Sempurnanya Pokok-Pokok Ajaran Islam

Ajaran Nabi itu sempurna. Tidak ada yang tertinggal. Betul, tapi jangan dipahami secara tekstual. Fahamilah secara makna. Bahasa itu adalah makna, bukan sekedar susunan huruf. 


UUD 45 dan Pancasila itu sempurna untuk Indonesia. Tapi Pancasila dan UUD 45 tak bisa diterapkan jika tanpa ada undang-undang turunan dibawahnya; ada perda, ada perwal, ada pergub, ada perpres, ada UU, dll. 


Saya kira ungkapan itu adalah contoh yang cukup sepadan. 


Al-Qur'an dan Hadist juga sempurna, tapi tanpa ilmu fiqh, tanpa ilmu ushul fiqh, tanpa ilmu balaghoh, tanpa ilmu nahwu shorop, tanpa ilmu tafsir, tanpa ilmu sejarah, tanpa ilmu linguistik, maka kita gak bisa menggunakannya secara serta merta. Ada banyak ayat dalil yang butuh ramuan dan penjelasan para ulama. 


Begitulah bid'ah hasanah, ia hadir untuk merangkum, menjelaskan, mensarikan, mengamalkan isi dari Al-Qur'an dan Hadist itu sendiri.


Memahami kata bid'ah juga sama. Jangan memahaminya sebagai suatu susunan huruf semata tapi fahami ia sebagai sebuah satu-kesatuan makna yang terkandung darinya dengan referensi dari hadist lain yang terkait secara langsung ataupun tak langsung, dan juga diperkuat oleh ribuan ayat yang lebih tinggi darinya yang menguatkannya, dst.


Memahami ajaran Islam harus kaaffah, tak bisa aya atau hadist diartikan sebagai kata perkata semata. Semua harus dirangkum, sehingga bisa diambil manfaat yang sebesar-besarnya, diperoleh sari manis yang menyehatkan jiwa raga daripadanya. Diambil ilmu dan hukum darinya. Jangan pakai ilmu TK. Tak mau ngerti tentang konteks, tak mau tahu tentang maksud, makna sebenarnya yang tersimpan, tersirat, terkandung di dalamnya. Tak cukup hanya melihat cangkang. Isinya itu yang lebih penting.


Bahasa adalah alat komunikasi. Susunan huruf adalah bagian dari alat bahasa supaya bisa membantu para pembacanya untuk memahami maksud dan tujuan dari penyampainya. Memahami tujuan maksud dari pembicara butuh kecakapan, kecerdasan dan kemampuan memaknai bahasa. Tak cukup mentranslate kata per kata. Tapi ia butuh adanya tafsir, butuh pemaknaan yang utuh, kekaaffahan makna, keluasan ilmu, dan juga kejujuran, integritas, dst. Tak boleh ada perselingkuhan akademik, menutupi sesuatu, menyembunyikan fakta ilmiah, harus jujur harus amanah dalam berilmu. Integritas. 


Para ulama adalah pewaris dari para Nabi. Ia mewarisi kecerdasan, mewarisi kejujuran, mewarisi perjuangan, mewarisi ilmu, mewarisi hidayah, mewarisi otoritas dan integritas.


Karena ulama adalah pewaris Nabi maka ia mewariskan agama ini kepada umatnya, menyampaikan penjelasan, menyampaikan ilmu, dst.


Tentu Allah dan Nabi mewariskan agama ini kepada para ulama bukan kepada para juhala. Artinya untuk memaknai agama ini butuh ilmunya para ulama karena merekalah pewaris para Nabi. Gak bisa belajar langsung dari Al-Qur'an, gak bisa memahami langsung dari teks Hadist semata.


Hadist dan Al-Qur'an itu ibarat UUD 45 dan Pancasila. Bicara K3L misalnya kita butuh UU No. 1 tahun 1970. Bicara perdata atau pidana misalnya kita butuh UU No sekian pasal sekian juncto ini dan itu.


Mematuhi UU, perwal, perda dll itu adalah sama arti dengan mematuhi UUD 45 dan juga Pancasila. Kita tak mematuhi perda, pergub, dll jika perda dan UU itu tak sejalan atau bertentangan dengan UUD 45 dan Pancasila, itulah namanya bid'ah sayyiah...hukum turunan yang sesat, dst. 


Tapi selama UU, Pergub dll itu merupakan ejawantah dari UUD 45 dan Pancasila maka UU dan Pergub itu adalah bagian dari UUD 45 dan Pancasila itu sendiri yang tentu harus dipatuhi dan dilaksanakan. Itulah diantaranya bid'ah hasanah, dst. Ijma', qiyas, dst.


Ajaran Nabi itu sempurna. Tapi sempurnanya dalam arti sebagai acuan dan pedoman dasar. 


Ia masih butuh penjelasan lebih lanjut, butuh penafsiran, butuh pemaknaan yang memadai.


Tak sempurna ajaran Nabi jika tanpa pemaknaan yang tepat sesuai teori kaidah ilmu dst. Sesuatu ajaran yang cerdas harus dipahami dengan cara yang cerdas juga. Kecerdasan tak selalu bisa dipahami oleh kebodohan. Harus seimbang antara penyampai dengan penerimanya agar tidak ada MISS COMUNICATION. Itulah kita butuh ilmu balaghoh, mantik, dst.


Belajar balaghoh itu untuk mengimbangi kecerdasan Nabi, belajar Nahwu Shorof dll itu untuk mengimbangi "kecerdasan" atau ketinggian ayat Al-Qur'an. Tak bisa serampangan. Hanya menerjemahkan kata, dan tak mau meneliti maknanya dst.


Pemaknaan Al-Qur'an dan Hadist itu tak terjangkau jika hanya dengan ilmu yang tak memadai, ia butuh ilmu alat yang memadai. Butuh penjelasan para ahlinya ahli. 


Al-Qur'an sendiri mengancam sesiapa yang memaknai ayat secara menurut pendapat masing-masing orang, maka ia dicap berdosa dan salah. Walaupun secara kebetulan benar tetap ia dicap salah karena ia telah berbuat serampangan alias sok tahu, gegabah.

Memaknai Al-Quran butuh penjelaaan dari ulama. Maka Al-Qur'an menyampaikan....al'ulamaa warasatul anbiyaa...


Ikuti ulama karena itu yang diperintahkan Allah dan RasulNya.


"Jika kalian ingin selamat, maka ikutilah jumhur umatku karena jumhur umatku tak akan bersepakat dalam kesesatan". Itu perintah Nabi untuk umat yang tak berjumpa dengan Nabi lagi, tapi ada ulama sebagai penerusnya Nabi.


Jadi jangan hanya "ngagugulung" kata bid'ah seperti seekor monyet yang "ngagugulung" kalapa yang gak tahu cara membuka isinya. 


Jangan merasa paling memiliki tapi tak tahu cara memanfa'atkannya. 


Dan perlu diingat. Bahwa hadist itu ada ribuan atau jutaan, baca dan fahami semuanya termasuk sabda Nabi tadi..."ikuti jumhur umatku"...dst.


Itulah artinya harus kaaffah dalam mematuhi perintah Nabi Muhammad SAW. Ikuti jumhur, itu juga perintah Nabi. Menolak perintah itu, berarti tak mau berislam dengan benar, tak mau selamat dan juga melawan Nabi. Sengaja tak percaya terhadap sebagian dari sabda Nabi. Munafik, kufur.


Bid'ah hasanah

Bid'ah sayyi'ah adalah dua hal yang berbeda seperti embe dan kuda.


Gitu saja kok repot. 

Wallahu a'laam bisshowaab.


Wassalam

Bandung, 25 Juni 2023

Posting Komentar

0 Komentar