Batas Hutan (Bangbayang to Dayeuh Luhur Sumedang)

Mumpung lagi mudik. Puas-puasin jalan-jalan ke tempat-tempat yang ada disekitar kampung. Ke kampung-kampung yang sudah lupa lagi, atau ke kampung-kampung yang belum pernah aku kunjungi.

Sebenarnya ini adalah kelanjutan dari saba desa yang kemarin itu. Aku kan sudah niat dari kemarin untuk menyelusuri kampung-kampung yang ada di sekitaran Sumedang ini.

Pertama, ke Bangbayang. Tetangga desa yang sudah lama tidak pernah aku kunjungi. Lebih dari 10 tahun mungkin tak pernah kesana. Setahun atau 2 tahun yang lalu memang pernah ke Sadarayna, salah satu dusun yang ada di desa Bangbayang itu. Tapi ke dusun Bangbayangnya terakhir itu dulu sekali terakhir kesana. 

Jadi, kali ini kita ingin kesana lagi. Menikmati suasana perkampungan paling ujung yang ada di daerahku. 

Disana, karena letaknya yang terpencil, sehingga itu seperti sebuah vakum yang dapat mengawetkan adat budaya kita dari pengaruh dunia luar. Kalau kita dengar bahasa percakapan mereka, terlihat lebih murni. Ada beberapa ungkapan kata-kata yang rada sulit untuk dimengerti atau terasa asing. Bahasa di kampung seperti Bangbayang, sungguh luar biasa. Itu adalah bagaikan sebuah inkubator bahasa. Menjaga kemurnian bahasa daerah.

Naktak manggul, leuleus awak (daekan gawe/teu geuleuhan), puncer, monteng (curam), leuwi kacepet, batu lesang (di bangbayang, kalo musim hujan batu-batu ditebing sering ngegilinding sendiri, longsor), banyak bahasa tadi yang asing dan maaf lupa. 

Disini, di hutan bangbayang, lembang, sabeulit, manggu, munjul, bungur, Citagen, Kiara Lawang, Kibanen, Reundeu, beunteur, Hantar atau datar (Nanjak tidak, mudun tidak), banyak tadi bahasa-bahasa yang membuka wawasan kita. Beberapa nama tempat ternyata mirip dengan nama-nama tempat di lain kabupaten atau daerah. 

Baru tahu kali ini apa itu arti monteng, pantesan di Majalaya yang menuju Kamojang ke Garut dinamakan tanjakan monteng, artinya tanjakan yang nyaris vertikal. Curug Bonteng yang ada disini juga dalam artian monteng begitu, ada minimal 5 curug di hutan Bangbayang ini; Curug Cikidang, Curug Bonteng, Curug Cipanongan dan Curug Cicapar. Cuma, di musim yang pancaroba baru mau beralih dari kemarau begini, debit air masih sangat minim. Curug Bonteng bahkan kering. Curug Cikidang juga hanya lamat-lamat begitu.

Bangbayang itu, sebenarnya tak begitu jauh tapi dia terpencil saja begitu. Perkampungan yang letaknya berjauhan dengan perkampungan lainnya, dan disekelilingnya hanyalah hutan, sedikit sawah dilereng dan di lembah dari bukit dan gunung-gunung. Tapi walaupun luas sawah di Bangbayang itu sedikit, tapi musim tanamnya mungkin 3 x dalam setahun. Yang lain belum nanam, disini sudah hampir panen lagi. "Panandean, Bangbayang memang panandean cai leuweung". Dia, penerima aliran pertama dari sungai yang mengalir menuju hilir itu.

Keadaan listrik juga sudah masuk kesini, kalau dulu kan belum, masih menggunakan listrik matahari dan pembangkit mikro hidro begitu. 

Jalan kesini juga sekarang sudah lebih baik, sudah dihotmix dan diaspal, kalau dulu kan masih bebatuan lepas gitu dan yang kalau hujan suka becek dimana-mana. Bahkan sekarang ini, Bangbayang ini, seakan seperti anak emas, beberapa program irigasi juga sudah dibangun. Jalan ke hutanpun sudah dipasangi bebatuan sehingga bisa dilewati motor dikala hujan sekalipun.

Dengan demikian, tentu kesejahteraan disini lebih meningkat. Lebih maju.

TAdinya aku kesini sesungguhnya hendak ke Curug Cicapar yang ada di hutan sana. Tetapi ini sudah terlalu siang dan aku hanya seorang sendiri sementara semakin kesini, semakin jauh aku susuri selokan ini, suasana sudah semakin rimbun "hieum" oleh tetumbuhan pepohonan yang tinggi-tinggi dan suara-suara binatang dari dalam hutan sana membuat nyaliku jadi ciut. Jadinya sama sekali aku tak berani melangkahkan kakiku lagi. Semakin kuteliti, semakin kupikir-pikir, semakin seram kelihatannya. Ini batas persawahan terakhir, dan didepan sana hanyalah pepohonan alam yang rimba yang besar-besar tinggi dan penuh tetumbuhan yang tentu saja menjadi sarang para binatang liar yang tak tahu arti perikemanusiaan, atau tenggang rasa. Ular-ular besar, para monyet yang berteriak-teriak, burung-burung yang menjerit-jerit...ah aku tak berani. 

Di dalam hutan sana itulah adanya Curug Cicapar itu, mungkin dari sini dua jam lagi pulang pergi. Wah rentang waktu yang cukup beresiko tinggi. Dalam 2 jam yang bisa saja membuatmu bergelut dengan binatang yang tiba-tiba menyerangmu tanpa ada yang membantumu. Itu berbahaya sekali. Jalanann juga bukanlah jalan yang biasa diliwati manusia. Itu adalah jalanan yang harus membuka sendiri melewati ranting-ranting, tetumbuhan dan rumput-rumput liar yang memenuhi sekitarnya. Apa kamu bisa menghadapinya seorang diri..?. Ular, belum lagi ancaman dari ular berbisa atau ular besar, ular yang bisa membunuhmu. 

Lama aku menimbang-nimbang semua itu, membuatku akhirnya membuat keputusan terbaik, balik kanan. 

Nantilah harus berangkat lebih pagi, musim juga gak tentu, bisa saja tiba-tiba mendung dan hujan. Kan itu akan membuat masalah semakin rumit. Benar-benar kalau hendak memasuki hutan lebat seperti ini, kiranya kamu harus ada temannya, sebaiknya tak seorang dirilah...!!. Agak berisiko tinggi. Banyak orangpun bisa berbahaya, apalagi hanya seorang diri, kalau "diusap" dirasuki setan gimana...?. Kamu berani...?

BErtemu dengan pak Abun, ngobrol sana sini, beliau menyarankan agar lebih pagi lagi datang kesininya. Nanti beliau bersedia mengantar kemana saja kita maui. Dia tahu semua tempat disini, Leuwi cepet, curug-curug, mungkin sarang macan kerud pun dia tahu, dll. 

Pasti, insya Allah kita akan kembali lagi kesini. Sambil nunggu musim hujan, sehingga keadaan curugnya akan terlihat lebih baik, dengan debit yang lebih besar tentu air yang dipancurkannya akan semakin aduhai....kalian jangan duluin aku ya...?..he he he...atau siapa yang mau janjian kesana bareng, boleh contact dulu ya biar kita rencanakan bersama...?. Ya sekira dua bulanlagi lah, ketika musim hujan sudah tetap.

Dengan sedikit kecewa, maka akupun balik kanan saja. Hanya tadi, lumayan sudah bisa mengunjungi Curug Cikidang yang kata orang cukup angker. Kalau kawenehan katanya suka ada yang gaib-gaib.

Ah, terang saja disana dimitoskan seram begitu karena menurut si ibu yang mengantarku kemari, beliau mengatakan dicurug itu suka dijadikan tempat ritual memandikan orang yang memiliki tujuan-tujuan mistik begitu. Ya semacam ilmu-ilmu gaib, pesugihan mungkin, dll.

Ya, itu memang masih bisa kita temukan di pelosok-pelosok seperti ini. Ilmu-ilmu perdukunan dan semacam itu. Ada kuncennuya juga, ada yang bisa dijadikan tatanya katanya. Janganlah, kita ini manusia beragama, jangan lagi ikuti perbuatan musyrik demikian itu. Saya melarang itu. Agama melarang itu.

Kampung hutan ini memang memiliki aura mistis juga mungkin. Tapi tidak terlalu begitu, karena sekarang ini, kaum ibupun sudah berkerudung, sudah lebih islami.

Sebenarnya tadi aku sudah dekat dengan curug Cikidang tersebut, yang terlihat hanya ada batu tebing yang dibalik dedaunan dan pepohonan di kiri sungai ini. Tapi aku gak yakin karena jalannya seperti sudah jarang diliwati orang, agak takut kalau-kalau ini kejalan yang salah.

Pulang ke perkampungan, tanya ke ibu-ibu yang ada. Katanya ayu bareng ibu, ibu juga mau kesana, mau ngarit katanya. Ya sudah aku balik lagi saja, karena itu tak jauh-jauh amat, hanya sekira satu kilometer saja dari rumah terakhir ini. 

Ya....curug ini cukup tinggi, hanya saja tak ada airnya, hanya secuil begitu. Itu mirip pancuran saja, pancuran disawah atau di paciringan atau tampian tempat pemandian penduduk jaman dulu.

Sekarang ini, di Bangbayangpun nampaknya sudah tak nampak ada paciringan seperti itu. Ada di desa-desa lain tapi disini sudah tak nampak kiranya.

Di Bangbayang ini rupanya ada beberapa percabangan jalan, kalau tak tanya bisa jadi kita belok ke arah yang tak semestinya. Jadi ya memang haru bertanya biar tidak sesat dijalan. Kemana tujuan kita...?

Jam dzuhur, akupun balik lagi saja sehabis ngobrol dengan pak Abun itu. Beliau rupanya bukan orang asli sini, beliau itu dapat istri orang Bangbayang ini, dulunya, asalnya dia orang Tanjungsari sana. Anaknya juga disana dan dibeberapa tempat lainnya. Pekerjaannya juga lebih baik, punya pabrik pengolahan teh, jadi pengurus wanawisata, dan ada juga yang jadi guru SMP di dekat kecamatan sana. Jadi hidup di Bangbayang ini seperti hidup di zaman yang berbeda. Seperti hidup di alam yang berbeda. Itu mungkin kawah candradimuka bagi penduduk disini, melahirkan para pekerja tangguh dan banyak yang beruntung dikota, jadi dosen, jadi da'i, atau jadi pekerja-pekerja di ibukota, kerja di pemerintahan, di gedung sate, dll.

Nampaknya rumah-rumah di Bangbayang juga sudah lebih modern, bagus-bagus dan beberapa bertingkat dengan beton-beton yang kokoh. Itu lebih bagus dibanding dengan yang ada dikampungku. Yang rata-rata, biasa-biasa saja. Pertanda bahwa orang sini, sudah lebih maju kehidupannya. Ya, kita bersyukur atas kemajuan warga disini. Itu lebih baik jika dibandingkan sebaliknya. Salut, dan angkat jempol buat warga Bangbayang. Semoga kebahagiaan menyertai kehidupan mereka. 

Jam satuan sudah, dari sekitar Caringin ini, aku tak maju lurus, tapi belok kiri ke arah yang menuju Dayeuh Luhur. Tujuanku adalah ngabolang menyusuri kampung-kampung ke arah sana, yang ujungnya adalah ke Citengah diperbatasan kota Sumedang. Jalur itu adalah baru buatku, baru tahu kemarin pas saba desa ke kampung Cibungur itu.

Nah, jalur ini yang menuju Dayeuh Luhur ini sebenarnya adalah jalur yang tak asing buat warga sini, ini adalah jalur tradisi, jalur tradisi warga dulu setiap memasuki bulan maulid Nabi SAW. Kita biasanya, dulu, suka rame-rame konvoi, berjalan kaki menyusuri jalan ini, siang, pagi dan malam ramai orang menuju Dayeuh Luhur. Tempat makamnya para raja Sumedang di masa lalu. Ada Pangeran Kornel, Pangeran Geusan Ulun, dll. Dan khusus buatku sendiri, jalur ini adalah jalur lama yang biasa dijadikan trek lari marathonku, dari kampungku ke Dayeuh Luhur sana itu berlari non stop dan itu sering kulakukan dimasa lalu, supaya kita memiliki endurance, napas yang prima dan kuat karena kita memang penyuka Sepak Bola yang menuntut ketahanan seperti itu.

Ya, jadi ini jalur bukanlah jalur yang asing buatku...ini sudah sangat biasa buatku dulu. Tapi itu dulu, sekira 20 tahun yang lalu. Jadinya beda dengan sekarang, seperti nostalgia saja. Oh aku dulu lewat sini, lari menyusuri jalan ini ke Sahang ke Dayeuh Luhur. Sungguh kalau dipikir sekarang, itu adalah jalur yang cukup ekstrim. Menanjak dengan tanjakan-tanjakan, butuh ketahanan fisik dan nafas kuda. Kalau sekarang tentu gak akan mampu seperti dulu. Ya, jalan sedikit saja tadi, sudah lemas, sudah cukup lelah. Tapi aku rasa, karena pengaruh masa lalu yang rajin olahraga begitu, rasa-rasanya aku akan lebiih cepat bisa beradaptasi kembali dengan kondisi begitu. Sebulan saja latihan oalahraga lagi, aku merasa yakin, fisikku akan bisa lebih kuat lagi. 

Saat ini, Dayeuh Luhur kebetulan memang lagi musim ziarah, ini masih bulan Maulid. Baru seminggu dari 12 Mulud. Tentu masih ada beberapa rombongan peziarah kesini, ada yang menggunakan sepeda motor, mobil minibus, dan mobil-mobil pribadi lainnya dari leter Z, D, T, F, B dan luar provinsi lainnya dari Jawa sana.

Hanya numpang istirahat saja disini, dzuhur dan makan siang saja. tak sejam akupun pergi menuju arah yang berbeda yang jalur baru buatku, menuju Cibungur, Batugara, menuju ke Citengah dan ke kota Sumedang sana. 

Ya, mungkin demikian saja kisah ngabolang kita kali ini. Dari Dayeuh Luhur menuju arah lain itu, jalannya sama cukup curam, menurun tajam, dengan tebing-tebing dikiri kanan jalan, berkelok-kelok yang alhamdulillah kondisi jalannya ini jauh lebih baik, berhotmix, jalan beton, dan lebih lebar dibanding dari jalur yang tadi. 

Di sebuah persimpangan kita belok ke kiri, menuju kampung Cibungur, terus dari cibungur itu kita belok lagi ke kiri yang ke arah Batugara. Batugara itu perkampungan ujung yang buntu, sehingga mentok di sebuah bangunan SD, kita balik kanan saja, ke bawah lagi, lurus menuju jalur yang ke arah citengah, jangan yang balik lagi ke Cibungur.

Nah rupanya di Citengah ini, itu adalah pemandangan-pemandangan nan eksotis. Yang sawah-sawah terbentang diantara perbukitan, hijau maplak, nyaman untuk dipandangi. Rupanya jalur ini tak lah terlalu jauh. Ini relatif dekat dari kota Sumedang menuju arah Cibungur atau Batugara tadi. Suatu saat mungkin saja jalur kesini bisa diperlebar lagi. Akan menjadi sudut kota Sumedang dari sisi tenggara yang indah.

Terlalu banyak lokasi yang belum terjamah, belum kita telusuri. Menunjukkan betapa, alam kita ini luas, berjuta orang tinggal di Sumedang ini, ada sekian kecamatan, ada ratusan desa atau kelurahan. Masih panjanglah perjalanan kita selanjutnya.

Salam Indonesia Raya.












Posting Komentar

0 Komentar