Kasihan. Provinsi Jawa Barat itu kasihan. Mau bangun bandara sendiri saja susahnya minta ampun. BUMN dan Pemerintah Pusat tak mau keluar duit untuk Jawa Barat.
Dulu, inisiasi pembangunan Bandara Jawa Barat pengganti Husein Sastranegara itu sudah sejak gubernur-gubernur lama.
Baru di zaman Aher inisiasi pembangunan BIJB bisa direalisasikan. Menggunakan dana pemprov, bahkan sindikasi bank daerah dan koperasi praja pemerintahan Jawa Barat.
Saking tak adanya perhatian dari pusat sehingga pemprov menggandeng pihak swasta dan koperasi.
Beda cerita dengan bandara lain, Kualanamu misalnya, atau Kulonprogo misalnya. 100 persen dana BUMN, perusahaan negara.
10 triliun lebih angkasa pura I biayai bandara Yogyakarta. Pemprov Yogya "tak perlu" keluar duit.
Beda sekali dengan Jawa Barat. Jika tanpa perjuangan pemda sendiri, sampai sekarang niscaya Jawa Barat tak akan mempunyai Bandara bertaraf Internasional. Ironis, padahal peran Jawa Barat untuk industri Nasional misalnya, mencapai 60 persen. Belum lagi peran penyediaan listrik Jawa Bali, Jawa Barat jadi tulang punggung perekonomian Nasional.
Peran tanah Jawa Barat untuk kemajuan bangsa sangat besar bahkan dominan. Tapi sebaliknya perhatian pemerintah pusat untuk kebutuhan infrastruktur dasar di provinsi Jawa Barat ini minimalis sekali.
Kita selalu ingat bagaimana kondisi jalan raya di provinsi ini. Setiap musim liburan selalu menjadi daerah paling macet se Indonesia, tapi selama itu pula tak ada kepedulian dari presiden dan menterinya untuk dapat mengatasinya secara tuntas.
Beda ketika satu kali saja Brebes macet, langsung pemerintah pusat sangat sigap untuk mengatasinya, gak ada alasan A, B, C, D, E, F, dst. Tahun itu juga dibangun flyover yang megah sehingga lebaran berikutnya sudah tak macet lagi.
Apakabar dengan Padalarang, Cileunyi, Rancaekek, Puncak, Sukabumi, Gentong, dll....?!?.
Pemerintah pusat seperti tak peduli. "Slow Respons".
Juga ketika dunia industri mengeluh tentang pelabuhan laut. Ketika pemprov Jawa Barat juga minta dibangunkan SeaPort. Pemerintah pusat seperti buta, tuli, dan bisu. Tak ada respons yang memadai. Malahan ada 1001 alasan untuk selalu menunda-nunda, tarik ulur seperti main layangan dst. Cilamaya tinggal cerita.
Padahal pihak Jepang (JICA) sudah sangat siap untuk mendanai proyek pembangunan pelabuhan tersebut, sehingga pemerintah pusat tak perlu merogoh kocek dalam-dalam.
Lagi-lagi pemerintah pusat seperti hilang di tanah Jawa Barat. Tak ada nampak batang hidungnya. Padahal provinsi lain sudah sejak lama memiliki bandara maupun dermaga internasional.
Jawa Barat seoerti hilang dari peta Nasional. Hanya dianggap hadir apabila dibutuhkan untuk banyak hal kepentingan, sebagai penyedia listrik utama, sebagai penyedia lapangan kerja terbesar di Indonesia melalui kawasan-kawasan industrinya, sebagai pemersatu bangsa bila terjadi konflik atas nama kodam Siliwangi dll, (pasti orang-orang akan cepat-cepat menyanggah tulisan ini, tak mau mengakui), dst.
Sebenarnya saya tak perlu menulis klaim-klaim peran Jawa Barat yang strategis bagi NKRI. Tapi karena pemerintah pusat masih saja memicingkan mata kepada Jawa Barat, memaksa tulisan ini akhirnya harus dibuat.
Lihatlah arus lalu lintas ke Puncak. Setiap akhir pekan dipadati kendaraan sehingga harus dilakukan contraflow. Macet seumur hidup. Apakah kalian pikir itu tidak menyiksa warga Bogor dan warga Jawa Barat pada umumnya..?!?.
Apakah kalian pikir itu adalah nikmat dan anugerah...?!?.
Itu di depan mata...tak jauh dari ibukota. Tapi seperti saya bilang, pemerintah pusat mengalami kelilipan sehingga tak mampu melihat itu dengan cukup jelas, mungkin seperti buram kalau mata itu menengok ke yang namanya provinsi Jawa Barat.
Mencolok mata. Terlalu bermain kasar. Terlalu menghunjam, dan menyakitkan kita sebagai warga Indonesia yang kebetulan hidupnya di provinsi yang bernama Jawa Barat.
Seperti tak rela jika harus membuat Jawa Barat itu setara diantara Nusantara.
Ironi. Provinsi terdekat ke ibukota tapi tergolong mayoritas masyarakatnya termiskin dan terpinggirkan se Indonesia. Harusnya, pantasnya, provinsi ini justru masuk dua atau tiga termaju, terdepan. Bukan malah dibarisan terbelakang. Atau idealnya, setara seluruh nusantara. Tapi realita, itu (kesetaraan) hanya mimpi dan tidak nyata.
Jawa Barat tidak mendapat tempat di hati para pemimpin negeri kita sejauh ini. Kalau soal layanan publik, kalau soal fasilitas sosial dan umum, kalau soal pendidikan tinggi, kalau soal pemerataan pembangunan. Jawa Barat tak masuk prioritas. Yang didahulukan itu selalu Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Sumut, Sulsel dll.
Mungkin karena Jawa Barat terlalu dekat, sehingga selalu terlewat. Alasan yang paling naif.
Jawa Barat tak akan protes. Jawa Barat akan diam. Kalaupun bersuara, cukup nanti bisa di redam dengan angin surga, tunggu saja nanti juga reda pada akhirnya. Teori iming-iming dan teori omong-omong. Selalu itu yang berlaku terhadap provinsi tetangganya Jakarta ini. Dari dulu terutama, hingga saat ini tak jauh bedanya.
Dan anehnya, ketika Jawa Barat diberi, Jateng pastilah minta. Padahal kita diberi karena nemang kita belum. Sementara Jateng Jatim sudah. Contoh pembangunan jalan lintas Jabar Selatan.
Lagi-lagi jalan itu dibangun oleh dana pemda Jawa Barat. Dengan dana terbatas, memaksa pemprov bersikap mengalah karena meminta ke pusat itu ibarat memasukkan gajah ke lubang semut, mustahil minta dana ke pusat untuk membuka daerah Jabar selatan yang terisolir padahal ia terangganya dari ibukota. Yaitu, jalan lintas Sukabumi-Pangandaran.
Akhirnya pembangunan jalan tersebut selesai juga. Setelah itu selesai, barulah pemerintah pusat terbangun (atau pura-pura sadar) dan lalu "mengakuisisi" jalan tersebut jadi berstatus Nasional, sama seperti kasus BIJB. Sudah hampir jadi barulah diambil alih pusat.
Oke, kami tetap bersyukur atas "akuisisi" itu sehingga untuk pemeliharaan selanjutnya menjadi ranah pusat.
Pemprov Jabar membangun lintas selatan itu karena memang disana tidak ada sarana transportasi, tak ada jalan, tak ada kereta api, tak ada jembatan, tak ada pelabuhan.
Tiba-tiba Jawa Tengah pun dibangun jalan Nasional Baru dari Cilacap sampai arah Yogyakarta. Padahal tak jauh dari jalan itu sudah ada jalan Nasional lintas selatan yang lama. Langsung dengan dana dari pusat. Beda dengan Jawa Barat, dengan dana sendiri.
Kami jadi berpikir, saya jadi berpikir. Kok setiap Jabar membangun, sudah pasti Jateng minta jatah.
Mereka sudah dua, kita minta dua. Mereka minta tiga. Selalu begitu.
Bandara juga. Di Jawa Tengah sudah ada 3 Bandara Internasional. Semarang, Solo, Yogya. (Yogya itu DIY, pada dasarnya Jawa Tengah juga). Beda dengan status Jakarta terhadap Jawa Barat, karena dia berstatus khusus ibukota negara.
DIY, berstatus sebagai provinsi dari sisi administratif, tapi dari sisi sosial budaya masih satu kesatuan dengan Jawa Tengah. (Jadi dalam hal ini DIY harus dimasukkan sebagai Jateng juga).
Tentu saja saya harus membandingkan hal demikian seperti itu, karena nyatanya pemerintah kita belum berperilaku sama terhadap daerah-daerah yang ada di NKRI.
Perlakuan pusat kepada satu daerah berbeda secara mencolok. Itu satu hal yang orang awam pun bisa merasakannya.
Kasihan warga dan provinsi Jawa Barat itu, karena mereka merupakan kelas ke tiga di Indonesia ini.
Setiap mereka berjuang untuk minta kesetaraan, tak pernah tercapai karena yang lain terus minta perhatian yang lebih lagi. Sehingga Jawa Barat selalu pada posisi dibelakang.
Jawa Barat minta dibangunkan bandara, tapi pusat tak mau peduli. Beda perlakuan terhadap Sumut dengan dibangunkannya Kualanamu, dan Yogya dengan Yogyakarta Intermasional Airport. Padahal jarak Solo-Yogya itu tetanggaan, tapi masing-masing dibangunkan bandara internasional.
Jawa Barat butuh tambah Kabupaten/Kota
Jumlah kabupaten juga. Hal ini penting karena berbanding lurus terhadap tingkat pelayanan publik, pendidikan dan ujung-ujungnya kesejahteraan rakyat. Dana Alokasi yang dibagikan pusat tak dihitung dari jumlah penduduk suatu provinsi, melainkan jumlah kabupaten/kotanya. Semakin banyak kabupaten/kota dibanding luas wilayah dan jumlah penduduknya, semakin merata kesejahteraan rakyatnya.
Di Jawa Barat terdapat 27 Kab/Kota penduduknya 50 juta, rata-rata tiap pemda harus urus 2 jt penduduk. Jateng 35 Kab/Kota, penduduk 35 juta, rata-rata pemda urus 1 juta penduduk. Jatim, 38 Kab/Kota, penduduk 40 juta, rata-rata tiap pemda urus 1 juta penduduk. Padahal tiap kabupaten/kota se Indonesia dibekali dana yang sama, sehingga dana yg diberi ke jawa barat hanya setengah dari dana yang diterima/termanfaatkan oleh warga yang ada di jawa tengah maupun jawa timur. Dan itu sudah berlangsung puluhan tahun sehingga secara akumulasi membuat masyarakat jawa barat dirugikan berpuluh-puluh lipat.
Pantas jika kemudian, orang jatim dan jateng lebih "maju" dibandingkan orang jawa barat. Belum ada orang jawa barat yang jadi presiden, jarang orang jabar yang jadi menteri atau bekerja di pemerintahan pusat, di BUMN, TNI, dll. Bahkan jika bandingkan dengan provinsi di luar jawa pun kemajuan masyarakat jabar tetap kalah dari sisi tingkat prosentasenya. Provinsi lain diberi satu porsi atau lebih per penduduknya, sementara orang jabar hanya dibekali setengahnya.
Oleh karena itu, sudah selayaknya jumlah kabupaten/kota di Jawa Barat harus lebih banyak dari jumlah yang ada di Jawa Timur, apalagi Jawa Tengah.
Sulsel saja jumlah penduduknya hanya sekira 9 juta. Tapi jumlah kabupaten/kotanya ada 24 buah.
Sumut, jumlah penduduk 14 jutaan, kabupaten/kota ada 33 buah.
Harusnya jumlah Kabupaten/Kota di Jawa Barat lebih banyak dari Jawa Timur yang sekarang berjumlah 38. Jika nanti mereka tambah dua, menjadi 40 maka Jabar harusnya ada 43 kabupaten kota.
Atau kami akan berkata...ini tidak adil, keterlaluan dan diskriminatif.
Kereta Api Bandara
Kualanamu sudah, bandara Soetta sudah, Kulonprogo sudah. Kertajati masih mimpi, sebatas wacana.
Itu realita, itu kenyataan. Bukan mengada-ada, bukan hoax, bukan pitnah. Warga Jawa Barat sudah cukup di bebenjokeun ku reaktifasi jalur KA Cibatu-Gurut. Sudah itu saja, sudah dipandang terlalu baik.
Kereta Cepat Jakarta Bandung
Walau begitu, Jawa Barat selalu diberi anugrah oleh Tuhan.
Seperti halnya hibah jalan layang Pasupati di Bandung yang dari pemerintah Kuwait. Kini Jawa Barat juga menjadi provinsi pertama bersama DKI yang bisa segera memiliki kereta cepat se Indonesia bahkan se ASEAN.
Bukan semata karena niat tulus pemerintah pusat kepada Jawa Barat, tapi lebih karena dorongan bisnis, B to B. Kerjasama bisnis. Ada penyandang dana dari negeri China. Tentu, kita gak bilang pemerintah pusat sama sekali tak punya andil. Besar andil pusat. Tapi jika jalur ini tidak potensial secara bisnis. Kita yakin pemerintah pusat tidak akan mau menggelontorkan dana untuk kepentingan masyarakat Jabar sebesar itu.
Di awal proses kereta cepat itu pemerintah selalu bilang. Ok, jalur ini di acc, jika dan hanya jika pemerintah pusat tak perlu tandatangan jaminan apapun. Kalau misalnya rugi secara bisnis, pusat tak mau ikut menanggungnya. Sehingga konsorsium Jepang kalah karena mempersyaratkan itu dalam tendernya. Beda dengan China, dia siap bahkan dengan dana dan talangan dananya. Sehingga, mau tak mau, pusat menyetujuinya.
Jika sekarang mengemuka perpanjangan jalur Jakarta Surabya. Itu beda lagi skemanya. Untuk jalur tersebut disinyalir kuat, pusat "siap pasang badan". Itu terlihat dari pelaksana proyeknya yang bukan China tapi Jepang itu tadi. Jelas bukan...?!?
Lihatlah kota Surabaya. Mereka di anugrahi jembatan laut menuju madura dari dana pusat.
Lihatlah LRT di Palembang atau di Makassar dan DKI.
Sementara Bandung yang termacet sedunia, pusat tak ambil pusing.
Memang untuk presiden sekarang. Saya kira, sudah lumayan lebih baik. Dibandingkan dengan yang dulu-dulu, tentu yang sekang sudah lumayan. Tidak terlalu menohok.
Tapi, gak bisa juga 100%, ya sekitar 70% adalah kepeduliannya kepada Jawa Barat.
Tentu semoga mulai sekarang pak Jokowi bisa jorjoran memperhatikan Jawa Barat ini. Karena memang provinsi ini butuh penanganan khusus. Terbukti banyak kadrun, pertanda mereka masih terbelakang dan atau merasa dibelakangi. Apalagi pak Gubernurnya juga pendudung beliau. Bahkan saya sendiri, juga merupakan salah satu pendukung yang mati-matian bela dan promosikan pak Jokowi, sejak sebelum pemilu sampai dengan hari ini. Boleh di cek di semua akun saya...fb, twiter, dll.
Tapi, tentu bisikan-bisikan kepada beliau kurang merata. Suara dari Jawa Barat mungkin jarang sampai ke meja beliau. Sementara angin dari arah yang lain begitu kencang dan langsung tembus ke ring satu. Atau bahkan ring satu itu sendirilah sebagai salah satu pusaran anginnya.
Semoga pak Jokowi tak harus menunggu bisikan-bisikan. Tapi bisa langsung menyadari permasalahan di provinsi Jawa Barat.
With regard
Ttd
0 Komentar