Situ Cibeureum

Photo Ilustrasi

Tepatnya empat belas atau 15 tahun yang lalu, penulis pernah ngabolang ke situ Cibeureum ini. Itupun dengan tidak disengaja. Hanya ketemu begitu saja.

Tanjakan Monteng waktu itu belumlah seperti sekarang ini. Belum ada jalan baru yang lewat bridge hill kamojang itu. Jalan masih belum sebagus sekarang, aspalnya ruksak khas jalan perdesaan di masa lalu, keriting, ruksak dan juga sempit.

Memang kalau bicara keasrian, jelas lebih asri lagi di masa itu. Rasa perkampungannya begitu kental. Nyaman dan tenang..."herang panon tiis ceuli", tentram ke hatinya.

Suara-suara alam terdengar disekitar. Jangkrik, katak, burung-burung, turaes dan tonggeret silih saut dari sela-sela pepohonan. 

Pagi itu, dari Bandung menuju entah kemana. Yang penting jalan-jalan. Ngabolang sendirian.

Sampailah di tanjakan itu, dan berhenti di sebuah warung yang ada ditengah persawahan sebelum tanjakan inti. 

Beberapa makanan kecil seperti pisang, pisang goreng, leupeut, dll tersaji dengan teh hangat sebagai intinya.

Nikmat tiada tara.

Suasananya juga begitu sederhana, hanya satu-satunya warung itu disana. Rumahpun tak ada. Hanya sawah dan orang berkebun. 

Sudah asyik kita ngobrol tentang segala hal. Akupun pamit kepada si pemilik warung. Nuhun bah..!!.

Tanjakan Monteng.

Tanjakan monteng tak jauh dari warung itu, itu adalah warung terakhir sebelum monteng. 

Awalnya datar, itu adalah tanah datar terakhir menuju monteng. Di kirinya adalah kebun-kebun dan di kanannya adalah pesawahan. Lalu belok kiri sedikit nanjak. Dan terus semakin nanjak dan lalu belok kanan yang juga semakin nanjak. Disitu motor mulai kepayahan dan tak kuat lagi menanjak karena salah gigi. Terpaksa turun dulu untuk menahan motor itu supaya tidak terjungkal ke jurang. 

Sesudah nanjak itu jalannya belok lagi secara patah ke arah kiri, kelokan yang patah seperti itu, bisa membuat kendaraan terbalik dan dlosor ke belakang. Sehingga aku memilih lurus dulu ke warung yang tepat di sudut kelokan itu barulah bisa melewati jalan itu.

Sungguh ngeri-ngeri sedap. Cukup membuat jantung berdebar kencang. Tanjakan monteng yang untuk menaklukannya butuh ekstra hati-hati dan nyali yang memadai.

Tak sudi aku lewat kesana lagi...begitu umpatanku saat itu. Pulang, pasti gak lewat sana lagi, lebih baik memutar via kota Garut saja.

Itu adalah pertama kalinya buat penulis jalan-jalan ke Kamojang.

Jadi, jalanpun masih meraba-raba. Untunglah tidak terjungkal juga. Kata orang disana itu sudah banyak memakan korban, makanya pemda Bandung membangun jalur baru via jembatan kuning itu. Sehingga sekarang bisa lebih mudah dilewati.

Ternyata Kamojang ini tak terlalu jauh dari Bandung. Ternyata ini dekat, aku berpikir saat itu. Sayang aksesnya seburuk itu. Begitulah sepanjang perjalanan itu penulis bicara kepada diri sendiri. Dan merenungi keindahan dan kesegaran alam di puncak pegunungan Kamojang.

Pemandangan di belakang sana cukup Indah. Cekungan Bandung yang terhampar bak lukisan alam yang tiada duanya. Terbayang jika ini adalah ribuan tahun yang lalu. Pastilah disini adalah sarang Harimau dan Bandungpun masih berupa danau. Danau Toba pasti kalah indah, begitu gumamku saat itu.

Setelah puas mengamati pemandangan disana, penulispun lanjut saja.

Dan ya, penulis sungguh terkejut. Ternyata diatas pegunungan ini ada kehidupan manusia juga, ada peradaban. Rumah-rumah berjejer rapih, gedung-gedung dan saluran pipa menghiasa sepanjang jalan disana. Itu seperti di Dumai Riau, kataku dalam hati. 

Penulispun berhenti lagi disebuah mesjid yang ada di komplek Kamojang itu. Teduh, segar, dan nyaman. Betah berlama disana.

Tapi, tentu perjalanan akan dilanjutkan. 

Waktu itu belum seperti sekarang. Belum musim selfi, belum musim touring dll. Masih terbatas, belum seheboh tahun-tahun sekarang ini.

Belum juga ada banyak wahana-wahana wisata seperti sekarang, hanya ada satu atau dua saja.

Oh, rupanya alam parahyangan ini indah sekali. Begitu ucap kesimpulanku dalam hati. Sungguh aku terlambat mengetahuinya, kalah oleh bangsa eropa yang sejak empat ratus tahun yang lalu menemukan permata-permata tersembunyi ini.

Begitulah penyesalanku saat itu yang merasa rugi waktu. Kenapa baru tahu sekarang...?. Kenapa tidak sejak kemarin-kemarin aku jadi pembolang...?!?

Sesal tiada tara, tapi apa daya. Tangan tak sampai.

Ya sudah motorkupun ku betot lagi secara perlahan demi menyusuri keindahan yang disajikan alam.

Situ Cibeureum

Di sebuah pertigaan, ada jalan tanah yang kekiri masuk ke area tersembunyi. Maka motorpun ku belokkan saja untuk menyusurinya.

Setiap ada jalan niscaya disitu ada jalan. Begitulah aku mengatakan pada diriku. 

Rupanya, jalan itu adalah jalan ke hutan, kesemak-semak yang tinggi yang jika ada binatang didalam sana kita tak mengetahuinya.

Tapi, jiwa patriotku adalah warisan dari leluhurku. Ea ea...

Jiwa petualanganku tak terkalahkan oleh rasa takut yang menggodaku untuk mengurungkan langkahku saat itu. Lanjut terus mengikuti jalan ke hutan itu.

Untung ketemu orang yang pulang dari hutan atau ladang. Sehingga memperkuat tekadku untuk lanjut.

Ya, ada persimpangan, tapi kita ikuti saja instink kita kemana baiknya melangkah. Ke kiri.

Eng ing eng....!!

Rupa-rupanya ini adalah tempat yang biasa dikunjungi manusia tertentu. Ada tempat perkemahan, ada telaga atau situ juga.

Rupanya ini adalah situ Cibeureum.

Situnya tidak terlalu luas, juga nampaknya terlihat dangkal saja. Tapi karena situ ini letaknya ditengah hutan (di tempat yang tersembunyi), menjadikan tempat ini cocok untuk para pecinta alam.

Ada beberapa pengunjung yang kiranya mereka adalah sudah bermalam disini. Ada tenda disana, ada pembakaran nasi dll.

Ya Tuhan. Betapa tak tahu apa-apanya diriku ini. Mereka sudah berkali-kali kesini, sudah sering kemping pula. Dan aku baru tahu hari ini. Itupun tanpa disengaja.

Berapa juta tempat lainkah yang belum aku ketahui...?!?

Mungkin ratusan...!! (Jadi inget iklan kue).


Demikiankah jalan jalan kita ke situ Cibeureum

Selamat mencoba...!!


#kondisi tahun 2020 belum diketahui. 





Posting Komentar

0 Komentar