Transformasi Ekonomi Syari'ah

Transformasi Ekonomi Syariah

Fachry Ali*

“Konsolidasi bank-bank syariah BUMN, harus kita lihat sebagai usaha transformatif Erick Thohir mengonsolidasikan kekuatan finansial kalangan Islam, dari artifisial menjadi substansial.”

Apa sebenarnya yang dinantikan sejarah di dalam konteks umat Islam Indonesia? Pertanyaan ini berkaitan dengan berita Republika (25 Jan 2021) tentang terpilihnya Erick Thohir sebagai ketua umum Masyarakat Ekonomi Syariah.

Lepas dari segi label “ekonomi syari’ah”, kemunculan Erick Thohir ini seperti menjawab panggilan sejarah awal abad ke-20, ketika Sarekat Islam didirikan pada 1912. Gerakan ini, sebagaimana yang kita lihat dalam sejarah, tergerakkan oleh kesadaran ketertinggalan ekonomi di kalangan umat Islam. 

Sadar bahwa perjuangan kemajuan ekonomi ini tak memadai digerakkan dari “bawah”, sebagaimana telah dicoba Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dirikan Haji Samanhudi pada 1905, Sarekat Islam memberi warna “politik” pada gerakan kemajuan ekonomi umat ini. 

Dalam arti kata lain, karena persoalan struktural, gerakan ekonomi itu harus mempunyai payung “kekuasaan” untuk mencapai efektifitasnya.

Studi lebih lanjut memang masih harus dilakukan untuk mengetahui dengan lebih terang dampak Sarekat Islam terhadap kemajuan ekonomi umat. 

Untuk sementara, kita bisa mengatakan bahwa sejak saat itu, walau dalam skala yang tak memadai, telah terjadi transformasi pengorganisasian aktivitas ekonomi di kalangan umat. 

Gerakan koperasi aneka produksi komoditas yang menjadi program Sarekat Islam bisa kita lihat sebagai bagian dari kemamuan transformatif pengelolaan sumberdaya ekonomi. 

Ini penting kita tekankan karena secara keselurahan, perekonomian umat Islam kala ini itu masih berlatar belakang agraris. Dampak negatif Sistem Tanam Paksa pemerintah kolonial (1830-70) secara hipotetis masih dirasakan umat pada awal abad ke-20 itu. Yaitu, seperti dinyatakan Clifford Geertz dalam Agricultural Involution (1964), dunia agraria tetap menjadi tumpuan ekonomi masyarakat sebagai akibat dari urbanization without industrialization (urbanisasi tanpa industrialisasi). 

Dalam arti kata lain, walau urbanisasi tetap terjadi, absennya industrialisasi telah menyebabkan penduduk desa di kawasan pertanian tak terserap sebagai angkatan kerja di wilayah perkotaan. 

Sebagai akibatnya, pertumbuhan pesat penduduk di wilayah agraria harus ditanggapi dengan apa yang disebut Geertz sebagai shared poverty (berbagi kemiskinan).

Dalam kendala struktural semacam inilah Sarekat Islam melancarkan gerakannya. 

Dan kita ketahui, terutama karena kian lama aspek politik kian ditekankan, maka aspek profesionalisme dunia usaha dalam gelombang asksi Sarekat Islam ini menjadi tak tertangani.


Duet Jokowi-Erick

Dalam konteks inilah kita bisa melihat Jokowi dan Erick Thohir dalam perspektif lintasan sejarah. Sebabnya adalah bahwa bahkan usaha negara menumbuhkan kaum industrialis pribumi melalui Kebijakan Benteng di masa Kabinet Natsir awal 1950-an menemui kegagalan. 

Dimotori Menteri Pedagangan Sumitro Djojohadikusumo, Kebijakan Benteng ini dilancarkan dengan asumsi kelemahan organisasional dan modal kalangan pengusaha pribumi dapat “ditutupi” intervensi negara. 

Namun, sebagaimana terjadi masa Sarekat Islam, sebagian besar aktor-aktor ekonomi tersebut baru saja tertransformasikan ke dalam pola usaha modern dari latar belakang pola agraris mereka yang pekat. 

Maka itu, profesionalisme dan kemampuan mengartikulasikan diri di dalam kontestasi sistem pasar belum tegak pada dasar yang kuat. Ini pula yang menjelaskan mengapa Gabungan Koperasi Batik Indonesia, sebuah gerakan ekonomi lanjutan SDI Haji Samanhudi dan Sarekat Islam HOS Ttjokroamito berakhir pula dengan kegagalan.

Kini, duet Jokowi-Erick seakan-akan menjawab tantangan struktural sejarah itu. Mendapat mandat politik yang lebih besar dalam periode kedua Kepresidenannya (2019-2024), Jokowi menunjuk Erick Thohir sebagai Menteri BUMN. 

Penunjukkan ini tampaknya “bertendensi”. Sebagai mantan pengusaha mebel, Jokowi tentu memiliki bukan saja sense of business, melainkan mengetahui dengan persis talenta profesionalisme seseorang. 

Dan Erick, menjawab tantangan Jokowi tersebut dengan kinerja profesional menangani BUMN. Kebijakan right sizing dan restrukturisasi BUMN selama setahun belakangan ini memperlihatkan dengan jelas kinerja profesionalnya.

Namun, yang jauh lebih menarik adalah konsolidasi bank-bank syariah yang telah tumbuh dan berkembang di bank-bank BUMN yang dilakukan Erick Thohir baru-baru ini. Bagaimanapun juga, ini harus kita lihat sebagai sesuatu yang tak berprseden dalam sejarah. 

Benar, bahwa bank syari’ah telah berdiri sejak masa akhir Orde Baru (1967-98). Akan tetapi, sebagaimana pernah dinyatakan ekonom M. Dawam Rahardjo, pendirian tersebut masih bersifat, kasarnya, pemberian “permen” kepada umat Islam. 

Sifat artifisialnya masih terasa. Karena itu, konsolidasi bank-bank syari’ah BUMN ini harus kita lihat sebagai usaha transformatif Erick Thohir menkonsolidasikan kekuatan finansial kalangan Islam dari artifisial menjadi substansial. 

Dalam konteks imajinasi sejarah, bukankah konsolidasi finansial Islam ini merupakan sebagian dari yang dicita-citakan SDI sejak 1905 dan Sarekat Islam sejak 1912? Tentu, ada tahap-tahap sejarah yang harus diperhatikan dan yang memungkinkan konsolidasi ini terjadi. 

Salah satu di antaranya adalah kemunculan lapisan kaum profesional yang mengerti secara mendalam teknik perekonomian modern. Dalam hal ini, seperti juga Sandiaga Uno, Erick Thohir adalah salah satu yang menonjol. 

Akan tetapi, di atas semuanya, adalah persuaan ide dan cita-cita antara Jokowi dan Erick Thohir. Tidak seperti di masa SDI dan Sarekat Islam, Jokowi tampil dengan otoritas politik dan sense of business. 

Melalui keduanya, Jokowi mempercayai Erick Thohir mengelola sumberdaya kekayaan negara, yaitu BUMN. 

Erick, dengan latar belakang profesionalisme dan pengalaman globalnya mewujudkan senses of business Jokowi dengan, antara lain, mengkonsoliasikan kekuatan finansial bank syari’ah. Sebuah simbiosis kekuatan yang jarang terjadi.

Dengan melakukan ini, Erick secara langsung atau tidak telah menjadi “benteng” bagi Jokowi dari segala tuduhan “anti Islam”, seperti acap dilancarkan orang selama ini. 

Sementara, pada saat yang sama, konsolidasi finansial perbankan syari’ah ini memberikan kesempatan kepada Erick Thohir menciptakan wahana atau landasan di dalam atau di atas mana kaum profesional generasi muda Muslim dapat berkembang lebih maju. 

Sebuah era dan tahap perkembangan serta kesempatan yang selama ratusan tahun absen dalam sejarah umat Islam Indonesia.

*Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia

Posting Komentar

0 Komentar