Bagian ke dua.
BANTAHAN TERHADAP
BERBAGAI OPINI NEGATIF
BAD OPINION VS GOOD OPINION
Berbagai cara digunakan untuk membuat orang menjadi hilang
kepercayaan kepada sumber berita atau narasumber keagamaan yang kredibel.
Jika pra ulama saja sudah di buat sedemikian buruknya,
apalagi bukan para ulama, presiden atau bahkan para ustdaz atu para pewarta
lainnya. wartawan misalnya. Sehingga masyarakat digiring supaya kehilangan
pigur pemimpin. Dalam keadaan psikologi
masyarakat yang gamang demikian itu, mereka akan dengan mudah di obok-obok,
diombang-ambing yang akhirnya prustasi, hilang arah dan marah.
Kalau masyarakat sudah dalam kondisi marah sdemikian, tak
ada yang bisa menghentikan mereka. Maka muncul para pembisik yang membisiki
tipu daya halus dengan berbagai janji dan iming-iming atau bahkan dengan
menggunakan simbol-simbol agama. Keimanan yang ada pada mereka akan membuat
mereka bergerak sebagai bentuk ekspresi keimanannya. Misal seperti di era
DI/TII di Jawa Barat atau Kahar Mujakkar di Sulawesi Selatan, atau
gerombolan-gerombolan lainnya.
Penelitian-penelitian ilmiah sudah banyak dilakukan yang
mengupas tipikal kaum sumbu pendek ini. dan hubungannya dengan berbagai
huru-hara di tempat lain, di Suriah, Irak dll.
Klimaksnya tak akan jauh berbeda sepeti itu, pemaksaan
kehendak. Menghalalkan darah sesama umat dst. Semua itu bukan asal cuap, tetapi
ada kait-kaitannya. Ada hubungan yang transnasional yang semua itu tidak bisa
dipungkiri berdasar bukti empiris dll.
Maka tak heran bila kemudian organisasi HTI di Indonesia
telah dibubarkan pemerintah dan sudah berkekuatan hukum. Tetapi
pentolan-pentolan dan para pengikutnya tentu tidak serta merta menjadi
menghilang. Mereka ada walau tanpa ada wujudnya, mereka ada seperti angin.
Terasa tapi tak dapat dilihat. Hmm....jadi serem.....!!!
Isue-isue bertebaran, diperkuat dengan isue-isue berikutnya,
tambah lagi dengan hoax, berita bohong bahkan fitnah dan pemutar balikan
kata-kata dan fakta-fakta.
Masyarakat yang sudah
apriori dengan media mainstream akhirnya menjadikan berita yang lebih buruk itu
sebagai sumber pengambilan informasinya.
Akhirnya, informasi yang ada dibenak umat dan masyarakat
adalah fitnah, berita bohong, bully dan sejenisnya. Itulah kenyataan yang kita
dapati hari ini, di akhir zaman ini. hiruk pikuk berita bohong sudah menguasai
alam pikiran kebanyakan umat. Mereka menjadi tidak percaya ulama yang
benar-benar ulama tapi malah lebih percaya kepada mereka yang di setting untuk
menjadi ulama jadi-jadian. Betapapun akhlaknya buruk, menendang orang, memukul
orang, menghina presiden, mengata-ngatai ulama dengan sebutan buruk, syiah,
liberal dll.
Mereka sudah berhasil menjauhkan masyarakat dari para ulama,
yang muncul kemudian adalah permusuhan antar umat. Bahkan sampai terjadi
pembunuhan dll.
Menjauhkan umat dari ulamanya adalah kejahatan mereka.
Menciptakan kesan bahwa ulama itu salah semua, dan yang benar adalah mereka
sendiri atau golongan mereka sendiri.
Mana mungkin suatu golongan itu dikatakan benar, jika mereka
gemar mengadu domba, menyebar opini buruk, fitnah dan bully. Itukah yang
dikatakan sebagai ulama.....?. Gak ada rumusnya ulama akan berperilaku buruk,
penuh kebencian, urakan, suka bully, apalagi menghina dan mencaci presiden,
orang-orang tua dan para ulam sepuh.
Tinggal kini kembali kepada kita, jangan-jangan kita sendiri
sudah terpapar virus kebencian kepada para ulama. Dan juga menjadi korban provokasi
yang mendiskreditkan para ulama yang ahli kitab....?.
Ingat, bahwa media massa itu adalah milik para manusia yang
mereka itu belum tentu terbebas dari kepentingan mereka sendiri. Karena mereka juga adalah penduduk Indonesia
yang masing-masing memiliki pemikiran sendiri, memiliki idelisme sendiri dan
juga mungkin saja punya pilihan politik sendiri-sendiri. Tetapi bukan berarti
bahwa mereka akan dengan serta merta membuat berita yang sampah, berita yang
sembarangan karena terkait dengan etika dan kode etik jurnalistik. Mereka akan
bisa terkena hukum jika menyebar berita bohong. Mereka bisa diadili jika
membuat berita yang merugikan pihak tertentu. Dan bahkan mereka bisa di black
list dari dunia jurnalistik.
Beberapa kecenderungan dari para jurnalis adalah sudah
terjadi sejak media massa itu ada, sejak zaman baheula. Misal koran-koran
menajdi corong perjuangan bangsa Indonesia dst. Karena salah satu misi
jurnalisme adalah mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga
sudah pasti ada unsur pendidikan, hiburan dan bahkan propaganda dalam arti
positif. Apalagi di era modern sekarang ini yang segala hal sudah ada aturan
atau law code nya.
Malahan justru ada pihak tertentu yang menginginkan agar
masyarakat tak lagi percaya ke media mainstream. Tujuannya adalah supaya mereka
mengambil keuntungan dari itu. Bahkan setiap klik pembaca bisa jadi penghasilan
buat mereka dst. Namun satu hal yang paling mereka inginkan adalah demi
kepentingan mereka sendiri. Semua orang
normal sudah gak ada yang percaya mereka, maka jalan satu-satunya adalah
mengajak sebanyak-banyak rakyat untuk dibuat tek percaya kepada media mainstream.
Ujung-ujungnya, yang menjadi korban adalah masyarakat itu
sendiri. Mereka tidak mendapatkan informasi yang layak, informasi yang benar
dan informasi yang ilmiah.
Hanya segelintir akademisi atau kaum intelek yang bisa
membaca gejala yang demikian itu karena mereka tidak henti mencari informasi
yang benar, yang masuk akal dan dari sumber yang dapat dipercaya atau kredibel.
Mereka gak akan mudah percaya dengan berita murahan yang sumbernya gak
diketahui, atau bukan dari sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Dan mereka
juga bisa memilah, memilih dan menimbang karena mereka sudah dibekali atau
membekali dirinya dengan ribuan ilmu atau informasi yang didapatnya didunia
akademik, di media, dibuku-buku dan bahkan di kitab-kitab agama.
Karenanya mayoritas masyarakat yang rendah pendidikannya akan
lebih mudah untuk dibohongi. Apalagi kalau mereka begitu malas untuk belajar
secara mandiri, membaca, kursus/training, upskilling dll.
Kurangnya informasi yang mereka serap menjadikan daya nalar
dan intelegensia mereka menajdi tidak terlatih, tidak siap dengan serangan
konten berita hoax, fitnah, bully dan berita murahan lainnya.
Masuk akal dong jika S2 rata-rata lebih pandai dari keluaran
S1 atau bahkan keluaran SMA. Kurang lebih seperti itu.
Masuk akal dong jika orang yang budaya bacanya lebih baik
akan lebih cerdas dibanding orang yang malas membaca....?
Teori manapun akan membenarkan itu.
Maka maaf, bukan maksud untuk merendahkan, tetapi ini justru
sebagai berbagi informasi, mengajak semuanya agar kita bisa menjadi lebih intelek,
lebih cerdas dan lebih ilmiah dalam sikap dan analisanya. Supaya mengurangi
kesalahan-kesalahan, mis informasi, kesalah fahaman dan mengurangi kebodohan.
Penulis pun sama saja, mulai saat ini akan berusaha kembali
memperbanya baca-baca. Baca buku, kitab, Alqur’an dll. dari sejak SD penulis sudah
dibiasakan menjadi pembaca, Ibu dan bapakku yang telah menyediakan berbagai
majalah, seperti si kuncung dll. itu yang telah membentuk kebiasaan bagi
penulis. Dan juga bapak penulis pernah mengatakan bahwa Bung Karno itu adalah
orator hebat, pembaca hebat...saking sukanya membaca, potongan-potongan koran
yang ditemukan di jalanpun di baca oleh Bung Karno.
Itulah yang kemudian menjadi inspirasi bagi penulis. Memperbanyak
baca.
Namun beberapa tahun kebelakang, kebiasaan membaca itu
semakin berkurang. Tak ada lagi buku yang penulis beli. Jika dulu setiap minggu
pasti penulis beli buku atau setiap kesempatan ke toko atau ke penjual buku
selalu membeli buku. Sayang sekarang buku yang sudah terkumpul itu justru
penulis jual karena terdesak ekonomi.
Nah, dari cerita itu. Dan setelah kembali memperoleh
pencerahan dari momentum peluncuran Budaya Membaca yang dilakukan pemprov Jabar
dengan program Kolecer dan Candil. Membuat penulis terhenyak. Betapa begitu
banyak waktu yang telah tersia-siakan tanpa menambah ilmu pengetahuan. Itu jelas
kerugian yang sangat besaaar.
Demikianlah semoga itu menjadi inspirasi bagi kita semua. Budaya
baca adalah penting supaya kita menjadi bangsa yang maju, bangsa yang pintar
dan bangsa yang tidak mudah ditipu atau dibohongi.
Presiden pertama kita sudah memberikan contoh nyata, sebagai
kutu buku yang hebat membuat beliau diakui sebagai tokoh dunia yang sangat
berpengaruh sampai saat ini.
Gnereasi yang pintar, adalah generasi yang gemar belajar,
gemar membaca.
Budaya literasi (membaca, menganalisa/berfikir, dan menulis)
harus segera kita biasakan diantara kita semua. Saya, anda, dan semuanya.
Orang yang ilmiah itu suka mencatat, suka menulis, dan suka
membaca. Dan herannya yang berkembang di medsos banyak orang yang menghina
presiden karena selalu membuat catatan-catatan di kala pidatonya.
Padahal itu adalah perilaku ilmiah, perilaku yang diajarkan
dalam dunia akademik, dimanapun didunia ini.
Salam Indonesia Juara.
Bandung, 21 Januari 2019
0 Komentar