VIVA - Lalawak (Barbonymus balleroides) adalah salah satu ikan lokal Sungai Citarum, pemasok utama air Jatiluhur. Panjang tubuh pemakan tumbuhan dan fitoplankton ini bisa mencapai 25 sentimeter. Keberadaannya dirindukan karena menjadi indikator kualitas lingkungan yang ideal.
Kegembiraan menemukan lalawak juga dirasakan tim peneliti Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI), Kamis, tak jauh dari tempat Ari menjerat ikan. Lebih dari sekadar rasa yang nikmat, pertemuan itu mengapungkan harapan besar bagi masa depan Citarum.
Citarum, sungai sepanjang 269 kilometer ini, punya peran penting. Airnya menjadi sumber air baku untuk Jakarta, menopang ketahanan pangan nasional, hingga listrik Jawa-Bali. Namun, Citarum juga sudah terlalu lama terluka. Pencemaran limbah pabrik dan rumah tangga terjadi di sepanjang tubuh besarnya.
Ikan-ikan lokal yang hidup di sana juga terkena dampaknya. Pembendungan Citarum seiring dibangunnya Waduk Ir H Djuanda atau Jatiluhur (1967), Saguling (1985), dan Cirata (1987), ikut memicunya. Hal itu mengubah ekosistem perairan dari mengalir menjadi tergenang.
Ketua Kelompok Peneliti BRPSDI Profesor Krismono mengatakan, beragam ikan lokal kini bisa ditemui setidaknya di delapan titik pemantauan sekitar Jatiluhur. Titik itu adalah pertemuan antara Cibadak dan Cihuni, Cikanyayan, Ciririp, Cihonje, Tanggul 5, Istora, Pasir Canar, serta Cilalawi.
Dalam Ekspedisi Citarum Harian Kompas tahun 2011, nasib ikan lokal Citarum disebut merana. Endi Setiadi Kartamihardja, peneliti Pusat Riset Perikanan Tangkap, dalam Jurnal Iktiologi Indonesia Volume 8 Tahun 2008 menyebutkan, kurun 1968-1977 terdapat 31 jenis ikan hidup di di Jatiluhur. Sebanyak 23 jenis di antaranya adalah ikan asli dan delapan jenis sisanya adalah ikan tebaran.
Akan tetapi, pada penelitian tahun 1998-2007, dari 23 jenis ikan asli, tinggal ditemukan sembilan jenis, yakni hampal, lalawak, beunteur, tagih, kebogerang, lais, lele, lempuk, dan gabus. Sementara ikan tebaran, seperti mas dan mujair, cenderung bertahan. Adapun ikan-ikan yang sudah tidak ditemukan antara lain julung-julung, tilan, tawes, genggehek, arengan, kancra, nilem, dan paray.
Krismono mengatakan, perbaikan kualitas lingkungan ini tidak bisa dipisahkan dari program Citarum Harum. Program rehabilitasi itu sejauh ini efektif mencegah degradasi Citarum.
Lewat Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum, program ini ditargetkan rampung tujuh tahun kemudian. Beberapa langkah pentingnya, seperti menindak pembuang limbah, penghijauan, dan pengurangan KJA di Jatiluhur.
Endi Setiadi Kartamihardja, peneliti Pusat Riset Perikanan Tangkap, dalam Jurnal Iktiologi Indonesia Volume 8 Tahun 2008 menyebutkan, kurun 1968-1977 terdapat 31 jenis ikan hidup di di Jatiluhur. Sebanyak 23 jenis di antaranya adalah ikan asli dan delapan jenis sisanya adalah ikan tebaran.
Akan tetapi, pada penelitian tahun 1998-2007, dari 23 jenis ikan asli, tinggal ditemukan sembilan jenis, yakni hampal, lalawak, beunteur, tagih, kebogerang, lais, lele, lempuk, dan gabus. Sementara ikan tebaran, seperti mas dan mujair, cenderung bertahan. Adapun ikan-ikan yang sudah tidak ditemukan antara lain julung-julung, tilan, tawes, genggehek, arengan, kancra, nilem, dan paray.
Krismono mengatakan, perbaikan kualitas lingkungan ini tidak bisa dipisahkan dari program Citarum Harum. Program rehabilitasi itu sejauh ini efektif mencegah degradasi Citarum.
Ketua Paguyuban Pembudidaya Ikan di Waduk Jatiluhur Yana Setiawan mengatakan, sebelum Citarum Harum, jumlah KJA di Waduk Jatiluhur sekitar 48.000 petak. Saat ini, jumlahnya berkurang menjadi 25.000 petak.
Dulu dalam sehari, rata-rata seluruh pembudidaya di Jatiluhur menghasilkan 150-200 ton ikan dengan harga jual Rp 18.000 per kilogram. Kini produksinya menjadi 80-100 ton per hari.
Yana antusias dengan membaiknya mutu air Jatiluhur. Kualitas air yang ideal bagus untuk pertumbuhan ikan budidaya. Ikan akan cepat berkembang sehingga perputaran ekonomi bakal semakin cepat dari sebelumnya.
Setiap tahun, sekitar satu juta ton sampah plastik berakhir di lautan Indonesia, dan sumbernya berasal dari sampah yang terkumpul di sepanjang sungai. Sebuah start up asal Jerman, Plastic Fischer menawarkan inovasi penjala sampah plastik di sungai yang dinamai Trash Booms.
Ide inovasi pemblokir sampah ini muncul di benak Karsten Hirsch dan Moritz Schultz sepulang mengunjungi Vietnam. Meski demikian, negara dan salah satu sungai pertama yang mereka tuju adalah Citarum. Sungai di Jawa Barat itu, ditetapkan Green Cross Switzerland dan Blacksmith Institute sebagai salah satu sungai terkotor di dunia tahun 2013 lalu. Upaya mereka dibantu sejumlah relawan dari 'Make a Change World', 'Sungai Watch', dan 'River Clean Up'. Tapi efektifkah inovasi Trash Booms untuk memblokir sampah plastik yang ada di Citarum untuk mengalir ke laut?
Sekarang ini, tahun 2021, sungai citarum telah menjadi lebih bersih. Selamat buat team Citarum Harum. Presiden hebat, Gubernur pekerja, TNI kuat. Relawan bersemangat. Luar biasa kerja mereka. Terima kasih banyak. Love you all....!!
0 Komentar