Oleh: Ustadz Yusuf Suharto, Ketua Aswaja NU Center Jombang
Pertanyaan:
- Banyak orang yang bertanya dimana Allah, bahkan ada yang menjawab dengan Allah ada dimana-mana. Ustadz, bagaimana sebenarnya hakikat Allah mengenai tempat dan arah?
- Bagaimana dengan hadits al-Jariyah yang menyatakan bahwa Rasul ketika ditanya dimana Allah, beliau menjawab “Fi al-Sama”?
Khoirul Umam, Jombang
Jawaban:
Imam Syafi’i رحمه الله sebagaiman termaktub dalam kitab Ithaf al-Sadati al-Muttaqin, berkata :
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته
“Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36].
إنه تعالى كان ولا مكان
“Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat”
Maksudnya adalah bahwa Allah telah ada tanpa permulaan, disebut azali atau qadim, dan belum ada tempat seperti ‘Arasy, langit, bumi, dan segala makhluk lain nya. Allah ta’ala sudah sempurna dengan segala sifat-Nya yang azali sebelum ada apa pun selain-Nya. Sifat-sifat dzat Allah tidak lantas bertambah ketika Allah menciptakan makhluk-Nya;
فخلق الـمكان وهو على صفة الأزل
“Maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya”
Maksudnya, kemudian Allah menciptakan tempat, artinya bukan tempat Allah, tapi menciptakan makhluk-Nya. Imam Syafi’i رحمه الله berkata bahwa Allah tetap atas sifat azali-Nya, artinya sekalipun setelah ada makhluk-Nya, Allah tetap bersifat dengan sifat-sifat azali-Nya. Tidak ada sifat yang bertambah bagi Allah setelah adanya makluk-Nya. Karena sifat yang baru ada setelah adanya makhluk, itu juga termasuk makhluk.
كما كان قبل خلقه الـمكان
“Sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat”
Maksudnya, sebagaimana Allah ada sebelum adanya makhluk, dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Begitu juga Allah dan sifat-Nya setelah adanya makhluk, tidak dapat memberi pengaruh apa pun terhadap dzat dan sifat Allah, Allah maha sempurna jauh sebelum adanya makhluk.
لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته
“Tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”
Maksudnya, tidak boleh (mustahil) ada perubahan pada dzat dan sifat Allah. Tidak terjadi perubahan pada Allah bukan berarti itu kelemahan atau kekurangan Allah, tapi justru bila berubah, dapat menimbulkan kekurangan bagi Allah, karena Allah maha sempurna. Berubah dari sempurna tentu dapat menjadi kekurangan bagi-Nya. Setiap perubahan adalah makhluk, karena tidak ada yang dapat berubah dengan sendiri nya kecuali Allah yang menciptakan perubahan tersebut, sementara Allah adalah khaliq, bukan makhluk.
Maka dengan memahami perkataan Imam Syafi’i رحمه الله di atas, dapat pula kita pahami Aqidah Imam Asy-Syafi’i رحمه الله bahwa Imam Syafi’i رحمه الله meniadakan tempat bagi dzat Allah. Allah ada tanpa arah dan tempat, inilah hakikat aqidah ulama salaf, sangat bertolak-belakang dengan aqidah kaum mujassimah (yang menjisimkan Allah), dan kaum musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Mereka menduga ‘Arasy adalah tempat persemayaman Tuhan, padahal ‘Arasy juga makhluk-Nya, yang baru ada ketika diciptakan oleh-Nya. Lagipula sifat-sifat kesempurnaan Allah telah ada sebelum adanya ‘Arasy dan segala makhluk lain nya.
Terkait hadits riwayat Imam Muslim, tentang fi sama’, maka mesti dikembalikan pada ayat muhkamat bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk, dan karena itulah Allah tidak bertempat. Jadi takwil fi sama itu adalah Allah Maha Luhur.
Dalam sebuah haditnya riwayat Imam Bukhari Rasulullah bersabda:
كان الله ولم يكن شيء غيره
“Allah ada (wujud), dan tidak ada (belum ada) sesuatupun selainnya”
Hadits lain:
انت الظاهر فليس فوقك شيء وانت الباطن فليس دونك شيء
“Engkau dhahir, maka tidak ada sesuatu pun yang ada di atas-Mu, dan Engkau adalah bathin, maka tak ada sesuatu pun yang ada di bawah-Mu”
Demikian pula Sayyidina Ali yang mengatakan:
ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته لا مكانا لذاته
“Sesungguhnya Allah itu menciptakan arasy untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, bukan sebagai tempat (bersemayam) untuk dzat-Nya.
Untuk itu, dalam memahani sebuah hadits tidak bisa hanya sekali duduk, artinya harus membandingkan dengan al-Qur’an dan hadits lain yang bisa jadi bertentangan. Atau, dalam memahami hadits, harus memahami asbabl wurud, sebab-sebab hadits tersebut dikeluarkan.
Maha suci Allah dari Arah dan tempat.
0 Komentar