Kembali, belakangan ini santer lagi pembicaraan tentang penggantian nama provinsi Jawa Barat menjadi nama yang lain. Alasannya karena Jawa Barat bukan lagi Jawa bagian barat. Jawa yang bagian barat itu Lebak, Pandeglang atau Banten. Lebih tepat disebut sebagai Jawa Tengah Barat atau lebih spesifiknya Jawa Tengah Barat Utara Selatan. Ya tengah, ya barat, ya utara ya selatan. Jadi memang itu bisa diperdebatkan.
Apalah arti sebuah nama. Mau Nama Sumatera bagian Jawa juga tidak apa-apa, toh Nama itu bebas. Atau mau Australia bagian Jawa, atau Asia Tenggara juga boleh.
Jadi sudahlah tak usah mempermasalahkan soal nama apalagi jika nama baru akan menimbulkan pertentangan juga. Yang waras yang mengalah. Intinya kita itu manusia yang hidup di bumi, yang kebetulan bumi itu bernama Pajajaran, atau Parahyangan atau Jawa bagian barat, atau Sunda Besar, atau Tarumanegara, atau Asia Tenggara dll.
Jadi tidak usah memperebutkan pepesan kosong. Cukup sudah dengan nama yang ada, kita hidup di pulau Jawa bagian barat. Di lempeng Great Sunda, di Asia Tenggara, di Nusantara, di Hindia Belanda atau di Indonesia. Semua itu nama yang pernah kita pakai atau bisa kita pakai untuk wilayah kita ini.
Kita ribut karena kita merasa bukan suku Jawa, nanti sebagian orang Jawa juga ribut karena mereka bukan orang Sunda. Kalau kita mungkin ributnya hanya sekedar di wilayah simposium atau rapat, kalau orang lain belum tentu begitu mungkin ke arah kekerasan fisik maupun kekerasan verbal dan bahkan demo-demo, petisi-petisi, bully, bahkan perang.
Walau kita tahu, sedunia juga tahu bahwa wilayah Jawa Barat ini memang tanah Sunda. Cirebon tanah Sunda, Indramayu tanah Sunda, Banten tanah Sunda, Jakarta tanah Sunda, bahkan batas tanah Sunda yang asli itu bukan sebatas Cirebon tapi sungai Cipamali diutara sampai sungai Srayu di selatan. Brebes dan Cilacap sesungguhnya adalah tanah Pajajaran, tanah leluhur orang Sunda.
Kalau saat ini Brebes, maupun Cilacap sudah dianggap bukan tanah Sunda, itukan klaim pihak lain. Kalau fakta sejarah yang bicara, maka batas wilayah tradisional orang Sunda yang sejak zaman Kerajaan Tarumanegara ya itu tadi dari Sungai Cipamali dan Srayu. Itu tanah aslinya tanah Pasundan.
Jika saat ini di Banten ada banyak keturunan Jawa, di Jakarta ada banyak keturunan Melayu, Bugis, Jawa, China, Arab, Batak, Korea, Jepang, Inggris, Madura, Papua, Timor, Aceh dll. Ya itukan pendatang, sama seperti orang Jawa, orang Sunda yang transmigrasi ke Sumatera, ke Kalimantan, Sulawesi dst.
Lampung atau Bengkulu misalnya kita orang Sunda atau Jawa harus terima nama disana adalah provinsi Lampung, bukan Jawa Utara atau Sunda Utara. Kita hidup di Solo, jangan protes kalau disana namanya adalah Solo dan bukan Sumedang. Sama Jawa Barat juga, apapun nama daerah itu, orang pendatang tak boleh protes.
Jawa Barat mau ganti jadi Tarumanegara, hak asasi orang Jawa Barat. Atau mau ganti jadi provinsi Asia Bagus, itu hak asasi orang Sunda. Orang Cirebon, orang Indramayu, orang Bekasi, tak punya hak untuk protes. Kalau tak setuju tinggal keluar dari sini sudah beres urusan. Pendatang itu memang begitu. Dia harus terima nama apapun dari daerah yang didatanginya.
Itu kalau kita bicara tentang hak dan kewajiban. Seperti itu. Kita pindah ke Papua, lalu kita menjadi mayoritas disana. Walaupun kita mayoritas disana kita wajib hormati bahwa tempat itu namanya adalah Papua. Jangan tolak keinginan mereka merubah Irian Barat jadi Papua, Ujung Pandang jadi Makassar, dll.
Kita juga bisa mengalah ketika sebagian wilayah Jawa Barat dulu berubah jadi provinsi Banten misalnya padahal mayoritas disana bukan suku Jawa yang menguasai Banten, tapi suku Sunda.
Kenapa ketika kita "dirugikan" harus terima tetapi ketika sebaliknya tidak diperkenankan atau di bully atau dikata-katai atau dikecam atau dimusuhi...?!?. Apakah seburuk itu arti sportifitas atau rasa keadilan...?!?.
Beberapa kali orang Jawa coba untuk mengusik tanah Sunda ini. Walikota Bogor Bima Arya mengusulkan provinsi Bogor Raya, SBY mengusulkan DKI diperluas hingga Cirebon (kenapa gak sekalian sampai Banyuwangi ya...?).
Sutioso mengusulkan provinsi Jakarta Raya hingga mencakup Bogor, Bekasi, Depok dan bahkan Cianjur.
Mereka bebas mengemukakan pendapatnya atau usul atas nama kekuasaan dst.
Tapi sebaliknya ketika orang Sunda yang ingin menggunakan namanya sendiri untuk tanah leluhurnya sendiri menjadi dikecam dan seakan tak pantas dilakukan...dst...?!.
Orang Sunda sudah terbiasa diberangus, dikucilkan, dinyinyiri, dibully, dihina, dicibir, dianggap tak ada, dipinggirkan, disingkirkan, diutak-atik, dst. Itu sudah biasa sehingga semua itu sudah dianggap lumrah, tak salah atau bahkan halal dan dibenarkan. Menjadi warga kelas dua di negara republik Indonesia sudah biasa kami terima.
Sosial, politik, ekonomi, budaya, semuanya kelas dua. Jalan kelas dua, pelabuhan kelas dua, nanti diurutan kedua atau urutan terakhir. Yang lain sudah melanglang buana kita baru boleh buka bandara kelas dunia. Yang lain sudah mengarungi benua, kita baru bikin pelabuhan Patimban.
Biarlah itu perlakuan Negara Bangsa dan pemerintahan kepada tanah yang bernama Pasundan.
Cirebon tanah Pajajaran, didirikan oleh putranya Prabu Siliwangi tapi kini tak diakui lagi sebagai tanah Sunda.
Jakarta, syahbandarnya kerajaan Pajajaran bernama Sunda Kalapa kini tak diakui lagi sebagai tanah Sunda.
Banten, syahbandar Pajajaran, belakangan didirikan kesultanan baru disana oleh cucunya Prabu Siliwangi dari putri Rarasantang. Kini tak diakui juga sebagai tanah Sunda, dan bahkan sudah disyahkan DPR dan Pemerintah Pusat menjadi provinsi sendiri. Itu sudah pasti karena kekuatan atau hegemoni politik tertentu. Selalu dibela, sebaliknya orang Sunda selalu dikorbankan.
Cirebon pernah santer minta pisah dan jadi provinsi sendiri.
Brebes dan Cilacap sudah sejak bersembunyi di ketiak Belanda di akuisisi menjadi "diluar tanah Sunda" masuk provinsi Jawa Tengah, (atau Jawa Barat timur).
Sunda kini semakin tersudutkan. Sunda semakin tak bisa berekspresi, menunjukkan jati diri wilayahnya sendiri. Sudah terlalu banyak pendatangnya.
Bahkan Pangandaran, para pendatang serasa tuan rumah dan orang Sunda menjadi seperti tamu.
Sungguh hal seperti itu adalah ada upaya terstrukur untuk semakin mempersempit tanah Pasundan ini.
Ya. Anda benar...saya merasa kecewa. Ya anda benar, saya merasa tersinggung.
Ya, saudara benar, saya tak terima. Ya saudara benar. Saya melawan.
Tambahkan teks |
Satu hari tanah Pajajaran harus eksis kembali. Itu adalah hak kami sebagai bangsa sunda. Batasnya sungai Serayu dan sungai Cipamali sampai ke Selat Sunda. Itu adalah warisan budaya Nusantara yang semua suku lain mengakuinya. Dan bangsa kita juga sudah sepakat untuk menjaga warisan budaya dari semua suku bangsa yang ada.
Cirebon, Banten dibangun bukan untuk melenyapkan tanah Sunda. Tujuan keduanya adalah sebagai sarana dakwah Islam. Bukan untuk melawan suku atau budaya Sunda.
Jika Sunan Gunung Djati masih ada, dan kita tanya beliau. Apa tujuan kerajaan Cirebon dan juga Banten. Niscaya beliau akan menjawab...DAKWAH. Bapak beliau keturunan Nabi SAW, ibu beliau putra raja Sunda yaitu Prabu Siliwangi. Sudah cukup sebagai jawaban. Dan Cirebon sendiri didirikan oleh uwanya, kakak ibunya yaitu raden Walangsungsang alias prabu Cakrabuana bin Prabu Siliwangi.
Jadi ketika dakwah Islam itu sudah tercapai, penduduk Sunda sudah muslim, sesungguhnya keberadaan Cirebon dan Banten sebagai kesultanan atau kerajaan sudah berakhir. Bekas wilayah keduanya tetap akan merupakan wilayah sesuai asalnya yakni tanah Pajajaran. Tak ada yang berubah, tanah itu tetap pada lokasinya, tak ada pergeseran. Dia tetap Pajajaran.
Jika sekarang Cirebon atau Banten mau berdiri sendiri, berpisah dari induk semangnya sebagai sama tanah Pajajaran, tujuannya apa...?!?, latar belakangnya apa...?!
Dakwah ...?,
Atau memecah belah tanah Sunda...?!?.
Ketika orang Sunda bicara tentang wilayah Sundanya, itu adalah hak dan kewajiban mereka sebagai pewarisnya. Menjaga budaya, identias dan rumahnya sendiri.
Bukan hanya tanah dan orang Sunda. Semua suku lainpun punya hak sama untuk mencintai daerahnya sendiri. Jawa mencintai suku budaya dan wilayahnya. Suku Bugis, suku Batak, Aceh dst.
Kita saling hormat. Dan harus tenggang rasa.
Tanah Sundapun sama. Kita punya hak dan juga kewajiban untuk membina wilayah budayanya supaya tetap eksis seperti asalnya.
Semua suku bangsa datang ke tanah Sunda, yang paling banyak dan paling dekat adalah dari suku Jawa. Tapi mereka tak boleh mengklaim daerah Sunda ini menjadi daerah yang keluar dari tanah Sunda. Mereka harus sadar diri, tahu diri dan lebih dari itu menghargai tanah Pasundan ini. Dan ikut menjaga wilayah yang didiaminya sekarang. Bukan malah ngerecokin dst.
Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.
Peribasa minang itu, berlaku juga di sini. Di tatar Sunda.
Jadi ketika kita menuntut pengembalian Nama dan wilayah Pasundan itu adalah bentuk dari pengamalan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Siapa yang menentang perjuangan orang Sunda terhadap identitas suku, budaya dan wilayahnya maka dia melawan Pancasila dan UUD 45 beserta slogan Bhineka Tunggal Ika itu sendiri.
Tanah ini, tanah Pajajaran. Tanah Pasundan. Tanah Tarumanegara.
Batasnya jelas. Wilayahnya jelas. Tidak remang-remang. Dan demi NKRI, kami menghendaki agar wilayah adat Sunda itu bisa di lestarikan kembali demi sejarah dan demi hak yang sama sebagai satu elemen bangsa. Tak ada yang lebih tinggi, tak ada yang lebih rendah.
Berdiri sama tinggi dengan segala hak-hak adat, suku budayanya. Duduk sama rendah beserta kewajiban-kewajibannya berbangsa bernegara.
Salam persamaan.
With regard
Bandung, 29 Oktober 2020
0 Komentar