EDISI TALEGONG


Tong Ulin Wae
EDISI TALEGONG


My trip my adventure kali ini adalah menyusuri Cukul Bandung Selatan dan Talegong di Garut.
Sehabis dari Cukul yang indah dengan hamparan perkebunan teh itu penulis melanjutkannya ke wilayah lebih selatan lagi yaitu Talegong Garut.

Sesampainya dipertigaan Genteng Talegong, penulispun berhenti dulu untuk menjalankan Ashar tepat di sebuah mesjid yang ada disana karena setibanya disana memang bertepatan dengan berkumandangnya adzan Ashar.

Dari sana penulis berfikir untuk menyusuri jalan yang ke kiri yaitu jalur lama menuju Cisewu dan Rancabuaya. Itu adalah jalur legendaris yang pada akhir tahun 2011 pernah penulis susuri.

Waktu itu jalur baru belumlah ada, atau baru saja sedang dibangun saat itu. Sehingga jalur lama ini adalah jalur sebenarnya menuju pakidulan Cisewu.

Menyusuri jalan ini adalah seperti kembali ke jaman terbelakang. Jalannya masih sama seperti lima tahun yang lalu dengan aspal-aspal yang tidak mulus dan juga tentu tak semulus jalur yang baru. Tapi jalur ini menawarkan pemandangan yang jauh lebih orisinil dan lebih eksotis.

Dan untuk maksud mengenang masa lalu juga, maka penulispun ambil jalur kiri ini dan ingin melihat apa yang terjadi disana saat ini.


Cinta itu saling mendo’akan tanpa jeda. Tanpa mengenal berkesudahan. Itulah cinta sejati.
Kali inipun aku ingin kembali menyusuri jejak-jejak di masa lalu. Sebagai tanda cinta yang tak pernah pudar tersebut. Cinta dengan suasananya, cinta dengan pemandangannya.

Menyusuri jalur ini memang dirasa terlau jauh dan lama mungkin karena jalannya tak mulus dan juga gak lebar.

Lama terasa dan seakan tak pernah sampai-sampai ke tujuan. Selain itu juga karena dijalur ini sangat banyak titik pemandangan yang bagus untuk dinikmati dulu dan baik untuk bersantai.

Tetapi melewati jalur ini kita butuh kewaspadaan yang lebih karena jurang menganga dikiri dan juga tebing yang curam dan tinggi bisa roboh sewaktu-waktu dari sisi kanan.


Hujan “muruhpuy” membuat jalan juga menjadi lebih licin. Tetapi hal yang paling berbahaya adalah kondisi jalannya yang berada di “gawir-gawir” dari bukit yang tinggi dan memanjang sepanjang Talegong ini.

Dari dua kali penulis kesini, 5 tahun yang lalu dan sekarang. “Welcome baby and adios brothers...!”, mungkin seperti itulah.

Tetapi hal yang masih sama adalah longsoran. Seperti 5 tahun lalu, saat inipun ada beberapa tempat dari jalur ini yang terjadi longsoran.

Karena material dari bukit disini memang beraneka ragam, dari tanah merah, tanah yang gembur, bebatuan cadas maupun bebatuan kerikil dan juga pasir. Sehingga ada beberapa jenis tanah longsor disini, ada longsoran tanah biasa, ada longsoran batu-batu kecil dan bahkan ada longsoran bebatuan yang sebesar carangka atau bakul untuk kambing dan lebih dari itu.

Dibeberapa lainnya juga ada longsoran dari kerikil bercampur pasir. Namun sama, itu juga terjadi pada lima tahun yang lalu.


Maka satu hal yang teringat dalam benak adalah perbanyak istighfar karena segala sesuatu bisa terjadi didepan kita. Hanya kepasrahan total dan dzikir yang membuat kita bisa tetap dijalur ini.

Lama-kelamaan, semakin jauh jalan ini disusuri keberanian mulai tumbuh dan kekhawatiran mulai berkurang. Itu karena ternyata jalur ini masih termasuk jalur yang hidup, ya setidaknya untuk para penduduk lokal yang ada disekitar jalur ini.


Dalam sebuah pangkalan ojek yang kosong ada sebuah jalan kecil yang menuju kebawah ke lembah-lembah.
Maka penulispun menuruninya dan bermaksud untuk menjelajahinya, apa dan bagaimana keadaan di bawah sana.


Karena kalau dilihat dari sepanjang jalan tadi penulis bisa menyaksikan pemandangan lembah dibawah sana yang sangat menakjubkan. Itu bagai Ngarai Sihanok di Sumatra Barat mungkin atau juga seperti pedalaman di Tiongkok sana mungkin.



Kalau kayak Prapat danau Toba sih gak lah, itu terlalu bagus. Yang jelas itu adalah sesuatu yang ajib luar biasa. Perkampungan dengan latar gunung dari batu yang sangat menjulang dan kokoh. 


Seandainya gunung itu roboh maka sungguh itu tidak kita harapkan sedikitpun, sebab dibawahnya itu ada beberapa perkampungan dan rumah-rumah penduduk.


Disatu sisi ini seperti di Swiss juga dan disisi lain ini juga mungkin seperti di Himalaya sana. Yang sama adalah lembahnya yang dalam (sebelumnya penulis mengira disana itu tak ada rumah atau perkampungan). Ternyata perkiraan penulis adalah salah besar.
Disana ternyata ada perkampungan juga.


Kubang Runtuyan, itulah nama kampung yang tepat ada di bawah bukit batu tersebut. Dan kampung itu bukan satu-satunya kampung yang ada di sepanjang sungai Cilaki ini, ke hulu maupun ke hilir akan kita dapati banyak perkampungan lainnya. 


Sungguh itu adalah perkampungan yang menawan sekali. Kalau ini disentuh oleh tangan kreatif bisa jadi akan menjadikannya sebagai destinasi kepariwisataan yang cukup menarik.
 Ya setidaknya untuk bisa bermalam disana adalah akan menjadi sesuatu pengalaman yang cukup berbeda.


Hanya saja memang butuh beberapa perbaikan akses jalan. Dan mungkin juga perlu ada investor yang kelas kakap. Pemandangan disana itu adalah terdiri dari hamparan persawahan yang tersusun rapih dan juga pemandangan alamnya yang masih bersih dan juga masih berkabut.


Selain itu juga dilengkapi dengan gunung batu yang menjulang dengan sudut 90 derajat, itu adalah sesuatu yang Maha Karya, autentik dan orisinal.

Bahkan tak jauh di atas persawahan yang terasering itu juga terdapat sebuah curug yang memancarkan air dari bukit-bukit diatasnya.


Semua itu merupakan pesona yang menantang untuk diexplore. Seperti yang penulis lakukan saat ini.
Namun sayang sekali lagi kendaraan penulis tidak menunjang untuk itu dan waktu juga sudah semakin sore, sehingga penulis tidak bisa sampai ke tempat-tempat dimaksud. 


Suatu hari penulis akan kembali lagi, untuk menuntaskan misi tersebut (insha Allah).

Satu hal yang kembali menegaskan penulis adalah; ternyata, nyatanya banyak hal yang sama sekali belum diketahui oleh penulis dimuka bumi ini, terlalu nihil dan terlalu tak berartinya diri ini.

Jelaslah itu. Itu membuat penulis hanya bisa mengucapkan subhaanallah dan astaghfirullah. Bahkan ke tempat-tempat yang mungkin itu tak lah terlalu jauh dari tempat kita selama ini, Bandung dan Garut Selatan misalnya.

Talegong ini adalah suatu kawasan kecamatan yang ada di kabupaten Garut, tak jauh dari Pangalengan dan berbatasan langsung dengan perkebunan teh Cukul di Bandung selatan tersebut.

Hampir tak ada daratan yang dalam arti sebenarnya, karena disini itu sama berupa gawir-gawir atau lereng-lereng dari perbukitan dan dengan lembah-lembah yang sangat dalam dan memanjang, tak ada dataran yang luas atau lebar.




Semuanya tentang lembah, sawah, sungai, hutan dan termasuk curug juga kabut.

Tapi itulah yang menjadikan ini tempat sebagai secuil nirwana di selatan.
Penulispun tak pernah bosan untuk berhenti dan mengambil beberapa potret darinya.

Barangkali perjalanan kali ini bukanlah perjalanan yang terbaik, tetapi perjalanan kali ini hanya membuat penulis berharap akan semakin banyak lagi perjalanan berikutnya.

Penulis jadi tahu bahwa begitu banyak dan luasnya tempat-tempat yang belum kita datangi. Itu menjadi trigger menjadi pemicu untuk perjalanan berikutnya.

Melewati jalur lama ini kita bisa melihat cukup banyak curug yang mana curug itu berada tepat dipinggir jalan. 


Memang curugnya gak besar dan gak tinggi. Tetapi itu tetap saja berupa curug alam yang eksotis dan menyenangkan untuk berada disana.
Ada beberapa curug yang bisa penulis temukan tepat dipinggir jalan atau jembatan, kalau gak salah hitung total mungkin ada 8 buah curug.

Curug-curug yang mahal sekali nilainya, karena tak semua tempat ada memilikinya. Dan karena untuk membuat yang semisal dengan itu akan membutuhkan bermilyar-milyar dolar atau yen.
Sanes... “yen teu boga duit” atawa  yen sajabina nya...? “.

Namun  disini adalah gratis langsung dari alam lengkap dengan sumber mata airnya dan juga kemewahan dari kesejukan hawanya.


Kalau kita pasang Air Conditioning misalnya, itu akan membutuhkan bermilyar PK dan tentu berapa biaya kelistrikannya. Namun disini semua itu tis gratis. Hal yang tidak murah tentu.

Pesona dan kekayaan ini jelas sangat patut untuk dinikmati dan disyukuri, karenanya maka hendaknya kita bisa terus memelihara dan melestarikannya.

Jangan sampai kemewahan yang ada itu menjadi sirna karena kerakusan atau “kebodohan” manusia-manusianya yang salah dalam mengaktualisasikan dirinya terhadap alam ini.
Nikmati pemandangannya dan lestarikan alamnya.

Dalam keadaan bagaimanapun dan kapanpun, hutan harus diartikan dan dipandang sebagai bagian dari nafas dan hidup serta mati kita.

Kita harus memastikannya tetap lestari dan tetap jadi rimba.
Lenyapnya hutan, lenyapnya air. Lenyapnya air, lenyapnya kehidupan.

Wassalam

Posting Komentar

0 Komentar