Jabar ngabret.
Pembangunan di Jawa Barat harus benar-benar ngabret. Harus ada target pembangunan untuk 3 tahun kedepan, 2020-2023, 2023-2028.
Waktu benar-benar singkat. Tak terasa masa periode kepemimpinan kang Emil sudah 2 tahunan. Hanya rersisa 3 tahun lagi. Sisa 3 tahun ini harus benar-benar dicapai hasil pembangunan yang nyata, realistis serta optimis.
Harus ada sesuatu yang dibangun. Yang tidak bergantung kepada pihak lain, tidak menunggu bantuan pemerintah pusat, swasta dll yang itu tidak pasti. Selain program yang sifatnya ajuan, juga harus punya program provinsi tersendiri dengan dana sendiri. Kita tahu, seperti apa sulitnya provinsi Jawa Barat untuk mendapat dana dari pusat. Program-program yang sudah lamapun tak terealisasi, seperti flyover kopo, buahbatu, kiaracondong, underpass cibiru dll.
Lebih baik kita konsentrasi kepada program pembangunan yang bisa dilakukan sendiri oleh kepemimpinan gubernur. Seperti dulu di era kang Aher, bisa membangun lintas Jabar Selatan, membangun bandara dan inisiasi/realisasi pelabuhan Patimban. Stadion GBLA bersama pak Dada Rosada (walikota Bandung saat itu), Stadion Patriot Bekasi, Stadion Pakansari Bogor, Lingkar Nagreg dan Lingkar Gentong bersama pemerintah pusat, Tol Soroja bersama kang Emil dan pak Dadang Naser, Toll Cisumdawu, bocimi, dll.
Di era kang Emil juga harus bisa lebih dari itu. Beberapa jalur lanjutan harus bisa dibangun. Mulai saja dulu, pembebasan lahan saja dulu, dengan skema multiyears atau kombinasi dll. Yang penting harus ada pergerakan. Tapi tetap serius, jangan terlalu mengandalkan program angkutan massal yang akhirnya juga tak terealisasi. Transfortasi yang paling fleksibel itu ya jalan raya. Bisa berhenti dimana dan kemana pun. Apalagi jika kita bandingkan dengan kota-kota lain atau provinsi lain. Jaringan jalan raya di Jawa Barat ini masih tertinggal jauh. Macet dimana-mana, jalan memutar-mutar, pertanda masih minimnya sarana prasarana jalan. Coba kita ke Jawa Tengah atau Jawa Timur, kota-kota kecilpun jalannya lebar dan koneksi antar kota juga tersedia. Atau bahkan ke Medan, Sumatera Utara dll.
Jawa Barat ini kumuh. Semrawut dan kurang progresif. Memang kalau perlu harus punya team lobby ke pemerintah pusat dan juga hubungan ke dunia usaha dan dunia internasional. Harus menerobos ke akses pendanaan. Bahkan mungkin bisa dicari model pendanaan baru, sukuk, surat berharga dst. Intinya program inprastruktur ini harus diutamakan karena selainn Jawa Barat ini masih kalah dengan Jateng dan Jatim juga secara Nasional Indonesia ini (yang terutama direfresentasikan oleh kawasan industri yang 60% di jawa barat), posisinya masih di bawah Thailand, Malaysia, Singapura dan bahkan Vietnam dan Brunei. Jika saja infrastruktur di Jawa Barat ini ditingkatkan, itu akan secara signifikan mengatrol posisi Indonesia juga di Asean. Kenyataan itu seharusnya bisa menjadi salah satu kartu trup bagi pemprov Jabar dalam meminta pendanaan ke pemerintah pusat, karena demi peningkatan daya saing Nasional juga. Infrastruktur di Jawa Barat meningkat baik, dapat secara signifikan menaikkan daya saing Nasional.
Berikut saya lampirkan beberapa proyek jalan yang mesti dikerjakan di Jawa Barat ini.
1. Jalan tembus dari pintu toll Rancakalong/Pamulihan ke jalur jalan Simpang-Cicalengka. Itu sekitar 1 km saja tapi sangat penting untuk dibangun, mempersingkat, memperlancar arus dari Sumedang via toll yang menuju arah Cicalengka Garut dan sebaliknya, sehingga tidak perlu memutar dulu via Cileunyi. Apalagi jalur yang diliwati juga ada tanah provinsi yakni di tanah Universitas Winayamukti, dan selanjutnya juga masih berupa kebun-kebun. Hanya satu kilometer saja apakah tidak mampu...?!?. Memang semua harus digarap secara paralel. Karena waktu terus berjalan, masalah kedepan juga akan terus bertambah, kemacetan, crowded perumahan penduduk dll. Yang penting pembebasan, soal dana pembangunan jalan bisa nodong sana sini. Itu kan bisa menguntungkan perusahaan-perusahaan yang ada di sepanjang jalur jalan Pamulihan-Cicalengka, bisa dimintakan peran serta mereka. Sahuut sabeunyeureun, atau sasieur sabeunyeureun. Dengan gotong royong menjadi modal utama rakyat Jawa Barat.
2. Jalan tembus dari Situraja sd Majalengka via lingkar utara bendungan Jatigede. Jabar harus punya daya tawar kuat kepada pusat, jangan hanya memberi lahan untuk bendungan untuk kepentingan listrik Nasional Jawa Bali, tapi Jawa Barat sendiri tidak mendapat imbalan langsung sebagai upah pengorbanannya (semacam tukar guling, ada imbal balik, berapa rebu hektar lahan warga terusir sehingga perlu diganti dengan membuka wilayah baru).
Harus rada galak seperti mantan Gubernur pak Ali Sadikin. Jalan ini berguna untuk menghidupkan poros Sumedang-Majalengka yang selama ini harus memutar via Kadipaten. Sekaligus membuka jalur yang selama ini terisolir di perbatasan kedua kabupaten tersebut. Berguna juga sebagai jalur alternatif Bandung-Sumedang-Majalengka-Cirebon-Kuningan via Rajagaluh-Sumber.
Kota kabupaten Majalengka yang sepi lantaran tidak dilewati jalur yang hidup, seperti terkesan kota mati karena lokasinya yang menjorok ke pedalaman. Dengan dibuatnya jalur pintas menuju Sumedang maka bisa mengurangi kesan kota pojok itu, jalur ini juga sebagai antisipasi jika jalur jalan Nasional yang lewat Kadipaten semakin lama tentu akan semakin padat kendaraan karena adanya Kertajati dan kawasan Rebana.
3. Toll Sumedang-Patimban via Tanjungkerta. Terusan dari rencana Toll Patimban-Cipali. Jalur ini cukup landai dan memperpendek jarak antara Bandung-Patimban via timur (Sumedang). Disambungkan ke toll Cisumdawu dari pintu kota Sumedang. Jalur ini juga akan membuka wilayah Tanjungkerta yang terkesan tersembunyi dari peradaban. Tapi lebih dari itu, jalur toll ini akan memangkas jarak tempuh dari kota Bandung menuju pelabuhan Patimban. Jaraknya juga tidak terlalu jauh, sekira 25-30 km saja jarak dari kota Sumedang sampai di toll Cipali.
Dengan toll ini juga bisa membuat jalur baru dari Subang atau dari arah Jakarta dan Pantura menuju ke Sumedang, Garut, Tasikmalaya, maupun dari Bandung Timur.
Jabar memang kudu ngabret sengabret-ngabretnya.
4. Jalan bypass Cicalengka-Padalarang via Majalaya, Baleendah, Kopo Katapang, Baros. Sebab tak semua kendaraan bisa masuk toll. Jalur Timur-Barat lintas cekungan Bandung ini hanya mengandalkan satu jalan raya yaitu via jalan pos Cileunyi Padalarang yang eksisting. Harusnya jalur jalan Nasional yang berasal dari arah timur Bandung dari Garut dan dari Cirebon terpisah (sendiri-sendiri) ketika memasuki cekungan Bandung, begitupun jalur dari arah barat, jalan nasional yang datang dari Purwakarta jangan menyatu dengan jalan yang dari arah Cianjur.
Datang dua jalan maka masuk ke cekungan Bandung juga harusnya dua jalan supaya tidak terjadi penumpukan arus kendaraan (bottle neck di Cileunyi-Cibiru dan Cibeureum-Padalarang). Dari Tagog apu harus dibuat by pass menuju selatan Padalarang tembus ke daerah selatan Cimahi, Kopo, Rancamanyar hingga ke timur sampai Nagrak atau Nagreg. Ini jangan dibiarkan terus. Harus ada upaya serius dan heroik dari pemprov Jabar untuk merealisasikan jalur tersebut.
Pintu masuk ke wilayah Bandung itu harus dibuka dari arah yang lain. Jalur ini tidak boleh dipandang sebagai jalan lokal kabupaten Bandung semata, tapi adalah jalan Nasional yang menyambungkan jalan dari arah Tasikmalaya /Garut (Jawa tengah Selatan) menuju arah Purwakarta dan Jakarta. Sementara jalur pos eksisting yang lewat kota Bandung itu adalah jalur jalan Nasional sebagai penghubung jalur lain antara Jakarta-Cianjur dan Bandung menuju ke Sumedang dan Cirebon ke pantura Jawa Tengah.
Cara pandangnya harus seperti itu sehingga pembukaan jalur baru tersebut bisa dipandang sebagai jalur selatan yang berbeda dengan jalur lainnya. Dan jalan yang lewat jalur kota Bandung adalah merupakan jalur tengah. Dua jalur jalan Nasional yang tentu berbeda. Jawa Barat itu jangan seperti paket hemat atau harga diskon, semua hal serba minimalis, jalanpun digabung-gabung, itu seakan satu jalur diantara dua jalur tersebut terputus alias menghilang, karena yang tadinya dua jalur menyatu menjadi satu jalur semenjak memasuki cekungan Bandung.
Sementara lebar jalan Cileunyi-Cibiru tersebut tidak memadai. Harusnya jalur Cibiru-Cileunyi itu merupakan gabungan dari jalan Soekarno Hatta dan AH Nasution di Bandung atau gabungan Jalan Jatinangor dan Rancaekek di arah Sumedang dan Garut. Sehingga lebarnya harusnya dua kali lebih lebar dari jalan Rancaekek, bahkan lebih karena ada tambahan beban lalu lintas dari wilayah dan warga setempat.
Satupun tidak, jalur baru tidak, pelebaran juga tidak. Jelaslah akan terjadi kemacetan parah disepanjang jalur tersebut. Baik arah Padalarang maupun arah Cileunyi.
Jadi solusi terbaik adalah membangun jalur baru, yang melewati wilayah selatan cekungan Bandung (Padalarang-Baros-Kopo Katapang-Rancamanyar-Baleendah-Ciparay-Nagreg). Karena dengan begitu bisa menjadi multiflier efect. Pengembangan wilayah selatan Bandung, persebaran kemajuan dan sekaligus meningkatkan akses transportasi yang lebih merata.
5. Toll Bandung-Pangalengan-Rancabuaya. Jalur ini adalah jalur terdekat dan paling sentral yang menuju pantai selatan Jawa Barat yang menuju kota Bandung. Sehingga jalan ini bisa mempercepat kemajuan di Jalur Lintas Jabar Selatan.
Jarak dari kecamatan Rancabuaya ke Cidaun cukup dekat, dan dari Rancabuaya ke Pameungpeuk juga dekat, sehingga dengan toll ini sekaligus mendekatkan kedua wilayah dari kiri dan kanan Rancabuaya tersebut.
Wilayah Jabar Selatan benar-benar butuh pintu keluar masuk kendaraan yang memadai, terutama dari arah kota Bandung sebagai kota Besar, sebagai ibukota Jawa Barat. Jalan Toll dianggap paling baik karena bisa memperlancar arus sekaligus tetap sebagai sabuk pengaman untuk jalur hutan yang dilewatinya supaya tetap lestari. Kalau jalan raya biasanya akan diikuti oleh pembukaan lahan di sepanjang jalur tersebut secara tak terkendali. Sehingga dengan toll ini maka kota Bandung bisa menjadi pasar penting dari hasil laut dan pertanian masyarakat Jabar Selatan. Dan itu akan sangat baik bagi peningkatan konsumsi ikan (ikan baik untuk kecerdasan) dan juga sekaligus meningkatkan kesejahteraan di dua wilayah, atau diseluruh Jawa Barat. Karena dengan jalur ini juga bisa mempermudah akses wisata dan perekonomian ke Jabar Selatan.
6. Jalur Bandung-Cililin via Kopo langsung ke Cililin. Dari pintu toll Taman Kopo Indah yang ke arah barat ke jalan Cipatik itu hanya 2 km. Dilanjut dengan perlebaran jalur jalan hingga tembus ke Cililin. Membuka daerah wisata, pertanian di wilayah tersebut hingga ke Gununghalu, Rongga dan ke Cianjur Selatan. (Wisata danau Cililin, curug Malela dll).
Bisa juga jalur tersebut dipilih untuk toll Bandung-Gunung Padang-Ujung Genteng Ciletuh dan ke Pelabuhan Ratu (Jalur Back Bone), bisa via Soreang atau via Kutawaringin.
Jalur dari Bandung ke seluruh wilayah Jabar Selatan benar-benar harus bisa dibuka. Toll ke Jabar Selatan bagian tengah via Pangalengan-Rancabuaya, timur via Tasikmalaya-Pangandaran dan barat via Cililin-UjungGenteng. Sehingga wilayah Jabar benar-benar bisa terkoneksi dengan baik dan akan tumbuh semakin maju, kuat dari seluruh arah mata angin.
7. Jalan tembus Cipatat ke Cikubang. Sekira 6 km saja. Jalur ini bisa memperpendek jarak antara Cianjur-Purwakarta. 6 km yang sangat berarti besar, sehingga bisa juga menjadi jalur substitusi jika salah satu jalan nasional yang ke arah Bandung macet, baik dari arah Purwakarta dan terutama dari arah Cianjur. Punya pilihan jalan. Jangan terlalu bergantung pada rencana pembangunan jalan toll, sebab jalur ini juga memang harus dibuka dengan jalan konvensional. Itu akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar jalan yang dilalui. Sekaligus memantapkan jaringan jalan di koridor tersebut.
Kendaraan dari arah Cianjur yang menuju Purwakarta juga tidak harus memutar ke Padalarang, tapi bisa langsung via jalan tembus ini. Dan jaraknya juga dekat, gak perlu dana yang selangit. Dan pula, untuk pembangunannya bisa meminta dana dari company social responsibility dari perusahaan-perusahaan di sekitar jalur tersebut. Karena dengan pembukaan jalan ini akan langsung meningkatkan daya saing perusahaan-perusahaan disana, berkurang cost, mempercepat distribusi produk, meningkatkan prestise/nama baik, melambungkan asset, dst.
8. Jalan di ibukota Jawa Barat juga perlu penambahan jalur. Antara lain dari bundaran Cibiru ke stasiun Kereta Cepat via GBLA, Jangan terlalu mengandalkan/menunggu uluran pemerintah pusat, harus punya inisiatif dari pemprov sendiri. Istilahnya kudu nekad, susuruduk, pokoknya maju terus buka jalan sebanyak-banyaknya karena memang Bandung dan Jawa Barat ini kekurangan jalan raya. Terkenal paling macet setelah Jakarta dsk. Mumpung di sekitar GBLA itu juga masih banyak berupa persawahan sehingga tentu akan lebih murah dan lebih mudah dalam pembebasan lahannya. Jalan Cibiru ke Stasiun KCIC ini juga sekaligus sebagai akses menuju stadion GBLA yang masih sangat MINIM.
Jangan nunggu-nunggu, nanti lama-lama kawasan tersebut keburu dipenuhi perumahan dan kawasan SOR GBLA jadi semakin terkurung tanpa akses yang memadai. Jalur ke kawasan tersebut tak cukup hanya dengan mengandalkan pintu toll. Jalur dari toll juga jangan memaksakan lewat perumahan yang ada, bisa dibelokkan ke sekitarnya yang masih berupa persawahan. Kalau saling menunggu tentu jalur ini semakin terkatung-katung. Sarana transfortasi, termasuk jalan, sebenarnya adalah masalah paling lemah yang ada di provinsi Jawa Barat ini. Dan karenanya perlu penanganan atau tindakan nyata yang sifatnya mendesak. Peralihan ke moda tranfortasi massal itu adalah tahap berikutnya setelah koneksi jalan raya memadai dan mantap.
Untuk saat ini yang paling urgent adalah jalan raya dan jalan toll, kemudian baru sarana olahraga, pengembangan wisata, dll.
Selain itu jalan ini menjadi alternatif dari bundaran Cibiru ke jalur lingkar luar Bandung baik ke arah Cileunyi maupun ke arah Ciwastra.
Selanjutnya, jalur GBLA-Gedebage via Mesjid terapung sepanjang rel Kereta Api hingga ke Cikudapateuh/Kosambi via Kiaracondong dan Laswi.
Memang di jalur ini harus banyak pembebasan lahan, tapi tak ada pilihan lain sebenarnya karena kawasan Bandung Raya memang masih sangat kekurangan fasilitas jalan raya atau fasilitas umum/ruang terbuka. Jalan terbesar hanyalah bypass Soekarno Hatta, itu 4x2 lajur.
Bandingkan dengan kota-kota besar lain, Surabaya misalnya. Disana jalan begitu lebar, mulus dan sangat nyaman. Atau Semarang, atau kota-kota lainnya. Bandung sebagsi ibukota Jawa Barat kalah oleh kota-kota lain, bahkan dibanding dengan kota-kota fi luar pulau Jawa. Jalan di Bandung ini masih kalah dari Medan misalnya, Pekanbaru, Palembang, dll.
Sekali lagi, jangan kita terlalu berharap kepada moda transportasi massal semacam LRT atau MRT. Karena diyakini, hanya setelah lebaran Kuda saja, baru akan ada bantuan dari pemerintah pusat untuk hal tersebut. (Terlalu pesimis, sekaligus kritik ke pemerintah pusat).
Pemerintahan di Jawa Barat harus punya orang dalam dulu di pemerintahan pusat, baru kita bisa mendapat jatah pembangunan. Karena memang begitu yang dilakukan provinsi lain. Dan itu harus orang kuat yang berani dan galak. Kalau tidak galak, tidak berani, ya sudah gak bakalan di gubris mereka, jawabannya hanya sebatas iya dan iya saja.
Seharusnya memang tak perlu harus begitu, tapi itulah Indonesia. Kalau dikiranya masih lembek gak akan terdengar.
Harus keras dan juga lantang. Terpaksa memang, kita harus menyesuaikan dengan kondisi yang demikian itu. Kalau tidak demikian, selamanya Jawa Barat akan terdengar asing ditelinga mereka, tak terdengar oleh pengurus negara di pusat sana.
Ya, kita harus bisa membuat mereka terasa akrab ke kita, merasa dekat. Sehingga mereka akan mulai mencintai Jawa Barat sebagaimana mereka mencintai daerah-daerah lainnya.
Peribasa "tak kenal maka tak sayang" mau tak mau harus diterapkan juga dalam hubungan daerah dan pusat. Harus lebih sering nongkrong di Istana dan di kantor-kantor kementrian terkait. Kirim martabak dan oleh-oleh lainnya. Ya memang harus pendekatan persuasif begitu mungkin. Dari hati ke hati, mungkin.
Sekarang, harus menerapkan pendekatan seperti itu. Apalagi jarak Bandung ke Jakarta itu hanya 2 atau tiga jam saja dengan bus atau kereta api. Jadi setiap haripun masih bisa pulang pergi. Itu harusnya jadi keunggulan Jawa Barat. Tapi selama puluhan tahun, keunggulan tersebut seakan tak berguna. Apalagi, tak lama lagi ibukota itu katanya akan pindah sehingga sekarang ini adalah kesempatan terakhir untuk bisa berdekat-dekatan dengan pemerintah pusat. Kalau sudah pindah, mungkin Jawa Barat akan dianggap seperti provinsi asing. Bisa jadi nanti, mereka akan bertanya, ini darimana ya...?!?.
Dekat saja dianggap asing (lokasi masih sesama di tanah Pajajaran) apalagi jauh, kita mungkin akan dipandang sebagai dari luar negeri. Naudzubillaahi min dzaalik.
9. Jalur Cileunyi-Cimahi via pinggir toll Padaleunyi. Toll Padaleunyi ini lama-lama akan berada tepat di tengah metropolitan Bandung, sehingga sejak sekarang harus dibuka jalur jalan raya di sepanjang sisi toll tersebut. Terutama sisi utara toll atau selatan, untuk melindungi persawahan yang mayoritas berada di sisi selatan toll (daerah Ciwastra Gedebage). Karena tentu saja sawah di cekungan Bandung juga harus tetap di pelihara (harus ada sawah abadi), jangan semua dialih fungsikan, demi keseimbangan alam dan sebagai bagian dari program ketahanan pangan. Jangan sampai suatu satu program pembangunan menjadi kontradiktif terhadap program pembangunan lainnya, semisal pertanian dll. Semua harus tetapseimbang dan sejalan.
Percuma kota terbangun, tapi mata air/hutan dan sawah tak ada karena alih fungsi misalnya, sehingga ujung-ujungnya mata air binasa, makanan takada, kotapun merana.
10. Jalan toll Bandung ke Lembang via lingkar utara Bandung. Ini memang mimpi besar. Tapi itu adalah kebutuhan real bagi Bandung dan Jawa Barat. Jalur ini bisa disinkronkan dengan jalur lingkar utara Bandung dan dengan toll BIUTR yang tak tahu kabar kelanjutannya itu.
Ke arah selatan juga harus dicari penyelesaian. Jalan Cibaduyut menuju Rancamanyar terus ke Banjaran itu jalur yang super macet. Pemerintah harus hadir untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Mau tidak mau harus dibuat jalan baru yang menembus Banjaran-Rancamanyar-Bypass Bandung. Berdempet dengan jalur ini bisa sekaligus untuk tol elevated yang menuju ke Pangalengan Rancabuaya. Ya tentu saja ini adalah terlalu ambisius, atau terlalu berkhayal. Tapi tak ada cara lain, pemerintah harus cari solusinya. Cobalah minta pinjaman ke RRC. Jangan takut di bully karena itu semua demi kelancaran transportasi di cekungan Bandung ini, yang sudah semakin ruwet/macet. Kalau dibiarkan berlarut-larut kota akan semakin padat, masalah akan tambah pelik.
RRC sedang kelebihan dana, mereka surplus uang sehingga mereka sangat agresif melakulan investasi ke luar negerinya. Barangkali saja mereka bisa bantu, apalagi ini terkait proyek KCIC yang terksit dengan bisnis mereka, supaya memudahkan akses juga menuju stasiun Kereta Cepat Jakarta Bandung tersebut. (Ya, memang harus dicari pendanaan).
11. Kereta wisata Garut-Kamojang-Pangalengan-Rancabali. Jalur ini merupakan kelanjutan dari pembukaan toll Bandung-Pangalengan-Rancabuaya. Wilayah pegunungan Selatan Bandung dan Garut ini harus dikembangkan menjadi kawasan wisata modern terpadu yang tetap menjaga keasriannya. Dengan jalur kereta wisata maka wisatawan cukup parkir di Pangalengan atau di Garut kemudian bisa menjelajahi tempat-tempat wisata di daerah yang terlewati. Tanpa harus bulak balik ke Bandung dan mutar lagi ke Ciwidey dan sebaliknya.
Jarak Pangalengan-Rancabali itu sebenarnya dekat, tapi disana adalah daerah konservasi (harus tetap konservasi), sehingga jangan sampai dibangun jalan raya sebab pembukaan jalan raya akan cepat meruksak daerah hutan disana.
Dengan kereta wisatalah yang paling cocok.
Begitupula jarak Pangalengan Kertasarie Kamojang Samarang Garut, sebenarnya lebih dekat jika dibanding memutar via bawah (cekungan Bandung). Kereta wisata ini akan sangat indah karena melewati pemandangan hutan yang asri dan sejuk.
12. Sirkuit si Jalak Harupat. Kawasan si Jalak Harupat harus segera di patok untuk dijadikan kawasan wisata olahraga. Dan sirkuit bertaraf internasional menjadi salah satu hal yang bisa mendatangkan wisatawan dunia.
Memang sudah ada sirkuit Mandalika. Tapi itu bukan penghalang bagi Jawa Barat untuk membangun juga.
Selain motogp masih ada WSBK, dan formula one. Tetapi tidak tertutup sama sekali motogp bisa dua seri di Indonesia karena penduduk Indonesia termasuk penggemar motogp terbesar di dunia.
Dan bahwa ada kemungkinan motogp yang di Mandalika itu juga tak akan seramai jika dibandingkan sirkuit yang dibangun di wilayah Bandung, karena penonton di Jawa Barat dan DKI tentu lebih banyak dibanding di sana. View sekitar Si Jalak Harupat juga sangat Indah, lebih sejuk dan bisa langsung terlihat gedung-gedung di kota Bandung dan sekaligus pegunungan di Soreang. Para penonton juga bisa lanjut ke kawasan wisata Ciwidey untuk pemandangan indah dan berendam air panas.
13. Jalur jalan Limbangan Wado-Kertajati. Jalur ini untuk mempermudah akses masyarakat Garut yang menuju bandara Kertajati.
Saat ini jalur tersebut memang sudah ada tapi perlu dibuat jalur yang lebih lebar dan lebih landai agar kendaraan bus dan truk besar bisa lewat situ.
Jalur ini sangat potensial karena bisa menjadi jalur yang hidup, menghubungkan utara dan selatan Jawa Barat. Dari Cirebon dan Indramayu atau Subang yang menuju ke Garut dan sebaliknya, bisa lewat jalur tersebut.
Jika jalur ini bisa dibuka maka pariwisata dan industripun bisa berkembang di kedua wilayah tersebut. Wisata kawasan Jatigede juga akan semakin mudah terkoneksi dengan kawasan wisata di Garut maupun Majalengka. Apalagi jika jalur Legok-Situraja-Majalengka dapat sama terealisasi maka akan semakin membuka daerah-daerah yang terisolir itu, sekaligus juga menjadi poros baru Sumedang-Kabupaten Cirebon (Sumber) via kota Majalengka dan Garut-Pantura via Wado.
14. Jalur Ujungjaya-Kertajati-Indramayu. Jalur ini tinggal menyambung dari jalan Rd. Ali Sadikin menuju Kertajati. Jaraknya adalah 2 km plus pembangunan jembatan Cimanuk atau 4 km tanpa harus membangun jembatan Cimanuk dan tapi tak memutar, sehingga dua alternatif yang bisa dipilih.
Kemudian peningkatan kapasitas jalan dari wilayah Kertajati sampai ke Jatibarang atau Patrol Indramayu, ini mungkin sudah berjalan.
Dengan dibukanya jalur ini, bisa mempersingkat pengguna jalan pos dari arah Sumedang yang menuju Kertajati tanpa harus melewati kota Kadipaten yang sudah pasti semakin lama akan semakin macet karena wilayah tersebut menjadi simpul pertemuan jalan yang menuju Kertajati, Cirebon, Majalengka dan Sumedang. Ini bukan alternatif lagi tapi sudah wajib sifatnya agar akses ke Kertajati bisa lebih baik.
Hal-hal seperti ini (hal sepele, atau temuan ini), jalur-jalur singkat seperti ini masih sangat kurang mendapat perhatian dari pemerintahan selama ini. Padahal sebenarnya, jalur-jalur tersebut sangat potensial, ringkas dan saya yakin pemerintah mampu membiayainya.
Contoh tadi, akses Legok ke Situraja hanya 3 km an dan dari Situraja ke Majalengka 20 km, itu sebenarnya dekat dan juga wilayahnya masih sepi dan juga sekaligus terisolir yang tentu perlu untuk di buka kedunia luar demi kesejahteraan masyarakat disana.
Contoh lain, jalur dari pintu tol Rancakalong Pamulihan menuju jalan Cagak ke arah Teropong Matahari di Tanjungsari Sumedang, jaraknya hanya satu kilometer saja. Satu kilometer itu jalan kaki juga tak sampai setengah jam. Dari ujung ke ujung juga masih nampak, masih ketengok, kalau tanpa penghalang. Artinya, super dekat. Relatif murah tapi sangat krusial.
Hal seperti itu rupanya belum mendapat perhatian serius dan sungguh-sungguh dari pemerintah daerah. Baik kabupaten maupun provinsi, apalagi pemerintah pusat yang tak tahu detail suatu daerah, tentu normal jika mereka tak dapat melihat kebutuhan atau persoalan-persoalan dengan lebih baik. Kita yang harus pandai mengungkap, mengangkatnya kepermukaan, meminta bantuan dana, dst. (Dalam hal ini saya beri angin segar untuk pemerintah pusat)
Salah satu trik, agar program daerah itu bisa mendapat atensi dari pusat tentu harus banyak akal, cara yang agresif, upaya terus-menerus (jangan mudah menyerah, tongkrongin, kalau perlu nginap/kemping di halaman istana), pandai-pandai dalam menyampaikan proposal, jago meloby dst.
Trik lainnya adalah, segera buat tindakan nyata di lapangan.
Pembebasan lahan harus cepat. Pendekatan kepada masyarakat harus lihai. Masyarakat harus diberi penjelasan apa manfaat besar buat mereka dari program-program pemerintah itu. Misal meningkatkan harga lahan disekitar jalur, memudahkan aktifitas mereka dan pada akhirnya menambah kesejahteraan. Fasilitas yang lebih baik, daerah lebih maju masa depan akan menjadi lebih baik. Itu kan logika, masuk akal. Hanya saja masyarakat kadang tak mampu membuka cakrawala pemikiran jauh kedepan seperti itu, yang menjangkau ke generasi anak cucu mereka, melihat dari cara pandang luas. Yang masyarakat lihat kadang hanya yang ada didepan mata saja, tak lebih. Itu problem, yang tugas pemerintah melakukan penjelasan dst.
Lahan masih bisa mereka beli atau perluas ditempat lain, dll. Pendekatan itu memang tak semua berhasil, tapi kita punya undang-undang yang mengatur tentang lahan untuk kepentingan umum, sehingga tak ada alasan lagi untuk tidak bisa membangun jalan di era sekarang ini.
Jalan itu juga sangat berguna untuk akses pintas menuju Cicalengka dan Rancaekek atau ke arah Garut dari tol Cisumdawu dan sebaliknya.
15. Jalur Jakarta-Rengasdengklok-Pamanukan. Jalur jalan ini seharusnya sudah dibangun sejak lama, karena ketika arus mudik, para pengendara motor kesulitan atau mengalami kemacetan di sepanjang jalur tersebut. Atau jalur jalan Nasional dari Depok-Cikampek via wilayah selatan kota Bekasi dan Kerawang.
Selain jalur jalan hal lain yang perlu ditingkatkan adalah dunia kepariwisataan. Pengembangan wisata pantai selatan Jawa Barat misalnya. Ini jelas sangat sejalan dengan program wisata Jawa Barat. Membuka banyak destinasi baru. Dengan pengembangan yang semakin baik tentu kita berkeyakinan bahwa wisatawan bisa bertambah ke Jawa Barat, sehingga bisa mendorong peningkatan ekonomi masyarakat.
Sayang memang, dunia saat ini terserang pandemi sehingga beberapa rencana pembangunan terpaksa di tunda dst. Tapi, dengan sisa waktu pemerintahan kang Emil ini, semoga dapat lebih dipicu lagi pembangunannya. Harus lebih cetar membahana. Sehingga cita-cita mensejahterakan masyarakat yang dipimpinnya bisa segera terwujud, setahap demi setahap. Aamiin.
Note...:
Sebagai perbandingan toll di Jatim yang sudah masuk proyek strategis Nasional (PSN) sesusi Perpres No. 80 2020, dan direncanakan akan bisa selesai sebelum tahun 2024 adalah Toll Malang-Pandaan 20 km, Gresik-Tuban 77 km, serta Banyuwangi-Trenggalek 363 km.
Seperti sudah terbaca sebelumnya, kenapa Toll Trans Jawa itu via Semarang ke Solo, baru ke Surabaya dan bukan ke Demak yang lebih dekat ke Jawa Timur. Pasti ada udang dibalik batu.
Sudah terbaca, itu adalah akal-akalan supaya pada akhirnya akan dibangun juga toll dari Demak sampai Gresik (Manyar). Dan itu terbukti dengan pembangunan Semarang-Demak serta Tuban-Gresik, tinggal dari Demak ke Tuban saja.
Kita bukan orang bodoh, kita bisa baca gelagat-gelagat.
Sehingga pada akhirnya di Jatim akan ada tiga tol, lintas utara (Semarang-Gresik), lintas tengah (Solo-Surabaya) dan lintas selatan (Banyuwangi-Trenggalek, ke arah Solo atau Gunung Kidul Yogyakarta, kita tonton saja nanti).
Pinter...!!, tapi licik.
Licik karena untuk Jawa Barat rencana hanya dua, lintas utara dan lintas diagonal (utara ke tengah ke selatan, ini sudah dianggap lintas tengah dan selatan sekaligus padahal jalur selatan hanya di Pangandaran saja, jalur diagonal/jateng oriented). Maaf saya lagi mode iri.
Harusnya, jika Jatim saja bisa bangun lintas Selatan, maka Jabar juga harus dong. Di Jabar selatan juga ada jutaan manusia. Apalagi menuju jalur Jabar selatan itu belum ada jaringan jalan Nasional. Belum ada jalur vertikal yang menghubungkan Jalan Lintas Selatan Jabar dengan Jabar tengah, yang ada baru Jalan provinsi yang berkelok-kelok dan sempit.
Oleh karena itu kita minta juga dibangunkan Toll Bandung-Rancabuaya, Bandung-Lembang dan Bandung-Ujung Genteng serta Pelabuhan Ratu-Surade-Rancabuaya-Cipatujah-Pangandaran. Baru kita akan merasa tidak didzalimi atau sehingga kita merasa ada kehadiran pemerintah pusat/keadilan terhadap Jawa Barat.
Sebab ke Jabar Selatan belum ada jalan Nasional, sementara Jateng dan Jatim sudah, ditambah pula dengan jalan Toll yang kini sudah masuk program strategis Nasional. Tambah terlihat katrolah orang Jawa Barat dan tambah modernlah Jateng Jatim. Lihatlah dan datanglah ke pelosok Jabar selatan, disana masih seperti zaman penjajahan, serba terbelakang. Pemerintah Nasional tak hadir disana, hanya noleh selintas dan lalu pergi. Kondisi disana mirip di pedalaman Sumatera atau Kalimantan. Bedanya kalau di Sumatera/Kalimantan itu memang hutan belantara sedangkan kalau disini pemukiman penduduk. Jadi perlakuannya tak bisa disamakan dengan monyet atau orang utan. Harus proporsional.
Dari photo satelit bisa kita bandingkan infrastruktur jaringan jalan di Jatim, Jateng dan Jabar. Di Jatim jaringan jalan Nasional sudah merata dengan tiga jalur vertikal utara selatan. Jateng ada dua, semantara di Jabar belum ada satupun jalan vertikal yang berstatus jalan Nasional. Jalur horizontalpun sama, perbatasan Jatim-Jateng ada 3 jalur, tengah selatan, utara. Jabar hanya ada dua, tengah dan utara.
Kalau kita zoom apalagi, kita bisa lihat, jarak antar kota kabupaten di Jabar sangat berjauhan, sementara di Jatim dan Jateng sangat berdekatan. Menunjukkan ketimpangan yang besar. Sebaran pembangunan di Jabar tidak merata, sementara di Jateng dan Jatim sudah merata. Itu terkait akses pelayanan masyarakat, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan yang berbeda jauh.
Demikian saja, hayalan dan kritikan kita hari ini. Semoga bermula dari khayalan dan kritikan pada akhirnya bisa terealisasi menjadi kenyataan. Aamiin.
Bandung, 28 Oktober 2020
Selamat hari Sumpah Pemuda yang ke-93...(marc marquez)
**khayalan tingkat tinggi.
**Jabar pengennya ngabret, tapi seringkali yang terjadi malah nyebret, pusing karena kurangnya dukungan/keberpihakan dari pemerintah pusat.
**tak ada cara lain, harus dicoba untuk minta bantuan asing. China, Inggris, Amerika, Australia, Kanada, Kuwait dll.
**saatnya presiden dari urang Sunda, supaya lebih adil kepada seluruh rakyat Indonesia.
#RumahKerjaRelawan1ndonesia
#RKR1
0 Komentar