Sejak bertahun yang lalu sesungguhnya penulis berkeinginan
untuk dapat mengunjungi pantai Santolo. Tetapi taqdir berkata lain, dua kali ke
Pameungpeuk, dua kali tidak jadi.
Akhirnya,
Saat-saat yang ditunggu itu tiba juga.
Ya, hari ini Sabtu 7 Mei 2016 aku sudah siap untuk pergi
kesana. Semoga lancar dan selamat sampai tujuan dan tak ada kekurangan apapun
sampai kembali lagi ke Bandung. Amin.
Pagi benar aku sudah bersiap, tak terasa sekarang sudah jam
tujuh pagi aku sudah berada di Pangalengan. Pagi yang cukup dingin.
Pangalenganpun kutinggalkan menuju ke perkebunan teh Cukul
dan ya ini masih berkabut dan masih banyak embun didedaunan dan juga di
rerumputan. Banyak sudah kenanganku tertinggal di Cukul ini. Terasa campur baur
antara senang dan senang bercampur haru, ya sedikit haru. Meungkin seperti
kembali mengingat masa lalu, yang semua sudah berlalu. Tetapi lupakanlah itu.
Dengan suasana yang pagi, dan suasana yang masih berkabut
tipis beserta dinginnya pegunungan ini. Bersama itulah aku terus melaju.
Sesekali berhenti untuk supaya bisa merasakan apa sih arti keindahan itu....?.
Tetapi semakin banyak aku melihat keindahan, maka semakin tak terjemahkan apa
itu arti keindahan. Rupanya kata-kata ku ini tak akan cukup untuk
mengatakannya. Keindahan itu hanya akan sempurna artinya jika kita bisa
menikmatinya sendiri. Jangan diwakilkan kepada siapapun juga.
Paling juga aku
hanya bisa membuatkan beberapa clue...atau sedikit bocoran-bocoran penting
saja.
Kebun ini masihlah sama seperti kebun Cukul dimasa lalu
waktu pertama aku kesini. Pemandangan di sisi kanan dan juga sisi kiri silih
berganti dan silih melengkapi. Menjadikannya sebagai hamparan mutu manikam
dikatulistiwa. Itu sebuah untaian tak berkata-kata, sebagai mentasbihkan
panorama tanpa bingkai. Seumpama intan berlian yang bertaburan dalam keagungan
penciptaan. Dibatas cakrawala dan birunya langit persada. Tanah air dan udara
Indonesia. Pangalengan yang permai.
Tak sadarkan diri ini, ternyata perkebunan itu sudah
berlalu. Maka ada dua jalan sesungguhnya, ambil kiri atau ambil kanan. Kalau ke
kiri itu adalah jalur lama yang 2011 aku lalui. Sementara jalur kanan adalah
yang setahun lalu kami lewati.
Ke kiri atau ke kanan sama saja, hanya kalau
kekiri itu adalah jalur maut, karena banyak sekali longsoran gunung dan jurang
yang dalam. Jelas aku harus mengambil jalur yang terbilang lebih aman saja.
Maka akupun langsung saja membelok ke kanan dalam pertigaan ini dan selamat
datang Garut.
Aku lupa tadi belum memenuhi tangki bensin, disinilah aku harus
mengisinya..di sebuah pertamini dengan sistem takaran pada galon ukur.
Kuisi secukupnya saja, asal nanti bisa kembali diisi di pom
bensin yang lebih resmi.
Tak terlalu kencang aku membawa motor disini, sebab
jalanannya itu belum aku kuasai. Beberapa kali aku membelok terlalu melebar,
membuatku menjadi lebih pelan-pelan. Untungnya disini jalur masih sepi,
sehingga aku bersyukur masih bisa selamat. Jalannya juga membelok secara tak
terduga dan juga menurun secara tajam dan curam.
Kamu harus mengutamakan
keselamatanmu disini, kecepatan harus nomor dua. Tanjakan dan pudunan di sini
jelas masih diatas 10 derajat. Itu tidak cukup aman untuk kendaraan besar dan
berat.
Sesungguhnya selalu saja ternyata dipagi ini aku bukanlah yang
pertama disini. Sudah banyak rombongan lainnya yang malah sedang beristirahat
di warung-warung kopi. Mungkin mereka berangkatnya sedari subuh atau jam lima
pagi. Sebab aku saja yang berangkat jam enam ternyata sudah ada mereka yang
duluan.
Kendaraanpun aku laju terus menyusuri kebun dan hutan-hutan
dengan bukit dan jurang-jurang. Lembahnya terhampar dengan pesawahan yang
terasering, hutannya berundak berbukit dengan pepohonan tua dan muda. Di
sela-selanya ada sungai yang mengalir, membelah perbukitan dan lereng-lereng
menuju ke lembah yang dalam. Jalanan ini ada diantara itu semua.
Waktunya kembali untuk rehat, sekalian minum kopi
Persib...kopi ABC. Dan juga memfoto suasana disini dengan kesejukan dan
pemandangan yang membentang. Juga katumiri yang berwarna merah kuning dan
hijau...melengkung diantara tebing yang kiri ke kanan, mewarnai curug yang tak
hentinya menurunkan kesejukan ke warung dan juga ke jalanan. Ini sungguh
spesial dan tak boleh dilewatkan.
Sewarna dengan suasana warung jongko dari bahan bambu dan
kayu yang sederhana alam ini menyatu dengan masyarakatnya. Kesejukan dan
berkerakyatan yang sederhana dan lebih ke seapa adanya.
Secangkir kopi hanyalah bumbu, menu utamanya adalah suasana
dan pemandangan.
Sudah kenyang dengan suguhan alam dan lingkungan disini,
akupun berpamit hendak melanjutkan perjalanan. Jalannya pasti akan selalu
berkelok karena kontur tanah dan kondisi alam nya yang berupa lembah dan bukit.
Dijalanan ini kita bisa lebih leluasa membetot gas lagi, jalanannya enak sekali
seperti dibiarkan aku sendiri yang menguasainya. Tak ada kendaraan lain, atau
kalaupun ada hanya sesekali berpapasan. Jalanan begitu lengang sehingga kamu
bisa belajar cornering disini atau bagaimanapun kamu maui.
Tak perlu lama, akupun terpaksa harus berhenti lagi karena
ada banyak orang sedang berhenti didepan sana. Hampir aku terpeleset karena
terlalu kencang membetot gas memasuki sebuah belokan dan turunan yang tak
terduga, tak taunya turunan yang curam dan licin. Pas aku rem beban motor tak
bisa terimbangi dan dari bawah ada kendaraan lain yang naik. Demi menghindar,
ban belakangpun ngepot ke kanan dan kiri, untung masih bisa terkuasai kembali
sehingga aku tak bablas meluncur dan jatuh. Tepat di bawah adalah jembatan dari
sungai yang cukup deras airnya dan ada sebuah warung yang ramai pengunjungnya.
Akupun berhenti.
Ternyata ada laguna di atas sungai itu.
Berdinding batu hitam yang bersih dan mengkilap, airnya
jatuh dari undakan diatasnya. Ada tiga undakan yang bisa kita selusuri. Mungkin
saja diatasnya lagi masih ada undakan-undakan berikutnya. Aku mengira pasti ada
pemandangan lebih cantik diatas sana. Tetapi itu sulit dijangkau karena
curugnya cukup tinggi dan juga dilingkupi oleh tebing batu yang jauh lebih
tinggi lagi. Sama sekali tak ada akses yang bisa dilalui, mungkin harus
menggunakan tangga atau alat panjat tebing untuk bisa menaikinya.
Tapi diundakan ketiga ini sudah sangat lebih dari cukup,
inipun tak banyak orang bisa sampai kesini karena jalurnya harus naik melalui
tebing dan jalurnya cukup sulit untuk orang yang tak biasa naik dan memanjat.
Hanya berpegangan kepada bebatuan dan akar juga pepohonan yang ada, jika kau
terlepas maka kamu akan terguling kebawah kepada bebatuan yang amat keras. Itu
berbahaya sekali.
Akupun dapat bermandi ria disini, ini adalah kolam khusus
buatku saja kali ini. Airnya terasa dingin dan bersih membersihkan. Temanku
yang tiga itu, aku yakin tak akan bisa naik kesini. Maybe.
Cukup lama sudah aku bermain air, berendam dan menikmati
seluruh pojok dengan berlangitkan pepohonan tinggi dan juga tebing batu yang menjulang
dan kokoh ada disekelilingku. Juga dari air curug yang deras meluncur kepada
kolam ini. Itu adalah sesuatu banget.
Ini bukan laguna seca di Amerika sana buat motogp, ini
adalah laguna indah yang nyaman dan tentram buat berendam dan bermain air. Memang
sih, selalu ada rasa was-was jika ada sesuatu yang tersembunyi dibawah air
sana. Tetapi logika mengatakan, ini cukup aman dan tak mungkin ada binatang-binatang
berbahaya berada dalam pusaran air yang sederas ini. Setidaknya itu yang aku
harapkan dengan do’a dan kewaspadaan.
Berendam sudah, mandi sudah, bermain air sudah, lebih dari
satu jam aku habiskan waktu disini. Akhirnya akupun siap untuk turun dan
kembali menuju perjalanan.
Waktunya untuk mengisi perut dan sholat.
Sudah itu semua akupun berangkaaat....!
Hanya setengah jam aku bisa sampai di persimpangan
Rancabuaya. Tadi itu aku benar-benar seperti kesetanan...karena jalanan ini
sangat enak sekali buat membanting motor ke kiri dan ke kanan, juga karena kontur
jalanan yang beraneka ragam dan masih sama sepinya. Sehingga itu semua memenuhi
syarat bagi kecepatan tinggi yang memuaskan bathin.
Aku juga heran kepada
diriku, kok belakangan ini begitu terobsesi dengan kebut-kebutan. Bukan sok
jagoan, tapi itu adalah satu kenikmatan terhadap kenikmatan lainnya. Kenikmatan
yang sambung menyambung, dan terus saja menggoda. Itu seperti dahaga yang
terpuaskan oleh setetes air yang cukup dingin. Ah gimana gitu....!
Rancabuaya bukan lagi tempat yang asing buatku, ini kali
ketiganya aku kesini. Disana itu ada lautan, ada hamparan karang, ada
tebing-tebing daan aneka binatang lautnya. Juga tak kalah mengundangnya adalah
makanannya. Warung si brow...!
Aku kembali ke Rancabuaya.
Tak perlu banyak aku bercerita lagi tentang Rancabuaya ini,
kamu bisa baca catatan ku terdahulu.
Hanya saja kali ini aku lebih jauh
menyusurinya ke ujung yang bisa terjangkau olehku. Bebatuan dan karangnya
begitu besar, dan banyak sekali berserakan dipantai ini. Kamu harus hati-hali
melangkah karena pada beberapa bagian itu adalah tajam dan juga licin. Selain
itu juga kalau kamu meleng atau kurang waspada maka kamu bisa terjerembab pada
lubang air yang dalam yang ombaknya datang membelah dan bisa menyeretmu
ketengah lautan yang ganas.
Sudah semakin jauh aku susuri pantai berbatu ini, disana
kamu akan dapati kolam-kolam kecil “buatan ombak”, dan juga ceruk-ceruk sebesar
“dulang” atau sebesar galon air.
Kalau kamu beruntung kamu akan melihat beberapa ikan hias bermarna putih dengan
strip hitam dan juga biru. Indah sekali ikan itu tercipta. Indah sekali.
Tapi tetap, itu bukan ikan untuk kamu bawa pulang. Itu
adalah tak cukup untuk menjadi pengganjal gigimu, itu juga terlalu mahal untuk
kamu bunuh. Biarkan mereka ada di alamnya, biarkan mereka tetap bahagia disana
menunggu ibunya, menunggu kawannya menuntaskan kehidupannya bersama seluruh
habitatnya. Ke laut, ke lautan yang luas. Jangan sampai mereka kehilangannya,
jangan sampai mereka dirundung nestapa gara-gara kejahatan kamu sebagai
manusia.
Jangan hilangkan keceriaan dari mereka, bolehlah kita ikut tersenyum
dan ikut merasa senang atas bahagia yang mereka punya itu.
Selamat tinggal kawan kecilku, selamat tinggal Rancabuaya
ku. Moga kelak bertemu kembali.
Akupun pergi dengan membawa senyum dari ikan, dan membawa
bahagia dari udang dan kepiting.
Bagian Kedua
Selanjutnya ke
Santolo Yang Tertunda-Tunda.
Pun jalanan ini sudah tak asing lagi buatku, aku sudah
meliwati jalan ini sebanyak tiga kali dan ini kali keempatnya. Pemandangannya
tetap sama, samudra dan ombak-ombak.
Tapi perjalanan ke dan dari Rancabuaya memang tak pernah
terlupakan. Dua kali sebelumnya kami memasuki Rancabuaya adalah melalui Gate
utama, tapi kali ini aku mengambil jalur alternatif yang melalui gang-gang dari
tanah dan pulangpun melalui jalur alternatif lainnya...
Dalam sepanjang perjalanan itu banyak ditemui pemandangan
yang lebih ke alam. Tak ada rekayasa teknologi ataupun bentuk apapun dari
pembangunan. Semuanya hanya jalur kambing dan jalur sapi.
Tetapi justru itulah sisi lain dari Rancabuaya yang
mempesona. Ini yang sempat aku katakan sangat cocok untuk dibuatkan sirkuit
MotoGP atau untuk suatu arena wisata terpadu, ataupun dibiarkan tetap alami
dengan kambing dan sapi yang merumput ada di padang tersebut. Semuanya akan
tetap only amazing....!
Rancabuaya akan selalu terkenang dalam kalbu.
Rancabuaya adalah kenangan itu sendiri...
Rancabuaya lautnya biru..
Rancabuaya banyak karangnya...
Rancabuaya eksotis wewarungnya...
Seperti kali ini tadi, Rancabuaya adalah tempat para manusia
datang dan lalu pergi
Dengan sepeda, dengan mobil maupun dengan motor....
Ada banyak rombongan bersepeda yang datang dari Cianjur
misalanya...para setengah baya dan yang lebih tua lagi. Menjadikan Rancabuaya
adalah destinasi buat mereka dan juga kami...
Melalui jalan manapun dan menggunakan kendaraan apapun kamu
kesini, kelak kamu akan tetap berniat untuk kembali lagi ke sini....
Ke Rancabuaya..
Rancabuaya tempat orang membuat kenangan,
Rancabuaya tempat orang membuang keluh dan kesah...
Rancabuaya dimata para manusia yang membutuhkan ketenangan
dan “sumber” tenaga baru.
Rancabuaya dengan segala aktifitas penduduknya dan nelayan,
adalah secuil surga di selatan pantai Jawa Barat.
Entah ada megis apa, entah ada magnet apa...
Rancabuaya menarik begitu banyak pengunjung setia...yang
datang bukan untuk sekali
Yang datang bukan untuk yang terakhir kali..
Ke Rancabuaya hanyalah untuk kembali lagi...
Suatu saat nanti.....!
Rancabuaya.....engkau adalah pesona
Rancabuaya engkau adalah angin yang datang kepada hati...
Kepada tenaga yang datang dari hati...
Optimisme...
Semangat baru...
Dan harapan...
Bersama bahagia dan bersama cita...
Rancabuaya....tempatmu adalah kenangan buatku....!
Hidup Rancabuaya...
Merdeka....!
Ini waktu sudah sekira jam lima sore, matahari sudah teduh.
Jalanan juga sudah tak membuatku panas dan pening. Aku tertarik dengan sebuah
pantai disini, aku gak tau namanya karena ini tanpa ada papan atau penunjuk
tempat. Ku kira aku harus berhenti dulu disini sebelum segalanya menjadi gelap.
Jalannya adalah tanah dan bebatuan dengan pasir yang mendominasi juga ada
banyak rumput dan rindangnya pepohonan dan juga pohon bayur (kelapa pantai).
Disekitarnya juga ada beberapa perkampungan tapi penduduknya masih sedikit.
Disana di pantai juga ada cukup pengunjung yang sedang asyik menikmati pantai
dan juga anak-anak yang sedang bermain air dan lain-lain.
Akupun turun, meninggalkan motorku disini dibawah pohon
bayur. Hanya ada satu motor lainnya dan juga mobil. Mungkin kebanyakan mereka
adalah penduduk setempat, atau orang dari sekitar tempat ini.
Setelah semuanya terkunci aman akupun pergi dengan perasaan
santai. Aku perhatikan sekeliling pantai ini. Pasirnya bersih dan juga ada
muara sungainya. Tetapi muara ini membentuk semacam kolam di antara sungai dan
lautan. Airnya yang mengalir kelautan lepas taklah terlalu banyak hanya seperti
selokan kecil saja. Disana banyak anak kecil bermain air, dan dimuaranya ada
petani nelayan yang sedang memburu ikan dengan “kecrik”. Di kanan ada air tawar lalu dikirinya ada air lautan.
Diantara keduanya adalah gundukan pasir dengan saluran pembuangan yang
melingkar membentuk bulan sabit. Airnya turun kelaut melalui jalur tersebut.
Akupun harus menyebranginya melewati kayu batang pohon bayur yang dijadikan
titian diantaranya.
Anak-anak seumuran SD dan SMP sedang asyik bermain bola.
Anak-anak yang lebih kecil lagi bermain air. Dan orang tua berada didekatnya.
Aku hanya memperhatikan butiran pasir ini yang semakin jauh kususuri pantainya
yang setengah melingkar ini, kulihat pasirnya menjadi semakin terlihat lebih
putih. Walaupun itu gak terlalu putih juga.
Aku mengira-ngira ini jauh lebih luas dibanding pasir yang
ada di Rancabuaya. Namun mungkin disini pantainya terlalu terbuka bila dibanding
Rancabuaya. Ini pantai belum ada sentuhan tangan manusia sama sekali. Ini masih
sangat original.
Kalau ditangan pemodal mungkin bisa menjadi destinasi yang
cukup menarik. Terutama jika akses menuju ke Laut Selatan secara keseluruhan
sudah semakin mudah.
Memang untuk membuat “pakidulan”
Jabar ini menjadi sentra pariwisata terpadu harusnya mulai dipikirkan
pembangunan jalan tol yang membuat waktu tempuhnya menjadi semakin singkat.
Jalan
vertikal utara-selatan yang ada saat ini masih terlalu kecil dan juga terlalu
berliku-liku, membuat jarak yang relatif dekat menjadi terasa jauh sekali.
Mungkin perlu dibangun juga kelanjutan jalan tol
Soreang-Rancabuaya, atau malah Buah batu-Pangalengan-Rancabuaya.
Setengah enam sudah. Waktunya aku meninggalkan pantai ini.
Perjalanan menuju Santolo kalau santai mungkin satu jam
lebih, kalau kencang mungkin antara 30-45 menit saja.
Hari menuju maghrib pun aku melaju diantara jalanan yang
penduduknya masih jarang ada ini. Tanah-tanah pertanian dan perkebunan sangat
mendominasi dikiri dan sisi kanan jalan seperti sebelumnya. Benar saja aku bisa
segera sampai di Pameungpeuk. Sengaja aku ke Pameungpeuk dulu karena khawatir
kalau langsung ke Santolo nanti disana tidak ada cukup keramaian untuk
menunjang malam yang panjang.
Rencanaku adalah mencari penginapan di Pameungpeuk dan agar
mudah mencari makanan dll. Sudah aku susuri Pameungpeuk ini, tetapi rasanya
tidak ada tempat yang sesuai buatku. Maka akupun berhentilah lagi disebuah
warung untuk makan dan jajan. Kesempatan juga buat bertanya tentang segala hal
keadaan di Pamenugpeuk juga Santolo.
“Di Santolo juga ramai, ada penginapan, ada banyak warung.
Juga ada Mesjid atau Mushala”. Kurang lebih begitulah kata si akang warung.
Maka akupun pergilah ke Santolo.
Hari tentu sudah malam, sekitar setengah tujuh malam aku
sampai di daerah pantai Santolo ini. Yeah ternyata disini juga ramai, mungkin
lebih ramai dibanding Rancabuaya. Penginapan juga sangat-sangat banyak...ini lebih
besar dibanding Rancabuaya. Oke lah akupun bertanya pada beberapa pemondokan
sebelum akhirnya aku memilih satu diantaranya.
Tidur haruslah aman dan tenang, terutama juga kendaraan.
Kukira ini tak juga berbeda dibanding tempat-tempat wisata lainnya yang sudah
Go Public yang ada di Jawa Barat.
Sudah siap segalanya, sholat sudah apapun
sudah, maka akupun keluar penginapan untuk melihat udara segar. Malam ini
ternyata bertepatan dengan pertandingan Pusamania FC vs Persib. Kami pun
beramai-ramai menonton di emper sebuah warung, bersama anjing dan juga silaru.
Pertandingan sangat melelahkan buat penonton, karena banyak
sekali peluang tetapi tak juga berbuah gol. “Cape hate mun kitu teh...!”, pertandinganpun berakhir tanpa ada
gol. Itulah pertandingan, tak selamanya sesuai harapan. Bila melihat hasil,
malah lebih sering dikecewakan dibanding terpuaskan.
Tapi yang penting kita
tetap dukung Persib saja....tetap satu hati dan semakin didepan. Itu semua
hanya permainan dan hanya olahraga dan hiburan. Tak boleh terlalu menjadi larut
dalam hari-harimu, secukupnya saja.
Karena malam semakin menjadi, maka akupun pergilah untuk
istirahat, besok akan melihat pantai ini dengan lebih jelas dan kita lihat ada
pemandangan apa disana.
Tidur yang tadi sudah berlalu, ini hari sudah berganti, Ahad
8 Mei 2016. Santolo Beach.
Sangat pagi ketika aku sudah berada di bibir pantai ini,
mataharipun belum memperlihatkan cahaya terangnya.
Dari balik pegunungan
Cikuray sana mulai terlihat kilatan-kilatan cahaya menguning menyapu cakrawala
daratan Garut. Menyembulkan pegunungan-pegunungan yang ada di bawahnya.
Menjadikan deretan pegunungan yang berumpak dan berundak jauh di timur Santolo.
Samua masih terlihat samar hitam kebiru-biruan.
Namun ternyata, dipantai ini
sudah banyak orang yang mendahului aku. Padahal udaranya masih terasa cukup
adem agak dingin. Kalau aku sih belum beranilah bermain air, “tiris keneh coy...!”.
Tenda orang juga masih berdiri didepan saya ini, menunjukkan
belum saatnya untuk memulai hari.
Tapi mungkin orang, lain lagi pemikirannya, sudah tak sabar
sedari malam menantikan saat-saat ada pasir dan ada ombak. Terutama anak-anak
dan juga ibu-ibu yang menyertainya. Sejak dari malam memang aku saksikan sejak
kedatangan beberapa rombongan dengan mobil bak terbuka dengan hanya ditutupi
oleh terpal dan beralaskan kasur dan tikar.
Dengan kendaraan seperti itulah
mereka datang, dan juga diatas mobil itu pula mereka menghabiskan separuh malam
di Santolo.
Mungkin mereka terlalu cepat datangnya, sehingga harus bermalam
diatas kendaraan. Harusnya kan pas datang ke sini ya sekitar menjelang subuh
lah...!, jadi bisa langsung menuju pantai.
Entahlah mungkin mereka juga gak mau
berangkat terlalu tengah malam dan juga mungkin tak mau datang justru malah
kantuk. Itu mungkin yang benar.
Aku sungguh belum siap kalau untuk berbasah-basah. Aku hanya
bisa jalan ke kiri dan lalu kekanan. Menyusuri ini pantai dan mengambil manfaat
untuk kesegaran dan kesehatan tubuh dan pernapasan.
Semakin lama hari semakin jelas. Lautanpun semakin kentara
warnanya. Dikanan dari upuk timur mentari mulai membuat langit terlihat warna
putih dan sedikit biru meninggalkan warna jingga dari samudra.
Lukisan-lukisan
pada langit silih berganti, menjadikan dia diorama yang indah. Membuat sejauh
mata memandang hanyalah Kekuasaan Allah SWT.
Air ombak yang datang membuih, bergulung-gulung lalu
berurai, menyibakkan pepasir diantara pagi yang redup. Manusia datang, manusia
pergi.
Begitu banyak kehidupan yang terpampang, semoga kita semua disini,
dipantai ini mendapat kebaikan dan mendapat sesuatu yang bisa dibawa pulang untuk
hari esok kita semuanya. Untuk membuat kita menjadi insan, iman dan ihsan.
Tentu saja, hari ini akan berlalu seperti berlalunya hari
kemarin dan sejuta hari-hari yang lalu.
Maka perutpun mulai berbicara kepada usus dan kepada lambung
dan kepada dada dan tenggorokan. Mereka meminta air dan meminta asupan nutrisi.
Akupun pergi untuk mencari apa yang bisa kita makan. Ya, nasi bungkus sudah
cukup buat pagi ku.
Bagian Ketiga
Banana Boat.
Aku kira itu adalah permainan air yang sangat menarik
disini. Sudah berapa “rit” para
pengusaha boat itu menarik pengunjung ketengah lautan, dan menumpahkannya di
sana berkali-kali. Aku hanya memperhatikannya dari atas sini. Lama kelamaan aku
mengatakan dalam hatiku, aku juga pengen mencobanya.
Dan akupun ada dalam daftar tunggu, untuk beberapa giliran
berikutnya.
Akhirnya kesabaran menunggu itu ada hasilnya juga, kini
giliran aku ada disana. Aku kebagian berada di posisi terdepan dari banana
boat, akupun minta ada di photokan oleh si bapak pemilik pondokan tadi. Oke
siap...?...oke kataku....!
Kamipun siaplah pergi dengan tarikan seutas tambang pada
boat didepan yang menjadi penarik banana yang kami tunggangi berenam ini.
Beuss...begitu tali terhentak yang ditarik kepada banana didepan tanganku.
Hampir saja kakiku terkait padanya. Secara cepat banana kamipun meluncur
menembus ombak dan lautan.
Semakin
cepat mereka menarik menuju ketengah, kami tanpa suara apapun karena ombak yang
menerpa banana tentu membuat kami lebih waspada dan do'a atau ucap istighfar
yang terbaik. Semakin kencang boat itu melaju, ini aku kira akan menuju
pembantingan yang pertama.
Aku sudah faham kapan boat didepan itu akan
membalikkan banana kami, aku sudah tahu betul detik-detiknya. Maka disaat
tarikan tambang ini menjadi kendur karena boatnya membelok secara tiba-tiba, ..........
......boat kami pun terbalik dan semuanya terlempar kepada laut.
Hanya aku saja dan juga dua keeper yang masih bertahan diatas banana. Yang lain
tercebur semuanya.
Semua kami pun naik kembali, dengan basah dan kuyup. Aku belum
seperti itu. Maka kembali sang supir boat menghidupkan gasnya sedikit demi
sedikit lalu kencang kembali. Semakin menjauh ke laut dan aku sudah bersiap
akan situasi yang sama seperti tadi.
Dan banana kamipun dibantingnya lagi,
terjatuhlah kami semua, kecuali aku dan dua orang keeper. Aku melihat supir
boat semakin penasaran. Lalu boatpun menariknya lagi kepada banana kami dan
meluncur dengan kencang diantara laut dan pantai. Wes.....wes...dibantingnya
lagi banana kami, dan kamipun benar-benar terbanting semua, kecuali seorang
keeper.......
dan aku.
dan aku.
Satu keeper sudah memperlihatkan pandangan yang tak seteduh tadi
lagi. Mungkin dalam benaknya kok aku belum terjatuh juga.....?.
Lalu kembali
benana kami ditariknya dengan kencang mungkin dengan trik baru lainnya. Aku
sudah siap, selalu siap akan detik yang dia rencanakan lagi.
Mengitari pantai
Santolo dengan banana boat ini sungguh pemandangan dan perasaan yang sangat
baik dan menyenangkan. Lautannya juga cukup tenang sehingga kalaupun kami
tercebur kelaut, itu tidak mengapa. Apalagi kami semua tentu menggunakan rompi
pelampung agar kami tetap mengambang dipermukaan laut.
Boat nya semakin kencang menuju keramaian perenang, kamipun
dibantingnya lagi. Kali ini semuanya tercebur termasuk kedua keeper. Akupun
meraih-raih teman dibelakngku agar bisa naik kembali.
Suasana di air dalam dan samudra yang luas...tak lah sama
seperti kamu tercebur didalam kolam apalagi di empang.
Hati kamu akan ciut karena apalagi untuk pertama kali pastilah kejatuhanmu
diatas samudra adalah sesuatu yang menegangkan.....kamu akan khawatir dan juga
mungkin bisa celaka karenanya....atau berujung yang tragis. Antara hidup dan
mati, itu mungkin perasaanmu...
Pun juga sama dengan kami di laut Santolo ini, bukan soal
jatuhnya....tetapi soal laut dalamnya...soal binatang-binatang aneh yang ada
didalamnya...buaya nyasar, lumba-lumba, kakap, tenggiri, cumi-cumi raksasa atau
mungkin hiu dan paus yang besar...semua mungkin saja ada didalam sana. Itulah
yang membuatmu tak ingin berlama-lama ada dilautan. Itulah yang membuatmu tak
ingin menjadi santapan empuk buat mereka. Kakipun meronta-ronta,
menggapai-gapai apa saja yang terdekat, agar segera dapat naik lagi keatas
perahu banana..., itu adalah seakan engkau dikejar anjing pitbull atau dikejar
hantu dalam mimpi yang berat.
Pucat adalah keniscayaan, kalut adalah hal yang lumrah....!
Kamipun naik lah lagi ke atas banana ini....dengan rasa takut yang tetap...tetapi memang menyenangkan....sih...!
Kamipun naik lah lagi ke atas banana ini....dengan rasa takut yang tetap...tetapi memang menyenangkan....sih...!
Lautan yang gak tau berapa puluh atau ratus meter ini, bukanlah
sesuatau yang cetek atau sepele...kamu bayangkan ini adalah laut dan samudra
yang ujungnya itu entah dimana....!
Kembali.......
....itu hanyalah reka-reka atau kira-kiranya demikian....sebab sampai detik ini aku belum merasakan terjatuh dari banana.
....itu hanyalah reka-reka atau kira-kiranya demikian....sebab sampai detik ini aku belum merasakan terjatuh dari banana.
Maka supir boat dan keeper pun menyerahlah....!
Dan
....akhirnya permainanpun diakhiri. Kami kembali kepada pantai.
Sesampainya di podokan.....akupun menghampiri si kang Fulan...sebut saja begitu namanya...
....akhirnya permainanpun diakhiri. Kami kembali kepada pantai.
Sesampainya di podokan.....akupun menghampiri si kang Fulan...sebut saja begitu namanya...
Mana kang photona...?, cobi ninggal...?..
Akupun meminta kameraku untuk aku lihat hasil jepretan si akang tadi....bagaimanakah photoku saat aku berada di banana boat tadi. Apakah nampak gagah, ataukah nampak cakep, ataukah tampak unyu-unyu....
nanti biar photonya aku pasang dalam album Santoloku.
Akupun meminta kameraku untuk aku lihat hasil jepretan si akang tadi....bagaimanakah photoku saat aku berada di banana boat tadi. Apakah nampak gagah, ataukah nampak cakep, ataukah tampak unyu-unyu....
nanti biar photonya aku pasang dalam album Santoloku.
Namun sayang......hadirin!
Setelah diputar dibolak-balik....ternyata hasilnya nihil , nol
persen....!$#*@^%
Oh aku yang sudah berjuang ekstra keras diatas banana tadi itu, tapi ternyata semua tidak ada dalam kameranya...?...
Oh aku yang sudah berjuang ekstra keras diatas banana tadi itu, tapi ternyata semua tidak ada dalam kameranya...?...
Padahal itulah momen yang jarang dan bahkan yang pertama buatku....!, sedih dan tanda tanya ada dikepalaku....!
Ya sudah tak boleh ada kecewa atas apa yang tidak menjadi taqdir kita. Mau apapun, itu sudah terjadi dan gak bisa kembali. Tak ada pilihan lain selain lupakan dan lakukan yang lainnya saja.
Akupun lalu bermain airlah dipantai dan bermandikan ombak dan
barsabunkan butiran pasir yang membersihkan pori-pori tubuhku. Bermain air laut
tentu adalah kesempatan langka.
Sudah puas bermandikan air, sayapun pulanglah kembali ke
pondokan. Dan bersiap lagi untuk explore lainnya.
Ya, menuju curug ci laut
eureun...!, dan jembatan gantungnya.
Bagian Ke Empat
Cukup berjalan 5 atau sepuluh menit akupun sampai di curug ci
laut eureun. Tapi ternyata untuk kesana itu kita harus menyebrang dengan perahu
sewa, maka akupun memanggilkan perahunya dan menyebrang. Hanya lima ribu.
Sudah menyebrang, akupun disuguhkan oleh daratan lainnya
yang ternyata disini bertuliskan pantai Sayang Heulang.
Oh aku mulai faham, ternyata antara pantai sayang heulang
dan pantai Santolo itu adalah berdampingan. Keduanya hanya terpisah oleh sebuah
sungai dan muara, yang diantaranya juga ada sebuah pulau. Mungkin itu adalah
pulau Santolo. Nanti biar aku cari tahu dulu.
Ternyata pantai Sayang Heulang ini tak kalah resiknya jika
dibanding Santolo, atau maksudku ini memang lebih bersih dibanding Santolo.
Tetapi memang disini tak ada deburan ombak karena ombaknya ada jauh ditengah
yang membentur gugusan karang dan tidak secara langsung membentur bibir pantai
ini, itu agak mirip dengan Sayang Heulang disayap kiri yang dahulu pernah kami
singgahi, yang itu artinya membuat Santolo yang Tertunda ini. Tetapi
disisi-sisi pantai ini airnya sangat jernih dan juga cukup baik dan aman buat
anak-anak bermain air.
Selain itu juga suasananya lebih tenang, tak ada kegaduhan
manusia atau kebisingan dan keributan. Fure semuanya tenang dan santai.
Kucoba lihat beberapa
langkah menyusuri sisi pantai ini, semakin jauh menuju sebelah kiri arah laut
dari pantai ternyata semakin dekat ombaknya ke pantai.
Dan diujung tanjung ini
ombak menjadi benar-benar menerpa pantainya dengan deburan yang cukup besar
karena disini memang tidak ada karangnya. Mungkin disekitar ini bisa digunakan
untuk berenang atau bermain ombak, tapi nyatanya kali ini tak ada seorangpun
yang disana. Entahlah mungkin karena disini cukup terik juga mataharinya.
Entahlah juga kalau tadi pagi atau nanti sore mungkin akan ada yang bermain
disini. dan memang ombaknya juga terlalu kencang
Sudah yakin dengan apa yang aku lakukan, akupun kembali
menuju tempat semula aku datang tadi. Aku berpikir tentang bagaimana
menyebrangi curug ci laut eureun ini untuk ke pulau diseberang sana...?. aku
lihat arus dibawahnya cukup deras, bisa-bisa aku hanyut kebawa ombak menuju
sungai dan muara yang hijau menandakan kedalamannya. Aku bisa selesai disana, hampir
pasti.
Ya sudah mungkin aku harus kembali ke asal melalui jalur
semula. Menyebrangi dengan perahu ke daratan santolo. Good bye santolo
island...!
Tapi tunggu dulu mungkin aku masih bisa melewati jembatan
gantung ini. Kalau aku lihat sih semua konstruksinya sudah rusak, besinya
berkarat dan kayunya sudah lapuk. Ah ini sangat beresiko tinggi, sekali
terjatuh benar-benar berakhir semua cerita disini. Lagipula jembatan ini sudah
ditutup oleh palang bambu dan titiannya sudah banyak yang lepas. Ah aku jadi ragu
juga untuk menyebranginya.
Namun kelihatannya kan ku coba meliwatinya juga agar
sekalian aku bisa menyusuri pulau Santolonya.
Dan akupun dengan sangat
berhati-hati dan dengan keringat dingin dan keringat panas keluar dari seluruh
tubuhku. Aku benar-benar menyebranginya.
Tapi kalau kamu tahu, aku sangat
menyarankan untuk tak mencoba menyebranginya. Sebab diujung daratan pulaunya
ini jembatannya sudah sangat buruk sekali, dan aku sungguh bisa melaluinya
hanya karena keberuntungan yang sangat besar.
Aku sungguh melangkah dengan cara
jinjit dan dengan cara menyebar beban tubuh kepada lengan dan otot paha, bukan
ke ujung kaki, karena pijakan kita sungguh tak akan bisa menahan beban tubuh
kita. Aku hanya diajari oleh seekor kucing yang mendahului aku menyebrangi
jembatan gantung ini.
Dan juga do’a yang pasrah dan do’a yang sungguh-sungguh
karena aku tak mau tergelincir dan aku tak mau terjatuh. Alhamdulillah aku bisa
selamat kali ini. Lain kali aku sendiri tak akan berani melakukannya lagi.
Biarlah lebih baik memutar saja.
Sayang sekali memang jembatan gantung ini tetap dibiarkan
ada, karena itu akan membahayakan jika ada orang yang terlanjur sudah ditengah,
dan terlanjur sudah ada di ujung seperti aku tadi. Mau kembali lagi malah itu
menambah peluang terjatuh jadi semakin besar. Mau lanjut juga sangat mengerikan
karena kerusakannya jauh lebih parah.
Bagian Ke Empat
Santolo Is Amazing Trip
Dan seharusnya, segeralah dibangun jembatan yang baru.
Itu akan menjadi spot yang cantik untuk kaum narsis, dan tempat yang bagus buat berphoto.
Itu akan menjadi spot yang cantik untuk kaum narsis, dan tempat yang bagus buat berphoto.
Pulau santolo disisi ini juga sudah sangat dipenuhi oleh
pepohonan dan rerumputan yang tinggi. Sehingga tidak ada akses lagi untuk kita
lalui ke tengah pulau. Maka akupun sungguh sangat berhati-hati dan sangat
was-was karena takut ada ular atau binatang berbahaya lainnya dari semak
belukar yang lebat itu.
Akhirnya tak ada pilihan lain kecuali menyusurinya dari sisi
terluar pulau melalui pantai yang banyak dipenuhi bebatuan karang yang beraneka
bentuk. Disela-sela karang tersebut juga terhampar pasir putih yang sangat
bersih dan kelihatannya sangat jarang di injak oleh kaki manusia. Hanya saja
hamparannya itu kecil-kecil, dan secuil-secuil jadinya ini tidak untuk
keramaian.
Disini sangat cocok hanya untuk dinikmati saja pemandangannya,
dan juga untuk mengamati hewan atau burung liar. Burung khas laut, mungkin
burung camar.
Dan battery kameraku juga sudah low bet teman...!, jadinya tak
banyak pemandangan yang berhasil aku jepret.
Begitulah kira-kira selayang pandang pantai Pulau Santolo ini,
disisi yang sudah ditinggalkan para pengunjungnya ini, may be.
Akupun melanjutkan kepada sisi utama pulau Santolo ini, ya sebuah ex dermaga
kapal....
Disini kita bisa amati bagaimana dermaga ini dahulu dibangun
orang. Butuh rekayasa teknik yang rumit dan sulit karena arus lautnya yang
tentu menjadi tantangan tersendiri. Tapi tentu tak ada sesuatu yang sulit kalau
di pelajari caranya. Hanya saja bagi seorang awam sepertiku, ini adalah sebuah
karya yang patut di apresiasi, dan juga patut untuk diacungi jempol.
Kucingpun
Bersantai...!
Bukan hanya manusia yang bisa ke pantai.
Bukan hanya manusia yang bisa bersantai.
Meong pun bisa menjadi anak pantey...!
Bersantai di pantai memang mantap brow...
Dengan angin yang mendesir,
Dengan angin yang semliwir...
Dengan dedaunan dan nyiur yang melambai....
kantuk pun tak tertahan lagi....!
zzzzzzzzzzzzzzzz....
Mancing Mania di
Santolo
Jika saja aku berniat untuk mancing, itu akan menjadi
sesuatu yang mungkin akan menjadi pengalaman tersendiri. Merasakan tarikan dari
ikan di lautan akan berbeda dibanding di sungai apalagi di “balong” misalnya.
Bagi nelayan dan orang-orang disini, memancing dilaut tentu
bukanlah sesuatu yang aneh. Bahkan itu mungkin sesuatu yang bersifat keseharian
bagi mereka.
Tapi buatku, itu akan menjadi suatu pengalaman yang beda.
Pengalaman pertama dan sesuatu banget apalagi jika bisa mendapatkan ikannya.
Akupun cobalah memancing disini, umpannya pun adalah cukup
rumput laut saja.
Tapi itu hanya untuk diphoto saja kawan...!. jepret, ya sudah
pancinganpun aku kembalikan lagi kepada si empunya.....he he....
Sebenarnya masih banyak yang ingin diceritakan, spot
memancing, spot untuk botram dan juga spot untuk bakar ikan, semua ada di pulau
Santolo ini. Bahkan juga dipulau ini masih bisa kita temui monyet-monyet liar
dari atas hutan. Dan kalau perlu berbelanja hasil kerajinan dan pakaian khas
Santolo juga ada banyak terjajakan disini.
Akupun segera bersiap pulang saja karena hari semakin panas,
jam sudah 12.30 waktu Santolo.
Sampai jumpa di kesempatan lainnya....
Wassalam ‘alaik.
0 Komentar