Sedikit Demi Sedikit, Lama-Lama Hilang itu Bukit.

Membangun Jawa Barat itu tidak cukup jika tidak dibangun juga semua provinsi lainnya.

Setiap provinsi harus maju semuanya. Indonesia harus sejahtera semuanya dari Sabang sampai Merauke.

Tugas setiap Gubernur dan kepala daerah untuk bekerja keras menggali potensi daerahnya masing-masing. 

Satu hal yang kita lupa, yaitu KOLABORASI, kurangi kompetisi. Semua provinsi ada dalam bingkai yang sama yakni NKRI. 

Contohnya dalam dunia ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Jika terjadi ketimpangan maka bisa berakibat buruk terhadap kesejahteraan sebagai satu bangsa secara keseluruhan.

Jika satu daerah terlalu terbelakang maka dampaknya bisa terasa oleh seluruh bangsa secara nasional bahkan internasional. Kemiskinan, kebodohan, dan ketidak adilan pada akhirnya bisa menjadi preseden buruk bagi kondisi negara secara keseluruhan. 

Keamanan, ketertiban, kenyamanan berbangsa jadi terganggu. Situasi politik juga paling terpengaruh. Apalagi dunia semakin terbuka, berita benar dan berita bohong bercampur aduk dalam dunia digital. 

Karenanya untuk bisa mengurangi hiruk pikuk, atau kekacauan dalam dunia maya, maka salah satu caranya adalah dengan pemerataan pendidikan, kesehatan, dan perekonomian.

Orang bodoh gampang ditipu/digiring hoax, tak mampu menganalisa informasi dengan baik karena dia tak tau banyak hal, dst. Karena pengetahuannya rendah maka dia kurang data dikepalanya. Data dikepala itu berguna untuk menimbang dan membandingkan dalam suatu proses analisa. Mereka tidak tahu apa itu metode analisa, mengurai masalah sehingga dapat diperoleh kesimpulan yang tepat. Memilih sikap dengan benar, dst. Orang lapar mudah disulut emosinya. Sehingga semua itu akan berakibat kontraproduktif bagi bangsa dan negara itu sendiri. 

Kesimpulan yang baik hanya akan didapat jika kita memiliki sampel data yang memadai. Kurangnya data ilmu dikepala mengakibatkan salahnya dalam membuat kesimpulan suatu persoalan. Maka pemerataan pendidikan menjadi sangat urgent dan vital. Budaya baca harus ditingkatkan

Negara-negara maju bisa stabil, karena masyarakatnya cerdas dan pintar-pintar. Tahu mana yang benar, mana yang tidak benar. Jepang misalnya. Masyarakat Jepang rata-rata suka membaca sehingga otak mereka berisi.

Indonesia juga harus mulai memacu masyarakatnya untuk jadi masyarakat pembaca. Kalau tidak maka kita akan terus diguncang berita bohong, adu domba dst. 

Jika pendidikan itu sudah merata dengan baik seperti Jepang, insyaAllah negara kita bisa lebih baik lagi keadaannya. Tentram dan damai.

Sebagai masyarakat kita juga harus mendidik diri kita masing-masing, membiasakan diri untuk rajin membaca. Minimal setiap hari harus tambah ilmu. 

Jangan mudah percaya tulisan di medsos yang isinya ujaran kebencian, tuduhan, hoax, fitnah, adu domba dan sejenis itu.

Cerna tulisan itu dengan nalar. Tapi itu tidak cukup jika kita tidak membekali diri dengan banyak ilmu pengetahuan.

Contoh mendasar misalnya...apa itu definisi ulama...?!?.

Apa itu definisi berita...?!?

Apa itu informasi...?

Apa itu ilmu pengetahuan...?

Apa dan bagaimana data dibuat...?

Jika ilmu kita mencukupi, maka kita bisa membedakan mana berita benar dan mana berita bohong. Bukan sebatas benar dan bohong, juga mana berita baik dan mana berita buruk. Bukan itu saja, kita juga bisa memilah mana berita positif dan mana berita negatif. Mana berita konstruktif dan mana berita destruktif.

Suatu berita, walaupun dia benar itu harus dapat dipilah-pilah. Apakah itu meruksak atau tidak. Apakah itu simalakama atau tidak. Apakah itu konstruktif atau destruktif dst, dst, dst.

Semua itu harus ditimbang-timbang dulu dengan bekal kaidah-kaidah pemberitaan, kaidah-kaidah informasi, dan juga kaidah-kaidah politik, keamanan, agama dst.

Suatu hal mungkin benar, tapi jika menurut agama itu terlarang disebarkan. Maka dia tak boleh disebarkan karena ada kaidah ushul fiqh yang membatasinya dst, dll. 

Contoh, ada orang yang meminta perlindungan kepada kita, karena dicari orang hendak disiksa atau dianiaya. Walaupun kita tahu dimana orang itu berada tapi kita tidak boleh memberitahukannya demi keselamatan semua.

Dalam dunia medsos pun adakalanya, suatu informasi tak boleh kita ambil mentah-mentah. Dia harus "diheumheum diutahkeun", diproses dan dianalisa dulu. Buat apa suatu berita disebarkan jika dia pada akhirnya bisa membahayakan kita semua...dll. Ada banyak pertimbangan.

Maka orang yang berilmu luas dan dalam itu kita sering menyebutnya sebagai orang yang bijak. Dia tidak grasa grusu, tidak asal, dst.

Sebaliknya, sifat orang yang dangkal. Kita menyebutnya sebagai orang yang tidak bijak.

Narasi orang yang berilmu itu enak dibaca, dan runut. Sebaliknya narasi orang yang kurang ilmu, selain tidak tertata, juga banyak bertentangan dengan teori-teori dan kaidah-kaidah, ambighu dan kontradiktif.

Tulisan ini contohnya. Ini hanya tulisan orang biasa, akan beda dengan tulisannya para ilmuwan atau profesor.

Oleh karena itu. Sebenarnya dari tulisan seseorang harusnya kita bisa menilai sejauh mana tulisan itu berguna atau tidak berguna. Berkualitas atau tidak. Positif atau negatif.

Bukan untuk menjadi assesor atau penilik. Tapi untuk menghindari kita dari informasi yang tidak berguna.

Walaupun tulisan itu terlihat acak, tapi kalau sekiranya berguna maka ambil baiknya buang buruknya.

Tampung ilmu itu supaya kita memiliki banyak informasi dan data. Sehingga jika kita dihadapkan pada satu pertanyaan yang sama, kita sudah memiliki sedikit gambarannya. 

Semakin kita berilmu semakin mudah kita membaca suatu fenomena. Semakin mudah kita membedakan, menilai dan membuat kesimpulan.

Jhon F Kenedy, Bung Karno, Bung Hatta dan tokoh-tokoh dunia. Mereka berguna karena mereka punya banyak ilmu. Kitapun sama, jika kita berilmu maka pendapat kitapun akan berguna dan tidak sia-sia.

Oleh karena itu kita sebenarnya harus bisa mengukur diri, sehingga kita bisa tahu dimana posisi kita seharusnya berada.

Jika kita bukan orang cendikiawan, janganlah pula sok tahu dengan mencibir, menghina, mencaci mereka-mereka yang berilmu dan berpengetahuan. Cukupkanlah diri kita sesuai posisi kita. Kita rakyat, berpijaklah sebagaimana seorang rakyat. Urusan negara sudah ada yang mengurusnya, jangan pula bikin onar sehingga pada akhirnya sebenarnya diri kita sendirilah yang akan dirugikan karena sikap pembangkangan kita kepada para pemimpin kita itu akan membuat suasana bangsa yang tidak kondusif untuk aktifitas kita sehari-hari.

Biarkan pemerintahan bekerja dengan program-programnya. Kita dukung dan jangan malah menyusahkannya. 

Jika kita punya niat yang baik, maka harus ingat dengan tujuan baik kita itu. Tujuan kita baik, maka perilaku kita juga harus baik-baik. Jangan mudah terprovokasi kelompok kiri yang kerjanya memang ingin membuat kegaduhan

Pemimpin sudah kita pilih melalui pemilu. Terlepas siapapun pemenangnya. Itulah pemimpin kita.

Dalam kontestasi politik itu kita harus KSATRIA. Siap kalah siap menang. Kalau kalah berjiwa besar, kalau menang jangan adigung adiguna. Kita bukan hendak konfrontasi, kita harusnya KOLABORASI. Bersatu padu, bahu membahu, saling menguatkan bukan saling menjatuhkan.

Bangsa kita punya budaya yang luhur, yang arif dan bijak. G O T O N G   R O Y O N G. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Kita sama-sama membangun bangsa ini. Sesuai kemampuan kita masing-masing.

"Salogak jadi saleuwi". Sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit. Atau, sedikit demi sedikit lama-lama hilanglah itu bukit. Artinya dengan bekerjasama, saling topang maka bukitpun bisa kita pindahkan. Dst.


Salam Indonesia Juara




Posting Komentar

0 Komentar