(Dayeuh Luhur)
Barangkali bila kita
sebut kata Sumedang maka yang terbayang adalah Tahu nya. Tahu Sumedang memang
“kakoncara kamana-mana”.
Selain itu kalau
kita sebut Sumedang yang terbayang mungkin Gunung Tampomas, Cadas Pangeran dan
juga Cut Nyak Dien.
Ya semua itu adalah
benar adanya. Namun sesungguhnya masih banyak lagi hal lainnya yang bisa kita
susuri tentang Sumedang ini.
Terlebih lagi saat ini, minimal ada dua tempat yang mendadak jadi populer di Jawa Barat mungkin dan khususnya di Sumedang ini. Yaitu bendungan Jati Gede dan Bukit Batu Dua (tempat paralayang kelas dunia dan tempat diselenggarakannya PON XIX 2016 lalu).
Kedua tempat
tersebut dua-duanya berada di tenggara atau arah timur dari kota Sumedang,
sekira 15 atau 17 kilometeran jauhnya. Dan keduanya juga berada dalam satu
kawasan kewadanaan yang sama, yaitu kewadanaan Darmaraja. Itu adalah jalur
jalan menuju Wado-Bantarujeg atau Wado-Malangbong.
Bukit Batu Dua
misalnya, itu adalah tempat paralayang yang cukup mendunia.
Jauh sebelum itu ada
juga tempat untuk paralayang yang sudah exis di Sumedang yaitu Kampung/Bukit
Toga, tempatnya diselatan kota Sumedang, hanya sekira 4 atau lima km saja.
Ada lagi tempat
paniisan lainnya yang cukup bagus buat relaksasi adalah Perkebunan Teh Cisoka
dan juga tempat rekreasi Citengah berupa taman pemandian yang juga tak jauh
dari kota Sumedang sekira 5 atau 7 kilometer saja.
Disana kita akan dimanjakan
dengan pemandangannya yang khas perkebunan teh yang dikelilingi oleh rimbunya
hutan rimba. Setelah lelah dan lapar bisa langsung mengisi perut di rumah makan
lesehan dengan ikan bakar yang masih segar karena bisa langsung diambil dari
kolam dilokasi.
Sesungguhnya masih
ada lagi tempat-tempat lainnya yang bernilai ekowisata dan juga bernilai historis.
Misalnya Gunung Kunci, Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang, dan juga kawasan
Dayeuh Luhur.
Dayeuh Luhur
misalnya, ini adalah suatu kompleks pemakaman Raja terakhir dari kerajaan
Sumedang Larang, yakni prabu Geusan Ulun bersama Putri Harisbaya dan petilasan
dari mbah Jaya Perkasa.
Sebuah komplek
pemakaman yang berlokasi disuatu pegunungan, berada pada lereng dan puncak
bukit Dayeuh Luhur. Dari tempat ini kita bisa melihat pemandangan dari hamparan
kabupaten Sumedang dibawahnya. Disini juga dapat kita temukan air pancuran
alami yang masih terus terjaga kelestariannya.
Dayeuh Luhur memang
lebih kepada kawasan wisata khusus untuk ziarah dan juga untuk mengenang
sejarah para leluhur Sumedang.
Para leluhur yang telah mewariskan sifat-sifat baik berupa dilarang menjilat kepada kekuasaan penjajah Belandadan juga keberaniannya. Itu
harus menjadi suri tauladan bagi generasi penerus bangsa Indonesia ini.
Kawasan wisata
ziarah ini akan mengalami puncak kepadatan pengunjung pada setiap bulan Maulid
Nabi Muhammad SAW.
Pada bulan tersebut sudah menjadi tradisi masyarakat
Sumedang khususnya untuk berziarah kemakam para leluhur tanah Sumedang ini.
Walau mungkin sekarang tidak seramai/sesemarak dahulu lagi, tetapi kebanyakan
masyarakat Sumedang masih mempertahankan kebiasaan baik tersebut.
Minimal untuk
mengenang jasa dan pengorbanan para pemimpin di masa lalu, dan juga untuk
mendo’akan agar mereka diterima disisiNya dalam keadaan baik dan khusnul
khatimah, amin.
Bedanya sekarang
dengan dahulu, yang paling kentara adalah dari sisi penggunaan alat
transfortasi. Jika dahulu kala biasanya didominasi oleh para pejalan kaki dan
identik dengan perjalanan di malam hari. Namun sekarang penomena iring-iringan
seperti itu sudah mulai luntur dan lebih beralih dengan menggunakan kendaraan
bermotor.
Pengalaman masa
kecil dahulu, hampir setiap tahun bersama dengan rombongan kawan sekampung
berangkat ziarah ke makam tersebut itu adalah sesuatu yang biasa dilakukan.
Menyenangkan dan berkesan. Kami semua berangkat dengan melewati perkampungan,
kebun-kebun dan jalanan yang menanjak menaiki bukit dan hutan. Dan itu
dilakukan pada malam hari dan kemudian nginap/begadang di sana. Semua itu
dilakukan secara bersama-sama/masal, juga dari ratusan peziarah lainnya dari
perkampungan lainnya. Itu menjadi budaya kebiasaan kami pada masa itu.
Namun
sekarang penulis belum pernah menyaksikan lagi fenomena iring-iringan manusia
semacam itu lagi. Menjamurnya kendaraan bermotor, mungkin hal yang paling
bertanggung jawab atas punahnya iring-iringan pejalan kaki yang menuju Dayeuh
Luhur, terutama yang meliwati kampung kami.
Padahal penulis bisa
merasakan bahwa pengalaman demikian itu benar-benar telah membekas dan bisa
dikenang sepanjang hayat.
Semangat para peziarah dimasa lalu itu mestinya bisa di ikuti oleh pemuda masa
kini. Karena hal itu juga sangat seru dan walaupun melelahkan tapi sangat
berkesan.
Sayang memang jika hal itu tak kita jumpai lagi di zaman sekarang ini.
Sayang memang jika hal itu tak kita jumpai lagi di zaman sekarang ini.
Itu mungkin menjadi
bahan renungan dan menjadi bahan evaluasi bagi masyarakat Sumedang khususnya.
Berziarah itu adalah
pembelajaran dan juga pengingat kepada kematian sekaligus dalam upaya
meneladani hal-hal positif dan nilai-nilai perjuangan dari para pendahulu kita.
Semakin bisa menyelami nilai perjuangan mereka, maka hikmahnya akan lebih
banyak lagi buat kita.
Itulah saya kira
suatu pengalaman yang hebat, serasa kita sedang menjalani hijrah atau
perjalanan malam yang panjang yang terjadi secara kolosal.
Pengalaman yang
memberi kita warna tersendiri.
Sekian saja dulu perjalanan dari Dayeuh Luhur. Nanti kita sambung kepada cerita lainnya.
Sekian saja dulu perjalanan dari Dayeuh Luhur. Nanti kita sambung kepada cerita lainnya.
wassalam.
0 Komentar