Pesan dari Zaman

Dunia ini benar-benar sudah tua. Sudah sangat renta dan rentan terhadap bencana atau malapetaka. Mungkin kira-kira seperti itu. 

Manusia semakin banyak, sementara luas bumi tak bertambah. Akibatnya adalah daya dukung alam semakin menurun. Hutan-hutan semakin sedikit, sudah digunduli dirambah menjadi pemukiman dan atau perkebunan. 

Sungai-sungai semakin kering, tak seperti dulu lagi. Jauh berubah. Alam dunia terasa semakin panas dan "hareudang". Flora dan fauna menjadi langka. Musim juga sudah berubah.

Dulu..dulu sekali, di kampung, dikampungku. Air nyusu, atau mata air itu bisa kita temukan di halaman-halaman tetangga kita. Apalagi kalau musim hujan halaman menjadi basah seperti ada pancuran. Kalau bikin sumur itu empat atau lima meter mungkin sudah berair. Gak usah pakai timba, cukup dengan gayur atau gayung pun sudah bisa terjangkau. 

Dulu, di selokan disawah itu dengan mudah kita bisa mencaru tutut, impun (teri sawah) dan juga kerang-kerangan (dalam bahasa sunda haremis). Cukup bawa sairan kita bisa mudah dapatkan teri-teri itu. Ikan gabus juga dapat kita cari di selokan-selokan atau di gomang-gomang yang ada. 

Begitu permai keadaan kampung saat waktu dulu. Nyaman dan menyenangkan. Burung-burung juga bebas liar dihalaman rumah-rumah, beterbangan kian kemari menyemarakkan kampungku tempo itu.

Kini, semua sudah berubah. Tak seperti dulu lagi. Alam, benar-benar telah berubah. Hutan beekurang, permukiman beetambah. Manusia semakin banyak, daya dukung alam semakin berkurang. Itulah realita yang kita alami di akhir zaman sekarang. Tentu, kita kadang rindu dengan masa lalu. Manusia juga begitu ramah, sederhana dan bertetangga seperti keluarga. Bahagia, indah nan sentosa. 

Sekarang ini rumah-rumah memang semakin bagus, jalan juga semakin baik. Gedung sekolah semakin kokoh, mesjid semakin indah. Secara fisik, ya sekarang lebih baik. Tapi secara psikologis rasa-rasanya tidak semakin baik. Setidaknya itu yang kita rasakan, yang penulis rasakan. 

Saat pulang ke kampung seperti sekarang, tentu saat-saat nostalgia menjadi terasa.

Kupu-kupu kuning, jutaan beterbangan dari belakang halaman rumah ke samping rumah, ke tanaman-tanaman yang tumbuh subur. Ke pohon pisang, ke pohon singkong, ke dedaunan talas, ke pohon-pohon yang ada, ke rerumputan yang menghijau. 

Ada jutaan, bermigrasi entah dari mana. Dari arah timur melewati kampungku, ke barat entah sampai dimana. 

Momen seperti itu kini tak kita temukan lagi. Sirna, punah, tak ada lagi.

Saat-saat sore begini, suara-suara ga'ang, suara-suara jangkrik, suara-suara tongeret, kodok dll...riuh di sekitar rumah dikampung kita. 

Suara-suara itu kini tak ditemukan lagi. Hilang dari kampung kita. Lenyap bersama kabut, bersama laron dan bersama burung-burung. Elang dan burung hantu. 

Babakan Bueuk juga sudah tak ada, bersama menghilangnya sang burung hantu yang tiap sore ada diujung kampung sana. Sudah berganti menjadi sindang mernah...atau apa.

Ya, semua kekayaan kreatur alam itu sudah lenyap dimakan waktu. Bersama kita yang tinggal bersama kenangan. Hanya bisa bercerita, di tepas, di halaman belakang.

Alam kita memang sudah tak seperti dulu, dulu dan dulu.

Hutan berkurang, ladang bertambah, resapan air semakin sedikit, sungai-sungai jadi mengering.

Orang sekarang tak tahu keindahan alam. Orang sekarang tak ngerti dongeng pertiwi.

Orang sekarang tak percaya gemah ripah loh jinawi, mereka tak memahaminya. 

Alam kita memang sudah tua, sudah tak semuda dulu lagi. Seperti kita yang kini sudah beranjak tua, tak semuda dulu lagi.

Begitulah saudara-saudara. Pesan-pesan dari alam. Yang tak bisa kita cegah lagi. Alam menuju penghabisannya. Mau tak mau, alam ini tak semakin muda, tetapi semakin renta.

Zaman berpuisi sudah berlalu, zaman berdongeng sudah berlalu. Kini berganti menjadi zaman berita bohong, berita hoax, tulisan-tulisan penuh caci maki, tulisan-tulisan saling menghina. 

Tak ada lagi puisi

Hilang bersama lenyapnya kearifan 

Tak ada lagi dongeng-dongeng, yang ada hanyalah cerita-cerita bohong, fitnah, adu domba dan kebencian antar manusia.

Hilang kearifan itu, hilang keluhuran budi pekerti itu, yang ada adalah pertengkaran, pertentangan, hinaan, cacian, hujatan dan kedunguan-kedunguan.

Alam sudah berubah, tak ada lagi pantun-pantun dan sajak-sajak

Yang ada adalah, cibiran, nyinyiran dan bullyan...

Hilang kata-kata indah penuh sanjungan, berganti jadi kalimat-kalimat penuh dosa dan kemaksiatan.

"Pembalakan liar...sedikit demi sedikit, lama-lama hilang itu satu bukit".

Alam sudah berubah, hilang sastra, hilang tata bahasa yang ada hanyalah tata kata. 

Beribu tulisan, berjuta ungkapan. Berhamburan di media-media. Yang sekolah, tang tidak sekolah, yang beragama, yang tak beragama...bercampur dalam gelanggang dunia maya.

Semua bisa menjadi penceramah, semua bisa jadi guru agama, asal jago bertutur kata, asal pandai merangkai peribahasa, mengadu ayat-ayat, auto ulama.

Ulama asli, ulama palsu.

Yang asli dikalahkan yang palsu-palsu. Dan anehnya, mirisnya. Mereka mendapatkan panggung itu dan didengar banyak kalangan.

Ulama terpinggirkan. Nyaris tergantikan.

Tentu, akibatnya. Umat menjadi seperti buih yang tak berisi dan tak berguna. Terombang-ambing di hempas dan digulung zaman. Hilang kearifan, sirna akal budi. Yang ada amarah, kebencian dan pertentangan diantara manusia.

Demikian saja, obrolan kita sore ini.

Salam santun

Salam Indonesia.


Sincerelly,

Sumedang, 30 Oktober 2020








Posting Komentar

0 Komentar