Pantai Sayang Heulang

BAru saja dua minggu lalu kita ke pantai selatan. Kini kita menuju ke sana lagi.

Sebenarnya niat awal hanyalah hendak ke area sekitar Kawah Kamojang saja. Beberapa hari lalu kita gak jadi makan-makan disini karena saat itu cuaca sedang berkabut tebal sehingga pemandangan menjadi tidak terlihat. Maka kali ini semoga cuaca disana bisa lebih bersahabat.

Cuaca memang lebih bersahabat tetapi tetap saja kita tidak jadi berkunjung secara khusus ke kawah Kamojang itu. Sebab dikhawatirkan bau udara yang menyengat bisa berakibat kurang baik bagi kesehatan kita yang sedang tak cukup baik saat ini.

Jadinya kita lanjut saja ke arah selatan lagi. Mau ke pantai lagi.

Jum'at lalu sebenarnya kita juga sudah jalan ke Garut Selatan ini, selain di awal bulan juga. Di awal bulan kita kesana secara rombongan menggunakan kendaraan roda empat bersama teman dan keluarga kecilnya. Beberapa hari lalu kita ke tempat lainnya, yaitu ke Curug Orok. Dan sekarang kita mau ke tempat lainnya lagi. Tak jauh dari Santolo.

Berangkat dari Bandung sebenarnya kurang ideal untuk perjalanan ke pantai Selatan. Terlalu siang.

Jam 9.30 kita baru lepas dari sana menuju ke timur ke arah Majalaya. Jalanan memang tidak semacet biasanya, bahkan sangat lancar. Hingga perjalanan ke arah Ibun pun bisa dicapai hanya dalam sekitar satu jam atau kurang.

Fixed rencana kita adalah menuju Kamojang. Tetapi sesampainya di Kamojang kita berubah pikiran begitu, maka kitapun lanjut saja ke Garut Selatan. Dari Samarang seperti beberapa hari lalu kitapun belok ke kanan menuju Cikajang. Tapi kita belum sarapan. Sehingga beberapa kali kita cari tempat sarapan maka akhirnya kita ketemu juga di sekitaran alun-alun Cisurupan. 

Itu hanyalah mie ayam tanpa baso. Cukup untuk mengganjal perut kita yang memang sudah terlambat diisi. ini sudah jam sebelas siang disini. Kita tadi menjalankan kendaraan jadinya tidak sepenuh hati karena tujuan kita yang belum pasti karena banyaknya pertimbangan jarak dan kondisi kesehatan kita.

Namun semenjak kita isi perut itulah keputusan sudah benar-benar bulat, yakni menuju Sayang Heulang, sekaligus untuk lihat bekas kejadian banjir di dua hari yang lalu.

Tiga kecamatan di Garut Selatan memang baru saja diterjang banjir bandang di hari Senin 12 Oktober 2020, dua hari yang baru lalu. Makanya kali ini kita ingin melihat dampak yang diakibatkannya itu seperti apa.

Beberapa kejadian bencana di masa lalu, telah luput dari perhatian kita maka kali ini rasanya ingin lah sedikit melihat bagaimana suatu bencana terjadi sehingga barangkali kita bisa mengambil ibrah atau pelajaran dari hal tersebut.

Dari Cikajang kita belok ke arah kiri, kalau ke kanan itu adalah menuju arah Pamulihan, Pakenjeng dan terus ke barat tembus juga ke Rancabuaya atau ke Cisewu. Cerita tentang jalur tersebut bisa dibaca di kisah perjalanan kita tentang Curug Orok.

Perjalanan kita kali ini terasa benar-benar singkat. Jalanan terasa sepi sekali sehingga nyaris tak menemui hambatan karena kemacetan, kendaraan berhenti dll.

Saat adzan dzuhur akhirnya tiba juga. Posisi kita saat ini adalah di sekitaran daerah sungai Cisanggiri atau suatu daerah di sebelum Gunung Gelap. Itu adalah Mesjid yang biasanya saya singgahi. Mesjid kecil yang tepat dipinggir jalan dalam deretan rumah-rumah penduduk yang dibelakang bangunan-bangunan tersebut adalah sungai Cisanggiri tadi. Airnya biasanya cukup adem dan juga sangat jernih. Tapi kulihat sungai itu kali ini tak terlihat sejernih biasanya. Mungkin karena erosi di awal musim hujan seperti ini masih tergolong tinggi.

Maka hutan Gunung Gelappun sudah kita lewati. Ya, benar saja. Di beberapa lokasi ada bekas longsoran dari banjir bandang kemarin itu. Beberapa badan jalan bahkan tergerus sehingga hanya satu lajur jalan saja yang bisa dilewati. Alhamdulillah beberapa penduduk punya rasa peduli sehingga mereka memasang pembatas jalan dan mereka juga standby menjaganya, untuk menghindari pengemudi yang terperosok ke sana.

Jalan juga beberapa terlihat kotor karena material longsoran yang masih tersisa disana. Terutama di pinggir-pinggir jalan juga.

Sungai yang berada tepat disamping kanan dan kemudian nyebrang ke kiri jalan lintas Garut Pameungpeuk ini terlihat adanya bekas-bekas amukan air. Sawah-sawah tergerus menjadi dipenuhi material batu-batu, tanah. dan pasir.

Itu terlihat masih sangat baru memang, baru dua hari yang lalu kejadiannya.

Pameungpeukpun dijagai oleh petugas satpol PP dan sejenisnya, disamping beberapa aparat kepolisian dll. Juga beberapa kendaraan Rescue juga ada disana. 

Pameunpeuk jam 13.30 WIB.

Kitapun berhenti dulu di sebuah SPBU yang satu-satunya kita temui saat ini. Ke WC dulu dan juga shalat jama' dulu.

Belum lama makan. Tapi karena ini sudah waktunya makan siang, rasa-rasanya syah-syah saja jika perut kita sudah mulai nagih kembali. Perut itu sudah tahu jadwal untuk makan. Kalau sudah jamnya dia memberitahu kita. Ada semacam sinyal yang sinyal itu sampai di otak kita. Oh, perut kita minta diisi lagi.

Baiklah kalau begini. Kita makan disini saja, toh udara pantai sudah terasa disini. Sama saja toh...?!

Ya bedalah. Anginnya mungkin sama, tapi pemandangannya berbeda.

Okelah kalau begini.

Maka, setelah istirahat sebentar kamipun lanjut lagi menuju arah kiri pom bensin menyusuri jalanan ini yang tahun terlihat sangat lebar dan mulus itu. Sebagai perbandingan saja, dulu waktu pertama, kedua, ketiga kalinya kita kesini jalan ini terlihat kecil dan terutama buruk sekali kondisinya. Di posisi antara kota Pameungpeuk sampai sekira gerbang Santolo itu dulunya adalah jalan yang sering paling buruk kondisinya tapi saat ini serasa terbali 185 derajat. Disini selain mulus juga terasa lebih lebar dibanding bagian lainnya. 

Tentu saja kita harus syukuri itu. Hidup harus pandai pandai bersyukur supaya nikmat ini dan itu semakin bertambah.

Tak jauh, kitapun belok lagi ke kiri dipersimpangan jalan yang menuju pantai Sayang Heulang. Terlihat beberapa bagian jalan tadi memang longsor dan ada 3 PJU juga roboh ke sawah. Rupanya dampak banjir bandang itu sampai juga disini. Beberapa tanda bekas banjir bisa kita temui di antara jalanan menuju Sayang Heulang ini. Jika melihat keruksakan yang ada, terlihat lumayan besar juga nampaknya. Ya, mungkin disini bukan daerah terdampak yang terparah. Namun walaupun tak parah tapi telah mampu meruksak fasilitas jalan sedemikian itu. 

Selamat datang disini. Di pantai Sayang Heulang ini. Biaya masuknya terbilang murah, hanya rp sekian. Tujuhribulimaratussaja. Lebih murah dari tiket ke curug orok yang rp. 12.000 termasuk parkir.

Gerbang pantai ini telah mengalami beberapa renovasi. Ada trotoar baru, ada beberapa saung tempat berteduh, juga ada tempat untuk selfi dll.

Kita akan susuri ke sayap kanan dulu. Itu adalah sepanjang kurang lebih 1500  meter. Ujungnya adalah sebuah sungai yang menjadi separator alam antara pantai ini dengan pantai Santolo. Sungai ini katanya juga terdampak banjir bandang itu. Ya, sudah sejak 2 minggu lalu kami ke Santolo itu, sungai itu memang sudah terlihat keruh dangkal tapi airnya deras sekali. Tak nampak ada satu pun perahu tersauh di sana. Biasanya kita bisa saksikan ada ratusan perahu disana. Hari ini nol.

Sungai masih terlihat sangat keruh berwarna coklat baju pramuka. Ujung dari pantai Santolo bisa kita lihat dari sini. Itu adalah sebuah warung yang tepat di penyebrangan dari pasar ikan Santolo menuju pulau Santolo. 

Beberapa keindahan yang dulu kita temukan disini, kini sudah tidak bisa kita temukan lagi. Jembatan yang dulu itu juga sudah tidak terlihat. Ceruk-ceruk pasir putih juga sudah tak nampak dan si kucing pantai juga entah kemana tentunya. Kangen dengan suasananya di waktu dulu. Pantai yang lebih bersih, sungai yang hijau dan juga pariwisata yang lumayan ramai.

Kini, semua itu telah berubah drastis. Dampak dari berbagai penomena alam telah mempengaruhi jumlah kunjungan wisata ke sini.

Tak ada lagi riuhnya pengunjung. Sayang Heulang menjadi pantai yang mati. Rumah-rumah penginapan sepi, kosong dimana-mana. Terhitung hanya ada beberapa pengunjung saja. 

Memang sepi.

Tapi kita ingin lihat ke sayap kanannya juga. Jalanan disini tak berubah tetap hanya dibiarkan alami, bergelombang-gelombang gitu terbuat dari pasir yang sama sekali tidak rata. Beberapa "logak" dan kubangan air hujan membuat kita harus pilih-pilih jalan.

Sayap kiri ini kiranya lebih pendek dari sayap kanan. Tapi di sayap kiri ini kita bisa lanjut ke bukit teletubis atau ke pasir sahara. 

Bukit teletubis kali ini juga sama sepi..hanya ada ratusan sapi disana. Rupanya di antara pantai ini juga adalah tempat pangangonan sapi dan kambing. Beberapa kluster kandang sapi berjejer diantara kebun-kebun berpagar kayu seadanya. Ada beberapa peternak sapi disini. Lumayan banyak juga.

Duh...kembali kita saksikan betapa kesadaran masyarakat disini sama saja seperti di tempat lainnya. Sampah menggunung, meruksak penandangan yang hijau itu jadi sangat-sangat kumuh. Sangat di sayangkan tentu.

Perlu ada gerakan kesadaran masyarakat setempat untuk dapat menjaga kebersihan, ketertiban dan keasrian tempat ini. 

Percuma kita marah-marah. Namun sebaliknya kita hendaknya mulai memikirkan langkah nyata untuk membantu keadaan ini. Supaya kita sama berperan untuk kebaikan bangsa kita tercinta.

Gerakan Jabar Bersih atau Jabar Bergerak adalah contoh baik. Semoga terus berinovasi untuk membuat kemajuan di lingkungan kita.

Kita juga baru saja membuat suatu perkumpulan yang gerakannya untuk tujuan-tujuan positif seperti itu. Menggerakkan roda ekonomi anggota, semoga meluas hingga bisa mengepakkan sayap bak sekumpulan burung elang.

Dari bukit teletubis itu kita lanjut ke pasir berbisik...eh pasir sahara.

Ah rupanya penamaan itu terlalu berlebihan. Ini hanyalah gundukan pasir begitu saja. Suasananya juga terasa terik dan gersang. Entah mungkin karena ini masih terlalu siang. Jam dua an. Sehingga terasa begitu panas dll.

Tak akan lama disini karena perut dari tadi sudah meminta diisi.

Kita akan kembali lagi saja ke sayap kanan. Disana ada tempat yang dirasa teduh untuk makan-makan atau ngaso.

Ya. Ini adalah tempat yang dulu juga kita. Aku dan motorku, singgahi. Tepat di sekitaran sebuah lapangan bola.

Suasananya teduh karena rumpun dedaunan dari pohon khas pantai yang berbuah mirip sawit itu. Angin tetap berhembus sangat kencang. Gelora ombak juga semakin maju semakin kencang. 

Sekumpulan bekal makanan kita keluarkan dari tas motor. Itu ada nasi putih, ada goreng jengkol, sambal, supa putih, telor rebus, lakaban waluh dan cabe hijau. Juga, beberapa potong ikan asin yang aku suka.

Lapar yang tertahan tak bisa ditahan lagi. Langsung saja kita ambil nasi dan lauk pauknya. Nikmat luar biasa. Tiap comot adalah beribu kenikmatan. Seratus kali comot maka ada sekian ribu kenikmatan di siang menuju sore kali ini.

Terutama angin. Yang walau kurang sangat bersahabat. Walau suasana di sana pantai terlihat panas dan hareudang. Tapi jika di akumulasi maka semakin sore terasa semakin menyenangkan berteduh disini.

Godaan dari air laut mulai membuat kita ingin bermain air. Airnya sangat jernih dan ombak juga semakin maju mendekati ke pantai. 

Seekor camar terlihat sedang berburu ikan. Dengan hempasan angin, melawan arah angin, membuat dia terus berusaha keras mengepakkan sayap sayapnya. Sekali saja berhenti maka surut kebelakang. Maju mandur, maju mundur. Terlalu "anteung", merasa tak ada yang mengganggu. Pantai yang tanpa pengunjung. Berkali kali menukik menyambar ikan-ikan yang dihempas ombak ke tempat yang dangkal diantara hamparan karang luas yang memanjang sepanjang pantai Sayang Heulang.

Datang satu lagi. Mereka adalah sepasang camar yang terlihat bekerja keras, bersemangat sekali. Dan pastilah mereka saling kenal satu sama lain. Mungkin saudaranya, mungkin temannya, atau mungkin pasangan hidupnya. 

Mereka asyik dengan diri mereka sendiri, dan kita juga asyik dengan diri kita sendiri.

Tapi beberapa kontak batin membuat burung-burung itu menyadari bahwa ada makhluk lain yang tak lepas mengawasi mereka. Membuat mereka pun memutuskan pergi meninggalkan pantai kita ini. Sayonara wahai camar. Sampai berjumpa di lain waktu.

Itu adalah sepasang camar muda. Anak dari camar yang dulu bertengger di karang di pulau Santolo. Tentu rumah mereka ada di tengah pulau itu. Di pepohonan yang lebat dan tak terjamah manusia. 

Seperginya burung eksotis itu, kitapun mulai mendekat ke pinggir laut. Karena perutpun sudah terasa kenyang sekali. Sebenarnya ingin bermain air itu...karena ombakpun semakin menepi ke pasir yang putih ini. Tapi kita tidak membawa pakaian ganti. Sehingga tak mungkin pulang basah-basahan.

Ya, cukup saja kita berphoto-photo disini. Menikmati suasana pantai yang memang selalu terasa berbeda. Semua pantai akan terasa sama seperti pantai lainnya. Udaranya, anginnya dan juga ombak, pasir yang bersih dst.

Pantai Sayang Heulang ini memang berbeda dengan Pangandaran, berbeda dengan Jayanti, bahkan berbeda dengan tetangganya sendiri. Pantai Santolo. Setiap pantai tentu punya jati dirinya masing-masing. Dalam persamaan ada perbedaan. Dalam perbedaan ada kesamaan. 

Yang pasti suasana pantai sama saja membuat kita semakin betah berada disini. Terutama karena hari juga semakin teduh. Ombak juga semakin bersemangat. Dan mentari juga semakin melunak. Menampakkan sisi lembutnya, di ujung laut sana. Di lukisan alam Sayang Heulang.

Sepertinya mentari itu terlalu tergesa-gesa meninggalkan kita disini. Seperti ada hal lain yang mereka tuju, dibalik lautan sana. Membuat kita pun tentu saja harus segera angkat kaki dari pantai yang mulai gelap.

Dan burung camarpun sudah kembali ke sarangnya. 

................................................................................................................





Posting Komentar

0 Komentar