Perjalanan hidup takada yang tahu….yang tempe mungkin ada. Begitu
juga dengan perjalanan kali ini.
Bahwa Jawa barat, tanah parahyangan ini tercipta ketika
Tuhan sedang tersenyum, itu mungkin idiom yang tepat untuk menggambarkan
eloknya tanah Pasundan ini. Pantai-pantai yang beraneka macam, pemandangan
bukit-bukit yang subur, hijau dimana-mana. Tak semua tempat memiliki
pemandangan seperti di tanah ini.
Ada Parisj Van Java, ada Swiss van Java, ada juga New York
van Java. Semua itu ada di tanah Jawa Bagian Barat.
Bukan soal itu yang ingin kita bahas, bukan soal politik
atau perseteruan politik dan sejenisnya. Tapi tentang lain, tentang keindahan.
Seperti di pagi ini, pagi yang sama seperti pagi-pagi biasanya. Ada teh hangat, ada secangkir kopi, nasi kuning, bubur atau kupat tahu. Sama saja seperti hari-hari lainnya. Namun bedanya juga ada. Karena hari ini kami hendak jalan-jalan ke sana, ke Pangalengan.
Ini pertengahan April 2020, saat Pandemic Corona sedang
mengalami puncak-puncaknya. Masyarakat sedang merasa ketakutan oleh resiko
tertularnya Virus Covid-19 yang amat mematikan. Bukan karena kami tak percaya
taqdir, bukan karena kami tak tahu bahwa kematian karena penyakit lain justru
lebih banyak jumlahnya. Tapi karena Covid-19 ini menyebarkan virusnya melalui
persinggungan manusia dengan manusia lainnya. Sehingga kami merasa waswas
ketika bertemu dengan orang yang kita tidak tahu apakah mereka tertular virus
atau tidak. Itulah mengapa semua kita dituntut untuk saling jaga diri, bermasker, rajin cuci tangan, jaga jarak
dst.
Namun, jenuh rasanya berhari-hari diam di rumah. Ada saatnya
harus pergi kesana, untuk sekedar melepas penat dari rutinitas sehari-hari yang
rutin diam di rumah saja.
Pagi yang cerah, jam sekian aku berangkat dengan semangat
yang membara…seperti pejuang 45. Maju tak gentar, membela yang benar.
Tak terasa motor yang kami kendarai sudah tiba di bilangan
Banjaran menuju ke selatan, ke Pegunungan Bandung Selatan. Pangalengan Valley dsk.
Pangalengan bukanlah satu tempat yang asing bagi kita orang
Bandung dan sekitarnya. Sudah menjadi tempat yang biasa kami kunjungi. Terlalu Sering.
Entah sudah berapa puluh kali mungkin kita berkunjung ke
sini. Kamu mungkin sudah seratus kali, 50 kali atau bahkan diantara kalian yang
justru sepanjang hidup tinggal disana.
Ya, Pangalengan bukanlah satu tempat yang aneh buat kita. Ia
bahkan sudah dikenal oleh banyak orang dari luar Bandung, luar Jawa Barat,
bahkan luar pulau dan luar negeri.
Memang ini tempat tidaklah setenar Danau toba atau Bali,
tidak juga setenar Pangandaran atau Parang Tritis Yogyakarta.
Pangalengan hanya tempat wisata "kelas menengah ke bawah..?". Tak ada sesuatu yang luar biasa disini. Tak ada candi besar, tak ada pantai yang indah, takada ngarai seperti di Niagara atau di Swiss. Tidak, ini hanyalah suatu tempat yang biasa saja menurut kami. Tapi walau begitu kami tak pernah merasa bosan untuk berkunjung ke sini. Karena udaranya segar, karena hamparan kebon teh yang enak dipandang, menyegarkan penglihatan dan menyejukkan suasana. Juga pemandian air panas yang lumayan untuk membuat rileks otot-otot kita. Dst.
Tidak....kami ralat, kami tidak setuju Pangalengan disebut biasa-biasa saja.....ini adalah tempat yang indah mempesona. Tempat wisata semua golongan, kaya raya, para menak, maupun rakyat biasa yang tak punya harta benda.
"Banyak Tempat Gratis"
Ada banyak wahana wisata disini. Perkebunan teh ada dua, atau tiga lokasi…kiri Pangalengan dan kanan. Ada pemandangan situ, semacam danau buatan, ada wisata ilmiah yang mau belajar tentang pemanfaatan panas bumi untuk pembangkit tenaga listrik, ada peternakan sapi perah, ada produk susu murni dan produk turunannya seperti caramel susu dll. Ada juga wahana arung jeram dari saluran sungai Situ Cileunca. Ada wisata kuliner juga, bakar jagung, aneka masakan khas Sunda dll, kita juga bisa dimanjakan oleh ademnya udara disini, atau kalau beruntung oleh karena kabut yang sering menyelimuti perkebunan teh disini. Ada juga wisata sejarah, tempat dimakamkannya pembuat teropong bintang pertama di Indonesia, Boscha. Dll
Itulah mengapa setiap akhir pekan biasanya jalan menuju
Pangalengan ini selalu antri oleh kendaraan dari seluruh pelosok Negeri. Itulah
kenapa kalau hari sudah Sabtu atau Minggu maka kita harus terbiasa dengan
kemacetan menuju arah Pangalengan ini, Dayeuhkolot macet total, Banjaran macet
total, dan bahkan sepanjang jalan Bandung ke Pangalengan biasanya macet-macetan…di
sabtu atau minggu.
Namun beda dengan hari ini, jalan terasa milik kita berdua, dan yang lain ngontrak.
Bukan. Jalan begitu lengang, jalan sangat sepi, amat
sangat jarang ada kendaraan lewat di jalan yang terkenal berkelok-kelok ini. Sering
kita katakan, jalan ke Pangalengan ini sangat cocok bagi mereka yang punya hoby
bermotor, cornering dan sejenisnya. Namun sekali lagi, keselamatn berkendara
harus kita utamakan. Jangan lupakan itu.
Kalau jalan lancar seperti hari ini, Bandung-Pangalengan
mungkin hanya setengah jam…atau kurang bagi yang ngebut banaran.
Sesungguhnya tak setiap waktu kita kebut-kebutan di jalan
ini, selain karena bahaya di jalan umum, juga karena hendak menikmati setiap
kelokannya yang disertai aneka pemandangan kebun disekitarnya, dan yang utama
karena udaranya yang semakin ke atas semakin terasa sejuk.
Pangalengan you welcome here…!!
Selamat datang di Pangalengan.
Pangalengan, hal yang pertama terasa adalah kesejukannya,
mentari yang sering redup, dan kalau musim hujan harus selalu siap dengan mantel
atau jas anti air. Sepatu anti air dengan kantong keresek atau semacam itu.
Suasana yang masih pandemic ini, membuat Pangalengan seperti
sebuah kota mati. Hampir takada kegiatan ekonomi yang nampak dipermukaan
disini. Dimana-mana takada orang, hanya sedikit saja yang berkeliaran diluar
rumah, tak seperti biasanya di hari-hari yang normal.
Tujuan kita kali ini adalah hendak ke Talegong sana, ingin
mencari udara segar dari perkebunan Cukul, dan juga ingin pemandangan lembah
Cilaki di sekitar Talegong itu.
Jalan dari pertigaan Pangalengan kita belok kearah kanan,
melewati jalan yang mulai menurun. Menuju Situ Cileunca yang airnya terlihat
hijau kebiruan di hari yang cukup terik ini. Terik untuk ukuran Pangalengan
tentu beda dengan terik di Bekasi atau Sapan-Ciparay. Seterik-teriknya
Pangalengan, masihlah terasa angin yang berhembus terasa adem. Seadem perasaan
yang kini aku rasakan.
Jalan ini tak seperti biasanya, sepi sekali….benar-benar
serasa berada di jaman yang berbeda. Seperti kita masuk ke ruang dan waktu yang
lain. Aneh rasanya, Pangalengan bisa sepi seperti ini.
Karena sepi suasana disini, itu rupanya terkonversi kepada
perasaan kita juga. Karena suasana sepi, pemandangan yang indah itu, terasa
hambar. Seperti kita hidup dalam keterasingan…seperti hidup sendiri di bumi ini atau disuatu planet angkasa sana.
Rupanya hidup tanpa orang lain itu tak bahagia saudaraku...!. Hidup sepi itu tak
berarti. Seindahnya suatu tempat, jika hanya ada kamu sendiri atau dua orang
teman kamu….maka semua keindahan itu sungguh tak berarti kawan…!!!
Itulah mengapa kita mengambil pembelajaran dari situasi
Pandemi kali ini….ternyata kita semua adalah terkait satu dengan lainnya….anda
pedagang kaya, anda pebisnis maju, anda insinyur hebat, anda dokter juara….non
sen, tak berarti jika kita hidup sendiri tanpa ada orang lain.
Anda pedagang bisa kaya, karena ada jutaan manusia yang
hidup disekitar anda yang menjadi pelanggan anda.
Anda pengusaha sukses, punya banyak perusahaan atau pabrik, takada guna jika dunia ini jadi sepi seperti sekarang ini. Orderan tak ada, pesanan
berkurang, roda perusahaan ikut terganggu. Denyut ekonomi terganggu, semua kena
imbasnya.
Tak ada yang hebat rupanya. Kita semua hanyalah ada karena
kemurahan sesuatu yang ada diluar kita. Kita bahkan sangat bergantung oleh
kehadiran orang sesama kita. Tanpa mereka kita ini tak ada apa-apanya. Seperti orang
di era pra sejarah saja….zaman batu, takada yang bisa diperjual belikan. Tak ada
uang, takada barang, takada perputaran ekonomi seperti biasanya. Pasar-pasar
tutup, mall-mall dibatasi operasionalnya. Para pekerja dirumahkan, orang
kantoran bekerja dari rumah (work from home katanya)…akhirnya tidur, ke kasur ke dapur dan ke sumur. Rute
perjalanan juga hanya disekitar itu…ke ruang tamu, ke ruang belakang, ke halaman
depan dan balik lagi ke kamar tidur. Seperti mereka yang di karantina. Sama nasibnya
seperti mereka yang jadi tahanan kota, atau tahanan rumah (mungkin bukan seperti tahanan politik sih). Kemana-mana diperiksa
petugas dari Polri, TNI dan team kesehatan berbusana serba tertutup, berseragam
seperti petugas medis yang harus serba steril. Serba di balut oleh jas putih, sarung
tangan putih, pelindung wajah dll.
Seperti itu pula kami di cegat di tapal batas menuju
Talegong ini. Jalan dijaga petugas dari kepolisian dengan dua tenda dipinggir
jalan, satu tenda pengamanan, satu tenda dari team kesehatan.
Bapak mau kemana, nama bapak siapa, usia bapak berapa, apa
tujuan bapak. Berapa lama rencananya kesana…dan pertanyaan nomor KTP, alamat
dan juga golongan darah. Selain itu suhu tubuh kita juga diperiksa dengan suatu
alat scanner yang ditembakkan ke jidat kita. Semacam sinar begitu.
Jika panas tubuh melebihi 37 derajat celcius, atau berapa, maka kita akan diperiksa lebih lanjut karena tanda pertama orang terkena virus
adalah suhu tubuh yang tinggi, demam, batuk, sakit tenggorokan dst.
Kami ditanya mau kemana, kami menjawab hendak ke Talegong
neng, tujuannya apa..?, Cuma jalan-jalan neng. Boleh gak…ya boleh…
Mau berapa lama ke Talegongnya..?, pulang pergi neng, siang
ini juga balik lagi.
Oke…silahkan lanjut pak…!
Ya…terimakasih neng…terimakasih bu…
Selera wisata jadi hilang, semangat tadi yang menggebu
hendak ke bawah sana ke Talegong, hilang sudah ditelan pertanyaan-pertanyaan
yang sebenarnya biasa saja,… tapi itu membuat kami hilang gairah sudah. Hilang rencana
awal hendak ke sana.
Daripada suasana tidak menarik lagi, memang lebih baik kita
urungkan niat kita kali ini. Biarlah di lain hari kita sambung perjalanan kita
ini. Untuk saat ini sebaiknya kita balik kanan. Pulang.
Ke Cukul aku Kembali, kepada cintaku yang sesungguhnya (hmmm...)
Sebelum benar-benar kita pulang dengan tangan hampa….adalah
rugi jika kita buang kesempatan di hari ini. Kita masih bisa menikmati
keindahan Cukul saat ini, walau itu tadi, hanya ada 4 atau lima pengendara
disini yang sama kami sedang menikmati suasana udara pegunungan ini. Entahlah aku
tak yakin..yang jelas tak lebih dari tujuh orang, tak lebih dari 5 motor yang
ada disini.
Sama, terlihat dari raut mereka…..seperti hambar suasana
disini. Ternyata saya menemukan rumus lagi hari ini. Keindahan itu akan menjadi
semu, jika disana hanya ada kamu dan takada orang lain, takada pengunjung
lain, takada warung yang buka. Tak ada gelak tawa orang, takada suara orang
berbincang….sepi…terasa sepi hidup ini.
Jadi, keindahan suatu wahana wisata akan sia-sia jika
terlalu sepi tanpa ada orang lain yang bersama kita. Itu seperti kita
berkunjung ke kota mati…yang tanpa penduduk, yang semua orang hilang karena
entah kemana, atau karena diluluhlantakkan oleh hantaman bom atom, seperti
itulah kita disini…di Cukul ini.
Burungpun sepertinya merasa heran dengan suasana bumi kita
kali ini….tak ada burung, takada suara kehidupan disini…hanya angin kering
hampa yang bisu, yang bertiup dari satu bukit ke bukit didekatnya. Hanya seperti itu.
Namun memang kesalahanku tadi adalah, tak sempatnya aku
memotret suasana pemeriksaan tadi. Sehingga secara visual kami tak bisa
memberitahu teman sekalian. Harapan kami semoga teman semua bisa membayangkan
suasana disini saat ini. Yang sepi, yang takada kehidupan (sepi da...,bukan sepeda), yang hambar dan
yang sedikit aneh. Aneh dan asing.
Hidup kita tak berarti apa-apa tanpa ada kehidupan orang
lain. Oleh karena itu, untuk membuat hidup kita berarti, buatlah kehidupan
orang lain juga sama berartinya seperti kita. Karena nyatanya kita tak bisa
hidup berarti tanpa ada hidup orang lain yang sama berartinya seperti kita.
Persaudaraan sesama manusia hendaknya kita tingkatkan lagi,
jiwa tolong menolong rupanya pada dasarnya adalah demi untuk menolong diri kita
juga.
Benarlah rumus Tuhan…ibadah itu, berbuat baik itu, bukanlah
untuk keuntungan orang lain semata, bukan pula untuk keuntungan Tuhan, tapi lebih dari itu sesungguhnya itu
semua adalah demi keberuntungan diri kita sendiri.
“Kamu berbuat baik ke
orang lain, sesungguhnya pada dasarnya, kamu sedang berbuat baik untuk diri
kamu sendiri”.
“kamu merugikan orang
lain, sebenarnya pada saat itu kamu sedang merugikan diri kamu sendiri”
@ypidea 2020
Ittu da…!!
0 Komentar