Politik Islam dalam
Masyarakat: Catatan untuk Hanafi Rais
Hanafi Rais keliru tentang gagasan
islam dan politik di kelas menengah
1 Maret 2019
Hanafi Rais, politisi dan Sekretaris Badan Pemenangan
Nasional (BPN), mengatakan saluran perlawanan atas ketidakadilan yang hanya
bisa digunakan sekarang hanyalah Agama, khususnya Islam. “Sekarang ini platform yang satu-satunya bisa memberikan saluran
perlawanan adalah Islam atau agama,” ujarnya.
Pernyataan ini menarik untuk didiskusikan lebih dalam,
sebab benarkah agama, terkhusus Islam, mampu menjadi medium perlawanan terhadap
ketidakadilan.
Dalam pernyataan Hanafi ini terkesan mengkonfirmasi
nilai progresif yang dikandung dalam agama Islam. Sebelumnya, hal ini sudah
banyak dikupas oleh beberapa pemikir muslim di masa lalu, seperti Hassan Hanafi
dan Asghar Ali. Menurut saya, omongan Hanafi Rais bahwa Islam bisa dijadikan
medium perjuangan melawan ketidakadilan melalui jalan politik, hal sulit untuk
diwujudkan jika menelisik kondisi sosial politik umat Islam saat ini.
Contoh paling dekat, bisa kita lihat sendiri dalam
aksi 212 yang dianggap sebagai representasi keberhasilan umat Islam menjadi
“arus besar” dalam politik Indonesia. Dalam sudut pandang saya, Islam masih
gagal menunjukkan keberhasilan sebagai medium dalam melawan ketidakadilan dalam
arti sesungguhnya.
Aksi 212 dengan semua narasi dan kontroversi yang
mengiringinya, banyak disebut sebagai aksi politik umat Islam. Fakta yang
memperkuat asumsi aksi 212 adalah aksi politik umat Islam. Yaitu, aksi 212 yang
tercetus atas “ketidakpuasan” banyak dari masyarakat muslim atas proses hukum
yang dijalani oleh Basuki Tjahja Purnama (BTP) atas kasus penistaan agama. Isu
agama yang berkelindan dengan kasus hukum yang diperjuangkan melalui saluran
demokrasi yakni demostrasi, yang mana ini adalah bagian dari aksi politik.
Sekarang gerakan 212 tersebut menjadi modal sosial,
yang kemudian bisa dikapitalisasi sebagai dukungan politik yang menggiurkan
bagi siapa saja yang ingin meraup dukungan militan. Terbentuknya organisasi
yang (dianggap) mewadahi “alumni” gerakan ini seperti Persaudaraan Alumni 212
dan Presidium Alumni 212, adalah bukti paling sahih bahwa gerakan 212 telah
berubah menjadi kapital politik. Terlepas dari perbedaan dan perseteruan
diantara dua organisasi tersebut, kedua organisasi tersebut terlihat cukup
lihai dalam bermanuver politik terutama di tengah kancah Pilpres 2019 ini.
Baca
juga: Politik Islam itu
Apa?
Islam atau keberagamaan yang digunakan oleh politisi,
sebenarnya hal yang lumrah. Sebab, agama di Indonesia adalah isu yang sudah
siap pakai dan punya daya penggerak yang baik. Analisis Vedi R. Hadiz
dalam buku
Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, agama seakan tidak akan pernah kehabisan vitalitas
untuk menggerakkan massa dan militansi yang tidak perlu diragukan.Inilah alasan
utama mengapa agama tidak pernah absen dalam perbincangan politik Indonesia.
Satu pertanyaan terlintas dalam benak saya saat
melihat fakta di atas, suara dari kalangan Islam yang mana paling lantang
direpresentasi dalam perbincangan politik Indonesia saat ini? Sebab, Islam di
Nusantara ini tidak akan terlepas dari sejarah panjang kehadirannya di tanah
air ini, termasuk di dalam diskursus sosial politik. Dus, bisa
saja ada suara dari salah satu kalangan Islam yang lebih mendominasi dalam
diskursus politik di Indonesia.
Sejak Orde Baru berkuasa di pertengahan tahun 1960an,
pasca tragedi G 30 S, posisi Islam mulai “dikandangkan” dan baru berakhir di
awal tahun 1990an. Namun, kalangan muslim mendapatkan kesempatan mengecap
bangku sekolah karena kebijakan Orde Baru saat itu membuka kesempatan
bersekolah kepada seluruh anak bangsa. Sebab, sebelumnya kalangan muslim tidak
mudah untuk masuk ke sekolah dikarenakan politik pendidikan sebelum
kemerdekaan, hanya memberikannya kepada mereka yang memiliki strata sosial yang
tinggi.
Sejak itu kelas menengah muslim mulai meramaikan
berbagai perbincangan termasuk diskursus sosial politik di Indonesia. Kehadiran
pemikiran Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Cak Nur (Nucholish Madjid) di ranah
sosial politik Islam, memberikan gairah baru pasca perdebatan soal pendirian
negara Islam di Indonesia di masa lalu yang sudah ditinggalkan. Karena, selain
kesempatan memiliki kedudukan di birokrasi akhirnya juga bisa dirasakan oleh
kalangan muslim karena kualifikasi pendidikan, ranah pemikiran Islam juga
menjadi ramai dengan hadirnya pemikir baru tersebut, yang juga memaksa mereka
masuk dalam kalangan kelas menengah karena posisi sosialnya.
Di sisi lain, kelas menengah muslim, sebagaimana kelas
menengah lainnya, juga dianggap sebagai penggerak roda ekonomi di Indonesia
karena kemampuan belanja meraka di atas rata-rata masyarakat biasa. Keadaan ini
terus meningkat seiring jumlah kelas menengah yang terus bertambah di saat
runtuhnya Orde Baru, yang memberikan ruang ekonomi hanya pada keluarga dan
kroni saja.
Baca
juga: Politik Identitas
dalam Sejarah Islam
Seiring geliat ekonomi akhirnya terus bertambah,
perbincangan keislaman juga semakin berkembang. Diskursus soal keislaman tidak
lagi sekedar membicarakan soal posisi negara atau hubungan antar agama saja,
tapi juga masuk ke berbagai ruang publik yang dimasuki oleh agama.
Di era pasca Orde Baru, geliat keislaman kelas
menengah telah banyak berubah. Seperti, persentuhan mereka dengan kalangan
Islamisme, membuat warna dari kapitalisme atau konsumerisme akhirnya juga
“diterima” oleh kalangan pendukung Islamisme. Untuk menarik dukungan atau
meraih jemaah dari kalangan kelas menengah, langkah tersebut harus diambil oleh
para penggiat Islamisme. Dari kondisi inilah, muncul produk-produk yang sesuai
dengan gaya hidup Islami yang selaras dengan nilai konsumerisme. Sekat ideologi
dan mazhab kalangan Islamisme dan kelas menengah akhirnya semakin buram karena
kondisi keterbukaan, suka atau tidak, membuat mereka harus bernegosiasi lagi
dengan nilai-nilai yang selama mereka lawan, yaitu kapitalisme dan
konsumerisme.
Di tengah kondisi keterbukaan ini, kelas menengah
muslim menjadi sangat dominan dalam perbincangan keislaman termasuk dalam
urusan politik. Keberhasilan kelas menengah dalam mendominasi perbincangan
keislaman ditopang dari kemampuan mereka menjadi kelompok perekayasa sosial
(social engineering), di mana warna sosial Islam akhirnya menjadi diwarnai
keberislaman kelas menengah.
Selera keberislaman kelas menengah yang kemudian lebih
banyak berkelindan dengan citra dan konsumerisme menjadi dominan terlihat di
hampir seluruh lapisan kelas dalam masyarakat muslim. Selain kosmetik dan
fashion beraroma islami juga menjadi menu wajib, ziarah, umrah dan haji yang
menjadi bagian leisure dari kehidupan masyarakat muslim sekarang ini.
Haw Wei Weng, sosiolog asal Malaysia, menyebutkan hal
ini adalah “Gentrifikasi Religius”, term ini merujuk perubahan budaya yang
dihasilkan karena kehadiran kelas menengah dalam sebuah wilayah.
Selain televisi, perubahan budaya ini juga didorong faktor kehadiran media sosial dan internet yang terus menyebarkan Islam model kelas menengah ini. Intensitas menonton televisi dan aktifitas media sosial di kalangan umat Islam yang cukup tinggi, menjadikan medium paling dominan berpengaruh dalam proses dominasi diskursus keislaman.
Selain televisi, perubahan budaya ini juga didorong faktor kehadiran media sosial dan internet yang terus menyebarkan Islam model kelas menengah ini. Intensitas menonton televisi dan aktifitas media sosial di kalangan umat Islam yang cukup tinggi, menjadikan medium paling dominan berpengaruh dalam proses dominasi diskursus keislaman.
Kondisi ini juga terjadi dalam diskursus politik umat
Islam, di mana isu yang beredar dan diusung lebih banyak bermain pada citra dan
gaya hidup, atau dalam kajian filsafat disebut tontonan. Di mana politik kita
hanya memunculkan yang bersifat artifisial atau tontonan belaka, tidak lagi
berbincang soal nilai kemanusiaan atau kebangsaan. Ini bisa kita lihat bersama,
dari momen Pilkada DKI hingga Pilpres 2019 sekarang ini, saat Islam dimunculkan
dalam isu politik lebih banyak berbincang soal ritual dan model keberislaman,
seperti model berwudhu, posisi shalat jumat, bisa membaca al-Qur’an, gerakan
shalat subuh berjamaah, dan lain-lain .
Dengan kondisi tersebut, sangat sulit untuk berharap
Islam berjuang untuk nilai-nilai kemanusiaan yang lebih universal. Mengurusi
kehidupan keberagamaan pribadi malah menjebak kaum muslimin untuk tidak lagi
berpikir bagaimana Islam bisa memiliki kekuatan progresif yang pernah
dicontohkan oleh Abu Dzar al-Ghifarri saat mengkritik Muawiyah, saat itu
menjabat Gubernur Syam, yang menumpuk harta hanya segelintir kalangan
terdekatnya. Bagi Abu Dzar, menyimpan kekayaan yang melebihi pada keperluan
adalah haram.
Amien Rais menuliskan kalau agama tidak mampu
menghadapi krisis kemanusiaan, seperti korupsi, kolusi, disparitas pendidikan
dan pendapatan, degenerasi moral, dan masalah destruksi ekologi, maka tentu
pelan-pelan agama menjadi out of date atau kadaluarsa. Namun, Amien juga
menambahkan agama bisa digunakan sebagai topeng belaka, yakni mereka yang
menjadikan agamanya sebagai rutinisme yang kosong melompong dari jiwa
keagamaannya itu sendiri.
Saat Islam masuk dalam ranah politik seharusnya
menjadi pendorong utama dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, bukan
terhenti pada persoalan ritual, sektarian, apalagi sekedar kesalehan pribadi.
Sebab, politik adalah medium memperjuangkan kehidupan bersama yang lebih baik
untuk seluruh elemen bangsa, bukan terbatas hanya penganut Islam saja apalagi
kelas menengah.
Oleh sebab itu, politik Islam harus berhenti
memperbincangkan hal-hal yang artifisial atau selera kelas menengah. Politik
Islam harus mulai berbicara krisis kemanusiaan secara komprehensif, agar Islam
itu sendiri tidak out of date atau hanya terjebak pada hal artifisial yang
merupakan selera dari kelas menengah saat ini.
0 Komentar