan ada jalur kereta api
yang sudah tidak berfungsi lagi. Lintasannya cukup bagus dan indah, dengan
panorama persawahan, view gunung dan view perkampungan.
Jalur kereta di Jawa
Barat ini memang sudah banyak sekali yang tidak operasi lagi, selain jalur ke
Garut ini, yang lain antara lain jalur Banjar-Pangandaran, Bandung-Majalaya,
Bandung-Ciwidey, Cirebon-Kadipaten-Majalengka, Rancaekek-Tanjungsari, bahkan
Bandung-Cianjur.
Tentu saja jalur-jalur tersebut bisa diaktifkan lagi untuk
berbagai keperluan. Jika dijaman Belanda saja bisa bermanfaat lalu kenapa
dizaman sekarang seakan itu tak berguna.....?. Padahal, dengan adanya kereta
api itu bisa menghemat penggunaan BBM.
Oh ya, lalu kamipun teruskan perjalanan melewati jalan itu,
jalan perkampungan yang jelas tak beraspal mulus sehingga waktu tempuh menjadi
semakin lama.
Jam 15.30 an kami baru sampai di Mulih Kadesa, karena
katanya sudah tak tahan lagi untuk makan dan makanan. Ya sudah, apalagi kami
telah salah jalan yang harusnya lurus malah kami ambil ke arah
Kamojang-Majalaya. Kamipun putar balik dan mampir dulu di Mulih Ka desa untuk
perut dan lapar yang sangat, katanya sih, kata teman-teman dan kata aku juga.
Lumayan luas juga rupanya rumah makan ini, banyak tersedia
tempat-tempat atau saung lesehan diatas balong atau empang yang juga cukup luas
dan rindang semua.
Ada yang menarik bagi penulis adalah pancuran beletok, itu
adalah kohkol otomatis, atau pentungan otomatis atau apa namanya. Itu lazim
dibuat disawah-sawah untuk menghasilkan suara dengan teknik mekanika dengan
tenaga air pancuran. Mungkin berguna untuk mengusir burung dan lainnya dari
sawah atau kolam.
Kamipun memesan beraneka macam menu yang tersaji dalam
daftar menu, yah apa yang sesuai selera dan sesuai budget tentunya.
Ikan bakar
sudah pasti, cah kangkung sudah pasti, apalagi sambel dan lalaban itu tak boleh
absen. Minumannya ada berbagai macam jus atau jeruk angat.
Ya sudah kamipun
tunggu saja semua itu siap dihidangkan diatas meja ini. Sementara itu menunggu
kamipun ngampar dulu untuk bermain kartu lagi, ah aku jadi kebawa-bawa
permainan ini, memang sih seru untuk saling menggencet teman atau kawan. Lumayan
untuk bisa membuat senang dan tertawa diatas penderitaan orang lain....he he
he.
Tentu lama kalau kami bengong saja dalam menanti nasi dan
ikan bakarnya yang harus dipancing dulu, dikuliti dulu, dibumbui dan dibakar.
Belum lagi kalau ikannya gak bisa dipancing, tentu kudu dibedahkeun heula...ah
gak gitu-gitu amat kali....!
Hingga akhirnya makanan tiba dan bisa ditebak reaksi dari
teman kita semua, termasuk aku. Karena lapar yang sudah sejak siang belum
menemukan nasi, tentu adanya nasi adalah santapan yang harus diburu.
Wes wes
wes...hanya sekilat semua piring terisi penuh dan dengan cepat pula kembali
kosong. Sebakul nasipun akhirnya ludes tak bersisa, apalagi ikannya dan
sayurannya, des habis sehabis-habisnya.
Hari semakin sore dan hujan maka tujuan ke Kamojangpun
Puncak Darajatpun, sekali lagi harus
tertunda.
Ya sudah kamipun pulanglah dengan tenaga penuh dan perut
penuh saja.
Sekian dulu brow...
0 Komentar