Tahu Lembang itu ada beberapa produsen. Dan diantara mereka rasanya gak sama.
Ada produk tahu Lembang yang rasanya mirip tahu Sumedang, tapi bahkan lebih enak dari itu.
Itulah yang kami tuju kali ini. Sekedar jalan-jalan dan sarapan tahu Lembang.
Pagi benar kami pergi dari Bandung, tak terlalu pagi sebenarnya. Dari Bandung kita mutar dulu ke arah selatan, barulah menuju ke Lembang.
Jalan yang kami lewati adalah via Ciparay menuju Sapan melewati sawah-sawah yang masih luas disisi kiri dan kanan jalan. Melewati jembatan sungai Citarum belok kiri menuju desa Tegalluar menyusuri jalan hingga ke lingkar selatan GBLA dan lanjut ke Soekarno Hatta.
Dari perempatan Kiaracondong kita belok kanan ke Binong lalu belok kiri menuju Laswi.
Jalanan ibukota provinsi Jawa Barat ini cukup lengang sehingga kita tidak merasa tersiksa selama perjalanan tersebut.
Lurus ke jalan Riau atau Martanegara yang suka tertukar dengan Martadinata. Masih bingung yang mana Martadinata yang mana Martanegara. Yang gampang adalah jalan Riau.
Kita belok di persimpangan Mesjid Al-Istiqamah taman Citarum ke halaman belakang Gedung Sate. Ikuti saja jalan itu memutari Gedung Sate hingga mentok dipertigaan. Kalau ke kanan itu via Gazeboo, kalau ke kiri itu langsung menuju jalan Dago.
Kita ambil jalan ke kiri saja, hingga sampai di simpang Dago-Cikapayang. Lurus mengikuti jalan itu sampai kemudian di sebelum persimpangan yang menuju Dago Atas kita belok kiri ke arah jalan menuju Ciumbileuit.
Terus saja ikuti jalan Ciumbuleuit ke arah jalan Punclut.
Punclut ini dulu adalah jalan yang hanya berupa tanah saja. Tidak beraspal hanya tanah dan bebatuan saja. Kendaraan di parkir di sini, disekitar gedung-gedung yang ada. Jalan-jalan ke Punclut dulu itu benar-benar jalan kaki menaiki jalan tanah yang menanjak. Tujuannya adalah olahraga dan sekalian jalan-jalan cari makanan dan atau apa saja dijual disana, khas pasar tumpah.
Sekarang, tidak seperti itu lagi. Jalannya sudah berhotmix sehingga semua kendaraan juga bisa langsung naik ke atas untuk ke warung-warung nasi yang semakin banyak disana. Sajian utamanya adalah makanan khas Sunda, Sambal terasi, lalaban, jengkol, petai, ikan asin, goreng atau bakar ayam, karedok, dll.
Dulu masih banyak kebun-kebun, kalau sekarang sudah berkurang.
Dari Punclut kita masih terus menanjak lagi dengan satu tanjakan yang super panjang dan terjal. Tanjakan menuju Lembang. Beberapa kendaraan bahkan gak kuat menaikinya. Penumpangnya harus turun.
Kalau sendiri, aku bisa dengan mudah menaiki tanjakan ini. Tapi kalau berdua beda lagi, bebannya bisa tambah dua kali lipat atau kurang dikit. Jadinya kita gak bisa mamprang disini. Pelan-pelan saja dengan gigi rendah.
View dari Punclut dsk ini memang juara. Kota Bandung terlihat sebagai mangkok raksasa yang dihiasi oleh hamparan bangunan dan gedung-gedung bertingkat. Jika pesawat lewat, kita masih lebih tinggi dari pesawat itu sendiri.
Begitulah pemandangan kota Bandung dari kawasan Punclut ini.
Tak heran setisp hari libur jalan disini jadi penuh mujdahim oleh pengunjung. Macet dan banyak orang.
Untunglah ini musim Corona, jalan menjadi jauh lebih lengang.
Lembang itu lebih dekat ditempuh jika kita lewat jalan ini. Tapi jalannya sempit, bus dan truk tak pernah terlihat lewat sini. Gak akan kuat. Selain sempit juga menanjak dengan tanjakan yang terjal dan panjang, cukup sangat panjang.
Kalau berdua, motorkupun harus menggunakan antara gigi 3,2 dan satu. Gak bisa di gigi lebih tinggi lagi. Mayoritas di gigi satu dan dua.
Kasian motor kita kalo digeber dengan membawa boncengan disini. Jadi pelan-pelan saja.
Habis dari tanjakan itu, sudah kamu sudah tiba di dataran Lembang. Kita ikuti saja jalannya, menurun sedikit lalu belok kiri dst.
Gak jauh didepan sana nanti ada penjual tahu Lembang. Kalau aku biasanya di warung Tahu Tauhid namanya.
Wah asli, tahunya guruh, mantap sekali.
Tahu ini menurut penjualnya yang kita tanya itu adalah tahu dari bahan susu sapi. Sama seperti tahu susu Lembang lainnya. Tapi soal rasa, disini lebih mendekati rasanya tahu Sumedang. Beda-beda tipis. Bahkan menurut penulis yang sudah hapal rasanya tahu Sumedang, tahu Tauhid ini lebih enak dan sungguh penulis gak bohong.
Buat apa, jauh-jauh penulis sengaja kesini jika tahunya biasa-biasa saja. Selain jaraknya gak jauh dari Bandung, rasanya yang maknyus juga udaranya terasa sejuk nan segar.
Kalau hendak ke sirkuit yang di Subang pun, biassnya penulis sengaja sarapannya adalah disini. Ada lontong, plus makanan-makanan ringan juga ada. Tapi penulis hanya ingin tahu saja dengan lontong sebagai sarapannya. Sudah puas.
Beberapa kali kesini, biasanya rasanya identik. Tapi kali ini kok agak beda dikit. Entahlah mukin racikan si amang hari ini kurang pas. Namanya manusia mungkin ada sedikit mis bumbu atau racikannya. Tapi masih enak, walau beda saja sedikit.
Itu menunjukkan bahwa membuat racikan tahu itu gak sembarang, harus berpengalaman dan harus sesuai takaran semuanya. Sehingga rasa yang dihasilkan jadi maknyus dan setiap pabrik hasilnya tak sama.
Jadi boleh jadi bahwa suatu hari kita beli tahu ini, pas rasanya sedang tidak normal. Ya itulah kebetulan semata. Manusia bisa salah. Tapi hanya kali ini saja rasanya beda begitu, semua sebelumnya tak seperti ini.
Saya percaya besok saya kesini lagi, rasanya akan normal kembali. Aamiin.
Dua porsi akhirnya habis juga. Sampai benar-benar kenyang. Bersisa dua biji, karena sudah tak muat lagi di perutnya. Nanti malah gak enak ke perutnya.
Ya sudah, kami gak lanjut kemana-mana lagi. Langsung balik lagi ke Bandung. Sudah puas dengan suguhan tahu itu tak ada yang lain untuk hari ini.
Pulang.
Kami pulang ke arah kami datang tadi. Namun supaya tidak bosan sengaja kami pilih persimpangan lain yang ke arah kiri menuju Dago Giri.
Setelah jalan nanjak sedikit, kalau lurus itu adalah menuju Punclut, kalau ke kiri itu menuju Dago Giri.
Nah jalan Dago Giri ini, sangat kecil jadi memang tak senyaman via Punclut. Selain kecil juga menurun sangat curam dengan aspal perkampungan, bukan dari hotmix.
Untuk matic rasa-rasanya hindarilah jalan ini. Kecuali sudah expert, sudah biasa. Kalau belum ahli, saya menyarankan jangan. Bahaya, benar-benar bahaya.
Ini motor saya saja remnya sampai panas, sehingga terasa ngelos juga setelah melewati "pupudunan"/turunan tersebut. Untung sudah lewat, coba kalau masih di pudunan itu, tentu berbahaya sekali. Rentan kecelakaan. Ini ketiga kalinya penulis lewat jalan ini.
Apalagi sekarang ini, ternyata jalan dibawah sana ditutup. Sedang ada pengerjaan pengecoran jalan. Terpaksa penulis melewati jalan setapak yang tak kalah menurun dan kemudian menanjak sangat curam dan terjal.
Untung penulis sendiri sudah pernah kesini dulu, sehingga ketika sekarang berboncengan jadi tidak terlalu kaget lagi dengan kondisi jalur jalannya. Kalau mobil sih tidaklah, tidak bisa lewat sini. Kecuali offroader.
Jalan ini sebenarnya memutar balik yang ujungnya ke arah Punclut juga. Tapi ada jalan tanah lewat kebun, yang tembusnya tidak ke Punclut. Lebih dekat, tapi lewat jalan setapak dari tanah. Tentu licin kalau diguyur hujan.
Demikianlah kisah kita hari ini. Ada pekerjaan juga yang kita kejar soalnya. Gak bisa lama-lama.
Salam tasyakur..
0 Komentar