Menyusuri 4 Pantai. Jayanti, Rancabuaya, Gua Lalay, dan Sayangheulang


Trip ke Negeri di Atas Awan Lalu ke Pantai untuk Sunset

Bukan Gank Ijo

Dua puluh empat Desember 2015, kami berangkat dari Bandung menuju Pantai Selatan Jabar. Ini akan menjadi pengalaman pertama kami secara berempat berangkat ke sana.

Persiapan sejak di Bandung, menjemput ke rumah teman dan akhirnya kami berangkat di pagi menuju siang yang cerah ini. 

Sebelum berangkat tadi, kami sempat mempersiapkan berbagai cemilan dan juga persiapan air minum karena kami tak boleh menjadi dehidrasi akibat kurang asupan cairan ketubuh dalam sepanjang perjalanan nanti. Kalau semua sudah siap maka semua tak ada masalah.

Bukan Geng Ijo

Hari yang libur ini, tidak kami sia-siakan begitu saja. Barangkali perjalanan ini akan merupakan sesuatu yang indah dan tak terlupakan buat kami berempat. 

Suatu saat semoga menjadi inspirasi buat anak dan cucu kami. Semoga saja ini perjalanan akan baik-baik saja, selamat sampai kembali lagi ke kota Bandung tercinta ini.

Menyusuri jalanan kota Bandung, Kebon Kawung belok kiri menuju arah ke Sukarno Hatta dan menembus jalan alternatif akhirnya tiba di Kopo Elok Permai tembus lagi ke jalan raya Cimahi-Soreang. Ini menjadi jalan yang baru buat teman-teman, tapi tidak buat aku yang sudah beberapa kali ke sini karena hendak nonton bola ke Jalak Harupat atau karena keperluan lainnya.

Lewat jalan ini kita akan menghindari kemacetan jalur utama Kopo-Soreang, yang saat ini kebetulan sedang sangat padat karena banyak para wisatawan yang hendak berlibur menuju Ciwidey dan sekitarnya. Alhamdulillah kami pun sudah sampai di depan si Jalak Harupat tetapi ini belum seberapa dari jarak yang hendak kami tempuh nanti. Apalagi kami semua sesungguhnya belum pernah sekalipun ke Pantai Selatan Jabar via Ciwidey ini, sehingga kami belum tahu berapa jauh dan lama kah kami bisa sampai disana.



Siang ini kami sudah berada di jalan kota Kecamatan Ciwidey, jalanan memang macet sejak Soreang tadi. 

Banyak sekali kendaraan yang menuju atas sana, sehingga kami tak bisa melaju dengan kencang. 

Beberapa kali kami tersendat karena tumpukan kendaraan di jalan yang terbilang sempit ini. Tapi terlihat dari roman dan raut muka para teman semua masih enjoy dan tetap senang saja. 

Semua situasi kalau dihadapi dengan senang dan tenang tentu akan bahagia saja dan tidak akan menjadi sesuatu masalah. 

Sebagaimana sepertinya, kami sudah begitu ketalar dan hapal  setiap titik dan bait dari syair lagu pramuka, 

.......disini senang 
......disana senang 
......dimana-mana hatiku senang.....

............tralalaaaaaaaa.....la la la...lalalala lalala.....



Our Memories
Semakin menuju perkebunan Walini Rancaupas ternyata jalanan sama macetnya. 

Tapi selepas itu jalanan menjadi cukup lancar dan lengang. Kamipun hendak berhenti dulu diperkebunan walini ini, tetapi menurut hemat kami saya kira nanti suatu waktu lain saja kita bersantai dan berlama-lama disini. 

Kali ini jalanan masih jauh dan panjang tak boleh kami berlama-lama dijalan. Padahal perutpun sudah semakin haus dan juga lapar. 



Tapi kami harus jalan terus sehingga melewati persimpangan situ Patenggang dan lebih. 

Hampir saja teman kami tadi melesat jauh ke jalan yang salah, sehingga kami harus kembali memutar ke arah kiri ke jalan yang menurun. Yang sebenarnya akupun baru mengirangira sesuai peta yang aku hapalkan sebelumnya. 

Tapi ilmu pengetahuan adalah tak akan membohongi....sehingga aku pura-pura sudah mengenal saja jalanan ini....sebab kalau aku gak yakin tentu teman kami juga jadi gak yakin dong...!!?...dan akibatnya mereka minta batal perjalanan ini. kan gak asyik...?!


Jalanan ini sungguh mulus dan sangat lebar dibanding jalan Ciwidey tadi. 

Kamipun mengira dan merasa seakan jalan hanya milik kami saja. Sangat jarang kami berpapasan dengan pengendara lain, baik sesama motor apalagi bis atau truk. Sepi banget. 

Seperti kami katakan tadi, ini jalur memang baru buat kami. Kalau kami bilang sih sepertinya kami baru saja berada di luar Indonesia.

Sepertinya ini sudah ada di luar Indonesia...entahlah...mungkin sudah di Hungaria...atau new zealand...

ntah aku gak yain betul...





Selepas jalanan turunan, kemudian ada sedikit tanjakan dan kembali menurun ke sebuah lembah perkebunan teh yang tentu ini merupakan hibah atau kejutan besar buat kami. 

Kamipun tak kuasa lagi untuk tidak berhenti, ya karena seindahnya tempat ini sangat sayang kalau kami tidak narsis dulu disini.


jepret jepret

jepret

jepret
jepret...jepret....






Apalagi kami sedari tadi belum berhenti dengan tenang, dan pantat memang sudah terasa pegal dan lengan juga butuh kesegaran. 

Beberapa lama kami menikmatinya, ini betul-betul memuaskan kami semua. Tetapi mobil elf omprengan yang penuh penumpang menuju selatan itu membuat kami bersemangat kembali ke perjalanan. 

Setelah 20 menit istirahat kamipun lanjut perjalanan ini. Masih dalam perkebunan teh yang sangat indah, dan masih asri dan bersih serta tak kalah indah di banding Puncak Bogor sekalipun. 










Jalanan berkelok dan naik entah akan seperti apa keindahan dan pemandangan lainnya didepan, kami benar-benar tak tahu. 


Ini seperti kami mirit kartu dalam keadaan cekih... setiap langkah benar-benar rahasia dan setiap kelokan benar-benar membuka kawasan pemandangan indah yang baru. 


Sampai akhirnya terbuka sedikit demi sedikit dan yah.....ini bagaikan negeri diatas awan.



Cuaca disini seakan sore menuju malam, padahal sesungguhnya ini masih jam 2 atau setengah tigaan. 


Teman kami begitu girangnya dengan pemandangan disini, mengingatkan lagunya peterpen katanya, lagu diatas awan katanya. 

Ya...kita disini itu adalah seakan kita sedang berada di satu tempat yang tertinggi....di atas langit dan awan-awan ada di bawah kita...


seperti dalam pesawat...ya 







Mungkin juga peterpen membuat lagu itu karena terinspirasi alam disini. 

Ini bagaikan berada di langit, tempat tertinggi dan disekitar kita dan dibawah perkebunan teh ini ada awan putih sepanjang mata memandang, benar-benar sesuatu yang tercipta secara luar biasa dalam waktu yang luar biasa ini. 

Menyusuri punggung bukit diatas bukit, jalanan masih menanjak dan ini tak ubah sebagaimana suasana malam. Gelap....dan ya...dipenuhi cucuran air dari semua sisinya....

Setiap kali ada kendaraan yang berpapasana dari depan kita, lampu mereka itu menyorot menembus pekatnya awan yang sebenarnya adalah pepedut atau kabut warnanya kuning menyala bagai lampu hias yang kerlap kerlip....gemerlap di malam yang syahdu. Dan juga kopi dan bait-bait lagu yang lirih...atau tulisan puisi dan sajak yang indah.....

Hanya suara mesin dan klakson yang menjadi bahasa isyarat diantara kami. 

Beberapa rombongan motor bergerak dari bawah, menanjak ke sini dan berpapasan dengan kita. Itu seperti sekelompok orang yang datang dari entah barantah. 

Jarang ada suara yang keluar dari mulut mereka, sepertinya mereka juga sama berhati-hatinya dengan kami karena batas antara jalan dan jurang atau antara jalur kami dan jalur mereka sungguh tidak terlihat dengan nyata, hanya samar-samar oleh karena gelapnya cuaca disini. Lebih gelap dari malam hari...sebab...gelapnya suasana ini tak bisa ditembus oleh lampu-lampu kendaraan.

Belum lagi baru pertama ini kami kesini, kami belum hapal kondisi jalanan dan juga gak tahu kesudahannya kedepan sana. Seakan kami meraba-raba dikegelapan, kami tak berani berjalan dengan lancang.....mengencangkan gas-gas motor ini.

Tak lama kamipun lepas dari suasana itu dan alhamdulillah bisa kembali menemukan secercah cahaya di balik rerimbunya pepohonan tanaman hutan disini. Bagaikan kami menemukan pagi kembali yang walaupun tidak purnama...tapi lumayanlah....ada bintang-bintang.

ini puisinya....

Bagaikan kami menemukan pagi kembali 
yang walaupun tidak purnama...
tapi lumayanlah....ada bintang-bintang.
dan juga kunang-kunang...yang bercahaya kerlap-kerlip

seperti mata kami
seperti hati kami


Barulah kami teringat lagi akan perut, dimanakah ada warung...?. 

tentu kami tetap percaya dan aku yakin tak akan jauh lagi pasti masih akan ada lagi beberapa warung disana. dibawah sana....


Diperbatasan kabupaten Bandung dan Cianjur itu tadi ada banyak kendaraan berhenti disisi jalan.

Tapi kami tak tertarik karena nampaknya ini masih terlalu dini karena baru saja kami bernafas keluar dari gelapnya awan putih tadi.

Tapi kami lebih suka jalan saja terus...sampai benar-benar motor kita juga sependapat...supaya semua akan indah pada waktunya...






Kami yakin, tak jauh lagi akan ada warung lainnya. 

Setidaknya itu yang kami tahu dari sumber bacaan yang pernah kami baca dalam beberapa blog. 

Sebab jujur sebenarnya kami kesini pun tidak terlepas dari hasil surving di dunia maya......banyak terinspirasi dari pengalaman mereka, 

maka kami juga hendak mengikuti jejak mereka untuk bisa makan, istirahat dan berhenti disana.

Sebenarnya mungkin warung yang ada di blog tersebut tadi itu...sudah terlewat mungkin, 
tapi karena disana penuh pengunjung jadinya kami lanjut saja perjalanan dan ....ya...kami gak seberuntung seperti orang-orang...untuk kali ini. 



Dan alhamdulillah di sebelah kiri perkebunan hutan kayu ini bisa kami dapati ada warung yang cukup leluasa. Ada beberapa tamu lainnya, tapi disini di warung ini itu, masih terbilang mencukupi buat kami beristrirahat juga. Dan kalau itu ditunda -tunda lagi belum tentu akan ada warung lainnya didepan sana. terutama karena kita gak tahu kesudhan perjalanan ini....gak tahu ada perkampungan atau kota di bawah sana atau tidak sama sekali....

......jangan sampai para teman itu melakukan demo besar-besaran dan memboikot aku.

Ini sudah jam tigaan sore. Perut kami benar-benar kosong dan kerontang sejak siang tadi. sudah saatnya untuk kembali ke sendok dan piring...mangkok dan cangkir...


ngopi dulu....

(Kamana atuh bray....kau tega pergi dari pertemanan inikah...???, sekarang...?)......


Kamipun bisa isola di sini. Ada banyak makanan dan minuman yang bisa mengembalikan tegaknya usus dan tulang perut kami. 

Ada bala-bala, kacang tanah, goreng pisang, kopi dan teh hangat, juga ada lainnya. 

Tapi tentu itu tak bisa membuat cukup kenyang, maka mie instanpun jadi pilihan utama disini...the last time is not the bad other....walau bukan yang pertama tapi engkau wahai emie adalah yang terakhir dan terhangat...terindah...dan mengenyangkan...


Dalam perjalanan kita memang dilarang manja dalam hal jenis makanan, selagi semuanya dijamin halal maka kamu tak bisa menolaknya karena perut juga menuntut dan memintanya demikian. 

Mie yang hangat dengan telor dan sesendok kecap atau saos itu adalah jamuan ter-istimewa. Apalagi ditambah secuil sambel yang pedas atau potongan “cengek” cabe rawit yang pedas...level 3, maka itu adalah pemuas dahaga yang amat sangat. 

Dan  kamipun bisa benar-benar merileks kan sekujur tubuh, kalau mau tiduran pun ada dipan-dipan disini, untuk lesehan bisa digunakan untuk sejenak melepas pegal linu...urat-urat yang kaku sebab lama duduk di jok dll. maka kami pun potret saja beberapa kali karena itu akan menjadi pengingat kami dikala nanti pulang lagi ke Bandung. dan juga sebagai kenang-kenangan di masa yang akan datang.

Entah sudah berapa lama kami tinggal disini, entah 40 menit entah satu jam. 

Rasanya memang agak sedikit enggan dan berat melangkah lagi, karena selain semilir angin yang mengantuk-antuk atau karena perut mulai bicara kepada kepala dan mata. membuat malas bergerak...malas untuk apapun selain hanya duduk saja..diam dan membisu.

#kawas domba...mung geus diparab...

{teu beda}

Ah pengennya sih tiduran dulu lah disini. Atau kalau tidak, tidur menginap saja sekalian disini.

Namun apa boleh dikata, ternyata perjalanan kita katanya masih jauh. Ini mungkin baru sekian persennya saja menuju Cidaun sana. Walau enggan, walau berat hati, walau lemas. Tetap saja kami harus pamit dan berangkat lagi. Dan terima kasih untuk si bapak warung yang sedia ikhlas membuat potret buat kami semua. Nuhun pak, assalamu ‘alaikum. Begitulah kamipun pergi dan melanjutkan “kukucuprakan” kami eh naon atuh...melanjutkan “kukusrukan” kami...masih salah...meneruskan “aksruk-aksrukkan” kami mungkin, menuju negeri orang.



Dari sini jalanan terlihat kiranya akan selalu menurun dan tak akan ada tanjakan lagi. 

Pegunungan dan puncak bukit kami kira sudah jauh terlewati tadi. Jadi ini akan butuh ketahanan pembonceng karena jalanan yang terus turun ini membuat yang dibonceng jadi “ngasrod” kedepan akibatnya pembonceng jadi kejepit dari belakang dan juga tertahan dari depan, artinya kegencet abis-abisan. Waduh pegalnya bukan main, pegal luar dalam. Jasmani dan rohani. He he he...!



Dari sini jalanan terlihat kiranya akan selalu menurun dan tak akan ada tanjakan lagi. Pegunungan dan puncak bukit kami kira sudah jauh terlewati tadi. Jadi ini akan butuh ketahanan pembonceng karena jalanan yang terus turun ini membuat yang dibonceng jadi “ngasrod” kedepan akibatnya pembonceng jadi kejepit dari belakang dan juga tertahan dari depan, artinya kegencet abis-abisan. Waduh pegalnya bukan main, pegal luar dalam. Jasmani dan rohani. He he he...!

Berkali kali kami ingatkan kepada yang dijok belakang, tolonglah “ngasrod deui saeutik”, tolonglah beri kami ruang dan waktu. Bukan hanya aku yang merasa demikian, pun bapak Koko merasakan hal yang sama. Seperti kegencet rasanya, itulah rasa sebenarnya.

Tapi perjalanan bukannya semakin kering atau lelah, semua kami rasa baik-baik saja dan tetap semangat pantang menyerah, pantang mengeluh.


Beberapa jenis jalanan kami sudah lalui, dari yang mulus tadi hingga agak keriting disini. Dari perkotaan yang macet, perkebunan teh yang luas, hingga gelapnya ujung bumi tadi dan juga gelapnya hutan dan kelokan kekiri juga kekanan. Semua sudah kami lewati.


Sejak dari sini kayaknya kami juga inginnya berhenti dibeberapa spot pemandangan yang indah dan asing bagi kami. Tetapi sekali lagi kami harus berhitung dengan waktu. Tak boleh kiranya kami jadi kegelapan dihutan dan tempat yang sepi jauh dari peradaban manusia. Kami hanya sempat berhenti sekali lagi disini, tak boleh banyak berhenti lagi walau hati menghendaki lain. 


Pemandangan air terjun yang terlihat diatas perbukitan itu, sejak tadi sudah menggoda mata. Maka akhirnya kamiun berhenti saja di sebuah jembatan yang aliran sungainya juga cukup deras dan bersih. Dikejauhan terlihat beberapa air terjun, didepan dan dibelakang kami. Disini kalau kubilang sih daerah seribu curug, karena saking banyaknya curug menghiasi lembah dan perkampungan penduduk. Kemana saja kamu menghadap, niscaya disana akan ada curug. Kurang lebih seperti itulah.

Jalananpun terus kami lanjut, melewati sawah dan hutan, melewati sungai dan kampung, melewati sisi-sisi bukit dan lembah. 

Ajibnya sekali, ternyata jalanan disini kembali membaik dengan aspal hitam yang mulus. 

Bahkan landscape dan kontur jalannya itu sangat asyik buat menikung. 

Kalau saja Rossi versus Marquez balapan disini....!, kalau saja ini jadi sirkuit motogp...mungkin asyik buat penontonnya akan ada saling salip yang bagus. Selalu saja kalau menemui jalanan seperti ini, ingatannya itu adalah race dan motogp. Asyik dan menyenangkan.


Kalau saja pemerintah menjadikan jalur ini untuk balap sepeda..tour de jabar selatan...mungkin itu akan membuat terpuaskannya para peserta balap dan ini akan menjadi terkenal di mancanegara. 

Kalau kami bilang sih sekali lagi ini sepertinya kami baru saja berada di luar negeri. 
Mungin kah ini Australia, ataukah Kanada...?..seperti itulah mungkin perasan secara pribadi sih. Tapi tak mungkin lah, sebab Indonesia kan negara maritim...negeri kepulauan yang kalau keluar batas negeri sudah pasti harus lewat kelaut dulu. 

#Ah untunglah ini mungkin masih Indonesia, sebab kalau sudah sampai ke luar negeri kami khawatir nanti kami ditangkap petugas imigrasi. diintrogasi dan lalu di suruh balik lagi.




Jam limaan sudah tapi Cidaun masih jauh kiranya.


Tetapi kalau menurut feeling sih ini tak bakal jauh lagi, sudah beda aura dan udaranya. Lebih kering dan lebih beda aja terasa kalau kita sudah tak jauh lagi dari pantai atau lautan. 

Tapi jalanan memang masih berbukit, hanya saja ini bukan lagi pegunungan, ini hanya perbukitan yang landai dan seperti ada di beberapa tempat di Sumatra mungkin. Yah tak sama tapi agak mirip sedikit. Berkelok naik sedikit dan turun sedikit, lurus lagi dan lurus terus berkelok lagi ke kiri. 

Yah selintas aku bisa melihat ada hamparan laut di balik bukit ini, tadi aku melihatnya kok sedikit. Laut-laut...!,kataku pada temanku, kita sudah dekat..!.

tak jauh lagi ...!.tadi benar sudah terlihat ada hamparan laut biru yang ada di balik bukit sebelah kiri kami ini. 


Ya dan benar saja selepas belokan kiri ini lautan kembali bisa terlihat dibalik pepohonan dan kebun-kebun warga. 

Itu menjadi konfirmasi bahwa kami sudah menuju jalan yang benar. 

Motor kamipun entah kenapa menjadi semakin bersemangat dan terasa melaju lebih kencang. 

Tapi walau begitu kok gak sampai-sampai rasanya. 





Kami sudah tak sabar agar segera melihat lautan dan itu artinya kami sudah sampai atau mendekati sampai kepada tujuan.


Jam lima 20 an, akhirnya kami tiba di jalan utama kecamatan cidaun. 

Tepatnya disebuah jembatan cat kuning. 

Kamipun berhenti dulu lah untuk melihat sungai yang cukup lebar ini dan dibawah sana ada banyak orang memandikan mobil, truk dan juga motor. 


Di sebelah kanan jembatan sana adalah ke muara dan laut lepas. 
Mentari sudah mulai menguning disana. 


Sejenak saja kami memandangi itu semua, sudah cukup membuat kami terasa beda lagi. 

Beda rasanya, tambah lagi pengalaman, tambah lagi kesan-kesan di dalam sanubari kami. dan yah...yang pasti......tambah semangat.



Kamipun lanjut lagi ke arah timur, menuju pantai Jayanti. 





Kamipun lanjut lagi ke arah timur, menuju pantai Jayanti. 

Katanya sih tak sampai lima belas menitan juga akan sampai disana. 

Pemandangan disini sudah berbeda, sudah menjadi daerah pantai. 

Debur ombak mungkin terdengar dikejauhan, itu gak terlalu jelas. Sampai akhirnya kamipun tiba dipetunjuk arah menuju pantai Jayanti. 

Kamipun belok ke kanan, kebetulan ada banyak pengunjung lain juga menuju sana. Kamipun mengikuti arah petunjuk saja. 

Temanku yang dibelakang bilang oh ini sih yang dulu bareng orang kantor, pernah sekali atau dua kali kesini.

ya...ini memang pantai Jayanti...



Memang ini dia adalah pantai Jayanti-Cidaun. Pertama setelah melewati gate kawasan pantai, kami di sambut oleh dermaga perahu di sebelah kiri, ada banyak perahu tertambat dibawah sana. Kamipun lanjut saja dan menuju meliwati pasar ikan entah kesebelah barat mungkin. Dan lalu belok lagi kekiri menuju tempat parkiran motor yang sudah cukup padat disana.


Pantainya sih biasa saja, pasirnya juga cukup bagus lah dan sebenarnya cukup bersih. Hanya saja kalihatannya tempat ini tidak diurus dengan benar. Masih banyak sampah berserakan dan juga kayu-kayu dan bambu di tengah pantai cukup merusak dan menusuk penglihatan. Ada batok kelapa juga dibiarkan dimana-mana. Dan ini pagar juga hanya berupa tali rumbia atau tali plastik. Tetapi secara matahari terbenam yang tepat tak lama lagi, ini sungguh menjadi pemandangan yang sangat eksotis. Sungguh kami beruntung dengan tepat waktunya kami dapat mengunjungi ini pantai.


Sun set yang pertama buat kami, atau buat saya pribadi. Ini adalah anugrah yang sungguh indah. Oh pemandangan ini kah rupanya yang banyak dicari orang itu. Ternyata memang bagaikan sapuan cat dalam kuas atau kanpas, bahkan lebih dari itu. Kuning keemasan memancar kesegala penjuru lautan nun jauh diupuk sana. Jayanti mempesona.
.............


Hari menjelang maghrib, kamipun bersiap untuk pergi lagi. Setelah kami sepakati bahwa kami akan bermalam di pantai Rancabuaya. Karena disana pemondokan dan bahkan motel sudah cukup banyak tersedia. Disinipun sebenarnya ada banyak penginapan tetapi kelihatannya dipantai ini kurang menggigit jika dibanding di Rancabuaya.


Tanpa banyak ba bi bu....kamipun tancap lagi gasnya menuju Rancabuaya sekaligus meninggalkan Jayanti. Tetapi tetap saja memori Jayanti itu tak pernah lepas dalam sanubari.

Hari mulai gelap manakala kami harus melewati kebun-kebun, dan juga hutan dan juga pesisir sepanjang jalan Jayanti-Rancabuaya. Keindahan panoramanya hanya tinggal samar terlihat. Yang kemudian adalah denyut nadi yang menaik untuk perjalanan tanpa ada pemandangan karena semuanya menjadi makin hitam, makin gelap.

Entah berapa menit sudah perjalanan ini, mungkin 10 menit, mungkin 20 menit, tak sempat aku memastikan jam berapakah ini gerangan. Karena yang ada dalam pikiran hanyalah segera dan segera sampai ke tujuan.


Akhirnya tibalah juga kami di persimpangan menuju Pantai Rancabuaya. Jam sekira 18.30 an, atau lebih. Dan disini kami berhenti dahulu untuk membeli beberapa keperluan mendasar seperti sabun dan sikat gigi, juga bahkan gembok tambahan untuk menjaga keamanan kendaraan di pemondokan sana. Selain itu juga makanan ringan semacam sukro atau minuman ringan semacam air mineral dan juga lainnya. Tak lupa pula kami bawa alat permainan untuk sekedar mengisi waktu dikala hari menjelang malam lagi. Yah...teman kami memang keranjingan main remi. Tapi tak apa karena aku juga tak kalah lah dibanding mereka...kita lihat saja nanti.

Setelah kami bayar tiket wisata Rancabuaya yang Rp. 5000 per jiwa ini, kamipun melenggang perlahan menyusuri jalan menuju suara-suara deru ombak yang semakin mendekat didepan sana. Dan kamipun sampailah di jalanan pantai Rancabuaya.


Sebagaimana biasa tak lah mudah mencari pondokan dengan cara mendadak seperti ini, tapi untunglah saat ini pengunjung Rancabuaya sedang tidak terlalu ramai jika dibanding dahulu, empat tahun yang lalu. Karena ini bukan malam tahun baru, masih seminggu lagi untuk tahun baru. Tetap saja kalau kita yang baru datang dan harus mencari-cari tentu tak bisa langsung ketemu. Ada yang sudah penuh, ada yang diluar budget dll.


Sampai akhirnya kami bertemu si bapak yang menyodorkan nama pondokan Sudong villa. Kamipun sepakat dengan harganya dan akhirnya kami bisa beristirahat disana. Ya harganya dua setengah. Cukuplah untuk kami. Ini villa memang ada kolam renangnya, tapi kayaknya itu lebih seperti kolam untuk hiu. Jadi kami hanya menikmatinya saja dari jendela dan dari emperan penginapan. Tak ada satu pun yang renang disana, airnya sudah seperti bekas lumba-lumba atau hiu. Dan cukup lumayan dalam. Tak apalah kami disini sangat leluasa karena disamping kamar kami di luarnya ada emperan yang cukup nyaman dan lapang, sehingga ini bagus buat kami bersantai dahulu.


Tetapi nanti dulu, kami mesti harus mandi dan juga sholat untuk kemudian pergi keluar dan cari makanan. Perut juga perlu di isi apalagi setelah perjalanan dengan panas, dingin dan angin. Tentu isi perut kami selama perjalanan tadi terus bekerja menggiling dan memproses sisa-sisa makanan dari warung di balegede di sore tadi itu. Sehingga sesampainya disini ia menghendaki ada suply lagi. 

Ya, bakar ikan tentu akan nikmat. Ada juga jengkol dan juga petai. Termasuk juga sayuran, lalaban dan sambel. Setelah semua itu siap ada di atas meja tentu kami tak akan sabar lagi untuk itu. Tapi itu tak sebentar, mereka harus mencuci ikannya dahulu, menyiapkan sambelnya dahulu, juga memasak kangkung dan juga cuminya. Sementara itu menunggu, sebakul nasipun datanglah diatas meja kami. Berkali-kali kami pelototi itu bakul, di balik diputar dan yah hanya ada nasi...masih hanya nasi.
Gelaspun datang, dan juga seteko air teh hangat. Itu semua hanya membuat kami semakin tak sabar saja. Jadi “kumaha atuh bro”..!.kataku sepontan....,


Bro....kataku lalu aku terkekeh ketawa dan juga semua teman pun ketawa...dan bahkan si tetehpun tersenyum-senyum gak nahan untuk tak ketawa...kami semua ketawa...

Aku salah dan spontan memanggil bro kepada siteteh yang ada datang disebelah sampingku dari belakang warung. Kami sedang asik berbicara dan ngobrol sampai aku lupa dengan pilihan kata dan kukira aku sedang berkata kepada teman, kepadanya aku membuat semua jadi tertawa...

Malampun menjadi semakin cemerlang. Pecah suasana dan ya...kami memang punya teman yang kocak dan itu membuat suasana menjadi selalu ceria.  Apapun bagaimanapun, selalu saja ada ketawa dan canda. Aku kira jika tanpa dia suasana akan sepi. Beruntunglah Indonesia punya dia...he he he...!
Bukan, bukan Sule. Bukan, bukan Tukul Arwana simelekete. Ini hanyalah kami dan teman kami.
Akhirnya semua masakan dan hidangan sudah siap semuanya. Berjejer diatas meja dengan sambal dan sambal kecap. Wah ini benar-benar hidangan istimewa. Kami bagaikan raja dan patih beserta prajurit kepercayaan yang habis pulang dari medan pertempuran.

“Habek...habek”...semua makanan kami lahap dengan tuntas...tas..tas..




Perutpun akhirnya kenyang “kamerekaan”... “bungkang ngabebengkang” diatas bangku. Waduh perut ini dipenuhi oleh remeh dan kawan-kawannya, juga sambel dan cumi ada disana. Air teh hangat menjadi pelengkap semua itu...nikmat sekali.

Kalau kami ceritakan secara rinci dari suap pertama nanti malah membuat ngiler seluruh negeri....kau bisa bayangkan bagaimana ketika petai itu “nyakrek” di dalam gigi, krek krek...lalu sesuap lalaban dan sambel mengikutinya...ditambah lagi dengan nasi dan bakar ikan laut yang gurih..wuih itu adalah saat-saat yang istimewa dan tak terlupakan. “Sehah lada” karena pedas, itu mah menjadi pelecut semangat semakin lahap dan semakin didepan.

Untungnya kami tidak sampai ricuh berebut petai atau potongan ikan..kami masih cukup damai dan tertib. Tetapi sejatinya adalah siapa dapat dia yang dapat. Itu jelas...masa kita mau disuapin orang...ya ambil saja apa yang kamu bisa...tapi selalu jaga kesopanan sesama teman dilarang saling sikut, dilarang saling berebut. Ah inimah terlalu didarmatisir. Ya emang supaya ceritanya jadi membuat pemirsa tambah penasaran...membaca sampai tuntas. He he he...!


Sudah kenyang, kami tentu tak begitu saja pergi karena sebagaimana kucing habis makan, atau singa habis makan, atau bahkan ular, kambing dan kerbau. Semuanya tentu akan memberi waktu supaya perut dapat bekerja dengan tenang dulu. Nanti kalau langsung dibawa jalan-jalan perutnya jadi “kalikibeun”, ada gas yang terperangkap dilambung menjadi kembung dan makanan didalam sana bisa keluar lagi.

Gitu bro...!


Malampun semakin menjadi, maka kamipun kembali kepada pantai yang tadi. Ada banyak kehidupan malam di antara bebatuan karang. Kalau kita sorot dengan senter atau lampu bisa kita temukan berbagai ikan kecil yang warna warni diceruk-ceruk pantai dari batu karang ini. Ikan-ikan hias yang bagus sekali. Ada banyak dan kau bisa carilah sepanjang pantai ini, kalau kau mau.

Tentu saja karena itu adalah menarik bagi wisatawan atau pendatang seperti kami. Tapi tetap, jika itu tak kau perlukan, tetap jaga kelestarian alam, biarkan mereka hidup dialamnya agar kita bisa selalu menikmatinya kapan saja kembali kesini. Berlaku baik dan santun walaupun itu kepada ikan, kepada karang, dan juga kepada lautan. Ataupun juga kepada rumput yang bergoyang... Ebiet G. Ade itumah...!.

Malam semakin larut, tak baik terlalu lama diluar sana. Angin nya semakin kencang, dan deburan ombak semakin terdengar kencang seiring suasana pantai yang semakin sepi. Kami bukan yang pertama tetapi kami juga bukan yang terakhir. Maka kamipun pergi meninggalkan sisi pantai ini untuk istirahat di pondokan.


Sudong Villa,
Nama itu entah dari bahasa mana, entah Tiongkok entah Taiwan, atau mungkin Korea.
Tulisannya juga ada tulisan kanji nya...atau tulisan semacam itu. Sama sekali tak terbaca, itu seperti coret-coret saja. Tulisan asing yang tak bisa kami membacanya. Tetapi tentu itu adalah Sudong Villa juga.

Istirahatlah malam ini, atau besok akan menjadi kantuk sepanjang hari. Namun kartu remi yang sudah siap dari siang tadi, tentu saja teman-teman mengajak kami bermain kartu untuk sekedar bersenang-senang. Kalau diukur agama tentu saja itu menghabiskan waktu secara sia-sia. Baiklah, tapi sesekali kami bercanda tentu bukanlah sesuatu yang mutlak tidak boleh. Dan kami juga tentu masih ingin sedikit hiburan, semoga saja ini tidak sampai berlebih-lebihan.

Aku pun menang pada putaran pertama, putaran kedua juga gak kalah lah....tapi aku lupa selanjutnya coba tanyakan ke teman-teman, kukira aku banyak menang dan sedikit kalahnya. Yang sebelah saya justru kayaknya lebih sering menderita kalah....!.., apalagi si Bono, kayaknya dia sok pinter. Ah yang kasihan sih teman kami yang satunya lagi, sering kali masih kalah langkah....gak pernah faham permainan ini. Tapi kalau dia menang sungguh bisa luar biasa...!. si Koko juga masih lah satu level dibawah ku....he he he....!,

Selebihnya biar kalian saja yang menilai....itu gak penting.



Karena malam semakin larut, maka kami pun akhirnya tidurlah dengan sisa-sisa dari panjangnya hari ini.

.......................................
................................................
Pagi menjelang, akupun terbangun dan sholat subuh dahulu, kemudian nongkrong dengan seberapa besar sisa kantuk yang masih ada. Kalau harus mandi, ntar dulu lah....sebaiknya kita nikmati dulu udara segar dipagi ini, sekaligus mengumpulkan energi yang baru untuk hari ini. Harusnya sih pagi ini olahraga atau menggerakkan tubuh supaya persendian tubuh menjadi tidak kaku.


Lalu semua kamipun sudah terbangun dan kemudian mandi dan bersiap untuk mencari sesuap nasi.
Untuk itu kamipun pergilah kembali ke pantai, menyusuri sisi sepanjang pantai. Akhirnya kami keasikan dengan pantai dan air laut. 



Kebetulan pagi ini ada nelayan yang mendarat membawa hasil tangkapan tadi malam. Ada cukup beberapa udang dan ikan-ikan kecil. 



Disini memang hasil tangkapan ikannya kelihatannya sedang tidak baik. Tak terlalu banyak hasil yang mereka dapat. Tapi tetap sajalah kita harus bersyukur, “la wong” itu juga kita gak pernah menebar bibit kok di lautan ini...?, tiba-tiba kita hanya bisa mancing dan menjaring. 



Sudah bersyukur banget semua itu bisa menghidupi kita semua. Walau untuk menjadi kaya sih, tak semua nelayan bisa kaya sebagaimana tak semua pengusaha bisa kaya atau tak semua petani bisa menjadi kaya. Soal kaya atau miskin sungguh kita tak berdaya menentukan nasib kita secara pasti. Kita hanya bisa berusaha sekuat tenaga, soal hasilnya sungguh tak ada yang bisa memastikan hari esok akan seperti apa.


Sudah lama kami bersenang-senang dan melihat kehidupan nelayan di Rancabuaya ini, termasuk juga dengan para wisatawan lainnya.

Kami masih akan melanjutkan kepada pantai berikutnya, kami ingin tahu Pantai Gua Lalay dan juga Pantai Santolo.


Keluarlah kami dari Rancabuaya ini dengan kesan mendalam tentang si brow...
Jalan yang kami tempuh ini bukanlah jalan yang semalam kami susuri, jalan keluar dari kawasan wisata Rancabuaya ini adalah jalur alternatif. Hanya saja jalanan ini belum mendapat sentuhan aspal sama sekali. Masih berupa jalan batu berkerikil, tapi masih cukup mudah untuk dilalui kendaraan. 


Dan kenapa kami ambil jalur ini, itu karena kami ingin “explore” Rancabuaya disisi lainnya. Sehingga wawasan kami tidak semata tertumpu dari satu jalan, melainkan ada jalan lainnya tentu dengan kemungkinan ada panorama atau pemandangan lainnya. Dan itu benar, dengan melalui jalur ini kita bisa mendapati pemandangan laut Rancabuaya dari atas bukit, sehingga pemandangan menjadi lebih jauh ke tengah laut sana. Selain itu di sepanjang jalur ini kita bisa melihat banyak sapi yang bebas merumput di hamparan rerumputan yang tak ada pepohonannya ini. Itu seperti dalam film cowboy atau seperti peternakan di Australia dan Selandia Baru dalam versi Rancabuaya tentunya.



Kalau dalam penerawangan penulis sih, ini lokasi sangat cocok untuk dibuat sirkuit MotoGP. Kontur tanah dan landscape nya itu tak ubah seperti konturnya sirkuit Philips Islands. Sama-sama ada diketinggian dan ada dipinggir pantai dengan lautan luas membentang. Kiranya kalau disini dibangun sebuah sirkuit, mungkin saja enak buat menikung ditikungan terakhir.


Ah itu kan hanya persepsi pribadi saja. Hanya hayalan semata. Tapi mungkin saja sekian tahun kedepan itu bisa menjadi nyata. Apalagi daerah Rancabuaya ini termasuk daerah yang untuk salah satu kawasan pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat bagian Selatan selain Pangandaran dan Pelabuhan Ratu. Jadi semua itu tak ada yang mustahil. Itu setidaknya menurutku sebagai yang lagi gandrung dengan MotoGP ya..?.


Tak terasa kami sudah berada diluar kawasan wisata pantai Rancabuaya, menuju jalan Raya Lintas Selatan Jabar. Kamipun belok ke kanan, ke arah Pameungpeuk.

Tak jauh sejak kami keluar dari Rancabuaya, ada sebuah plang dari papan yang tertulis disana Pantai Gua Lalay. Inilah tujuan kami berikutnya. Kamipun masuklah dengan karcis yang juga murah meriah, hanya 3000 rupiah saja.


Pemandangan disini hampir sama seperti di jalur pulang dari pantai Rancabuaya tadi, tempat ini berada diketinggian dan laut ada dibawah sana.

Ada bale-bale untuk pengunjung berteduh, ada juga spot-spot untuk berpoto dll. Kelihatannya ditempat ini juga ada bekas orang berkemah semalam. Ada juga bekas bakar-bakar. Ya mungkin ada beberapa pengunjung yang semalam berkemah ditempat ini.


Satu hal yang menjadikan tempat ini menarik adalah pemandangannya yang luas membentang langsung kebibir pantai dan lautan yang luas di Samudra Hindia ini. dan deru ombak yang menghantam karang di bawah sana, serta juga terdapat Gua vertikal dan horizontal yang tembus ke dasar pantai. Dibawah Gua ini atau didalamnya itu terdapat ribuan atau jutaan kelelawar yang baunya menyengat sampai di mulut Gua ini. tapi harus hati-hati jangan terlalu mendekat ke lubang Gua sebab berbahaya jangan sampai tergelincir ke bawah sana. Tetapi pihak pengelola memang sudah memagari sebagian besarnya, walau ada juga yang terbuka sehingga banyak pengunjung yang bisa dekat-dekat melihat isi Gua ini.


Ya, memang ombak lautan sampai juga kedalam Gua ini, itu menandakan bahwa Gua ini tembus kelautan dibawah sana.

Dalam satu sisi pagar-pagar yang ada disekeliling kawasan ini itu adalah bagus buat keamanan dan keselamatan pengunjung, namun disisi lain hal itu menjadikannya menjadi kurang keindahannya. Mungkin itu tak terlepas dari jenis pagar yang digunakan, kalau pagarnya dibuat dengan lebih artistik mungkin hasilnya akan lebih menawan. Tapi untuk sementara ini, itu cukuplah demi untuk keselamatan para pengunjung semuanya.


Tak lama kami berada di pantai ini, mungkin kurang dari satu jam. Lalu kami pun melanjutkan menuju Pameungpeuk untuk ke Pantai Santolo. Diantara kami semua tak satupun yang mengaku pernah mengunjungi Santolo, tak satupun. Kami hanya mengetahui nama Santolo dari media Internet saja.



Tetapi jalur jalan menuju Santolo ini bukanlah yang pertama bagi penulis, itu karena di awal tahun 2012 lalu penulis pernah ke Rancabuaya via Pangalengan dan pulang melalui jalur Pameungpeuk ini, hanya saja waktu itu belum sempat ke berbagai lokasi lainnya selain Rancabuaya tadi.



Sepanjang jalan ini tetap saja pemandangan lautnya membuat penulis terpesona. Itu bagaikan kamu keluar sebagai pemenang setelah melewati berbagai hambatan dan pemandangan yang berpohon-pohon dan berhutan-hutan, lalu disini semuanya menjadi tentang lautan saja. Kamu bisa melepas pandangan sejauh kamu bisa, ke sana kelautan yang biru, sebiru-birunya. Seakan kamu terbebas dari semua kekang, seakan kamu lepas dari semua jerat. Kamu menjadi manusia terbebas disini. Itulah yang kami rasakan dan juga kami ekspresikan.



Dan pemandangan laut itu bukan soal lima menit atau sepuluh menit, ini adalah sudah satu jam kami menyusuri jalanan dengan pemandangan lautan di mana saja kamu berada.
Ini hari adalah hari Jum’at, dan sekarang sudah menunjukkan jam sebelasan. Maka penulispun bersiaplah untuk sholat Jum’at terlebih dahulu. Pameungpeuk 25 Desember 2015.



Habis jum’atan di sebuah Mesjid yang besar, maka kamipun bersiap untuk makan dan kembali menuju ke Santolo.

Kamipun melajulah lagi, kembali ke arah sebelumnya, karena tadi kami harus ke Pameungpeuk dahulu untuk Sholat Jum’at dan juga untuk istirahat dulu.
Dan kami pun masuk lah kepada kawasan wisata yang disana ditulis pantai Sayang Heulang. Dan .....




Jacuzzi Of Sayang Heulang

Ketika kami masuk kami langsung disuguhkan oleh pemandangan lautan lepas, ada dua jalan. Belok kiri atau belok kanan. Setelah berunding akhirnya kami pilih ke kiri. Terus saja mengikuti jalan yang ada sampai akhirnya mentok dalam halaman penginapan-penginapan atau hotel. Kamipun memilih spot tak jauh dari sini. Ada rerimbunan pohon perdu khas pantai, yang daunnya seperti daun pandan agak besar sedikit. Namanya belum kami ketahui.


Disana ada bangku yang cukup teduh untuk kami menyimpan motor dan juga bawaan kami.
Maka kamipun melihat-lihat situasi disana, pemandangan pantai dan pasirnya serta air dan ombaknya. Hari sangat terik, membuat kami ogah-ogahan untuk bermain air.


Bahkan satu teman kami kembali tersungkur dalam bangku, melanjutkan sisa kantuknya yang tadi tertunda. Ya sudah akupun akhirnya ambil inisiatif lain. Ya, pengen bermain air.



Sebenarnya hari di atas air sudah mulai terasa adem, terasa beda jika dibanding berada diatas pasir. Ya mungkin itu karena faktor air, yang tentu sedikit banyak menyerap sisa dingin tadi malam.
Aku pun semakin semangat untuk terus ketengah. Untunglah pantai disini ombaknya memang ada jauh ditengah, karena disisi pantainya berupa hamparan karang yang sangat luas memanjang sepanjang pantai sayang heulang ini, tak tau kalau pantai sebelah kanan sana mungkin berbeda.


Kalau sudah datang ke pantai dari Bandung tanpa bermain air rasanya ada sesuatu yang tertinggal. Maka akupun pergilah sendiri menyusuri pantai ini, air laut taklah terlalu tinggi hanya sebetis atau dibawah lutut.



Setelah jauh menyusurinya adalah beberapa kolam yang tenggelam di beberapa bagian pantai ini, dalamnya sekira sepaha atau sepinggul. Dasarnya terlihat putih dengan pasir dan airnya sangat jernih sekali. Serta disekelilingnya adalah hamparan karang tadi yang ditumbuhi lumut atau ganggang laut, terlihat hijau dimana-mana. Tentu saja banyak juga ikan-ikan kecil yang hidup disana.



Karena badan terasa panas oleh terik dan juga oleh karena melihat kolam  atau cerukan yang bagus kelihatannya ini, maka akupun mulai menuruninya secara hati-hati takutnya ini ada sesuatu yang berbahaya. Dan yah ternyata ini cukup aman dan akupun mulai merendamkan separuh badanku padanya.


Ternyata badan begitu terasa adem dan semakin basah semakin menyenangkan. Akhirnya akupun menceburkan semuanya dan berendam sepenuhnya. Enak sekali rasanya, lelah itu sudah terbayar lunas disini.


Temanku yang lain masih saja ada jauh didaratan sana. Hanya aku sendiri yang sudah bermain air. Ini jarak dari daratan kurang lebih 75 atau 90 meteran. Jadi kelihatan cukup jauh dari pantai.



Namun lama-kelamaan mereka mulai penasaran juga dengan apa yang aku lakukan, temanku satu persatu mulai mendekat kepada tempatku ini. Yang pertama adalah koko dia juga mulai tertarik dengan apa yang aku temukan ini. Tak lama kemudian menyusul bapak Diyar kesini. Maka kamipun mulai berendam semuanya disini. Semua tampak puas dan senangnya. Kamipun membuat fotonya disini. Ini adalah Jakusinya Sayang Heulang. Mantaap....!


Sekian dulu laporan pandangan mata dari kami, sampai jumpa.


Wassalamu'alaikum....

daah....!


Baca juga :



Posting Komentar

0 Komentar