Ranca Bana memang Ranca Buaya ini

Rancabuaya aku kembali padamu. 

Sudah setahun lamanya kita gak bersua. Kini aku kan kembali kepadamu. 

Seperti dulu, sebenarnya aku memang selalu suka jalan-jalan ke Rancabuaya ini. Gak banyak yang aku minta, aku hanya mau suasana pantai, angin pantai dan juga pemandangan dan ikan bakar. Saya kira itulah daya tarik terpenting dari Rancabuaya ini.

Dari Bandung kami berangkat tak terlalu pagi. Malah jam 9an baru berangkatnya karena semula kami hanya mau jalan ke Ciwidey saja, hanya ingin makan-makan saja. Kita bawa nasi sendiri, karena niatnya hanya mau suasana adem dipegunungan untuk makan siang. Biasanya dikombinasikan dengan makanan lokal disana, mie ayam, jagung rebus, dll.

Ya itulah mengapa kami pergi agak siangan sebab masak dulu, walaupun hanya masak sederhana saja, ati ampela dan juga kentang potong.

Ya....itulah tujuan kami yang sebenarnya. Semua itu berubah saat manakala kami tiba di daerah Cangkuang antara Banjaran Soreang. Seperti dulu, kali ini mereka melakukan operasi lalulintas disana. SIM C ku sedang di tilang Polwiltabes hampir 3 minggu ini, belum kuambil dan belum niat aku ambil sebab aku merasa gak membuat kesalahan. (Walau sebenarnya aku salah sih, knalpot modif, dan pajak habis)

Lalu, sebenarnya setiap aku lewat jalan ini, sudah 3 kali aku berhadapan dengan operasi tilang ini. Dan hari inipun sama, sesungguhnya hati kecilku sudah mengatakan, duh kok jangan-jangan ada rajia lagi disana. Bahkan aku tadi mau ganti knalpot dulu, tapi karena cukup kesulitan karena nampaknya knalpotku sudah nempel kuat sehingga walaupun sudah di usahakan dengan diketok pun tak mau lepas. Harus pakai minyak peluruh, tapi minyaknya tidak ada sekarang.

Ya sudah aku gak jadi mau ganti knalpot. Ntarlah kalau aku ke Majalaya, karena minyaknya ada disana.

Kata hati memang seringkali memberi kita semacam alarm atau peringatan. 

Benar sekali kan...?. Ya, oleh karena itu, seperti beberapa bulan lalu, maka kamipun balik kanan menuju jalan yang lain. Alternafitnya ada dua, via Tanjungsari atau via Cangkuang-Cikalong. Via kiri atau via kanan. Yang sudah cukup familier bagi kami adalah via Tanjungsari, tapi kami tahu itu cukup jauh, maka kami memutuskan untuk via jalan lain, jalan Cangkuang-Cikalong, nanti didepan belok kanan sehingga semoga itu cukup untuk dapat menghindari dari operasi kepolisian didepan sana.

Tapi aku ragu, jangan-jangan malah pas keluar jalan tepat dilokasi razia tadi. Oleh karena itu kamipun lalu merubah semua rencana, kita ke jalan yang lebih atas sehingga langsung tembus ke Gambung Ciwidey, itulah rute yang kita baca di google map.

Ya...kita ambil hikmahnya saja, sekalian ngabolang, ingin tahu jalan alternatif ini, ingin tahu jalan-jalan yang selain jalan utama. 

Dan benar sekali......kali ini saya justru merasa seperti menemukan penemuan yang baru. Betapa rupanya kita sebenarnya hanya tahu sedikit saja tentang geografi Bandung Raya ini, ternyata masih begitu banyak tempat yang belum aku ketahui. Sungguh ini semakin memberikan kesadaran kepadaku, aku belum ada apa-apanya, masih belum menjadi sibolang yang sesungguhnya.

Keadaan jalan ini cukup landai, dan aku justru menjadi sangat exited karenanya, atau merasa terbuka cakrawala baru. Rupanya sebenarnya sangat memungkinkan jalur ini untuk ditingkatkan menjadi jalan utama yang menuju Bandung-Pangalengan. Via daerah ini masihlah memungkinkan untuk dibangun jalur jalan baru untuk menjadi jalur alternatif yang menuju ke selatan. Dari sini kalau ke kiri itu menuju arah Pangalengan dan ke kanan itu menuju arah ke Ciwidey. Jadi sangat tepat untuk dijadikan jalan besar, atau mungkin bypass atau jalur tol.

Nantilah kita usulkan kepemerintahan kita. Atau minimal adalah pihak terkait yang membaca tulisan ini sehingga menjadi ide pembangunan buat mereka. Seperti jalur Tol Bandung Garut Tasik yang dulu rencananya akan via Cileunyi Rancaekek. Tapi akulah orang pertama yang menulis bahwa sebaiknya jalur itu dirubah menjadi via Majalaya, sehingga sekali dayung dua pulau terlewati. Gak perlu lagi bangun 2 jalur tol, cukup satu jalur tapi melewati dua lokasi jalur penting sekaligus. Itu adalah ide saya. Saya menulisnya di berbagai media, di Skyscrapper City terutama dll. Juga ide lain tentang jalur yang aku usulkan adalah Tol Bandung Cianjur yang hendaknya tidak via Padalarang Ciranjang, melainkan via Cililin Gununghalu. Itu akan seperti 1 x dayung dua pulau terlampaui.

Jalur inipun sama, bisa merupakan kelanjutan dari tol Soroja menuju ke  Pangalengan yang juga bisa bercabang ke kawasan Pasir Jambu Ciwidey. Sehingga bahkan bisa menjadi satu dayung tiga pulau terlewati karena selain menghubungkan dua jalur malah bisa menjadi tiga jalur yakni jalur penyambung antara kawasan Pangalengan dengan Ciwidey. Ini bagus sekali.

Tak terasa sudah sampai diujung jalan itu, ke kanan adalah menuju ke Gambung via Pasir Kihiyang. Itu akan bagus pemandangannya karena akan menuju tempat menarik diatas sana. Tapi berhubung jalannya buruk rupa, jalan yang belum beraspal, akhirnya kami balik kanan dan memutuskan ke Pangalengan saja. Ini adalah jalur yang benar-benar baru buatku. Jalur ini bisa tembus ke Cimaung atau kesini ke daerah Lamajang Cikalong. Bagus sekali. Jalurnya juga cukup landai dengan pemandangan pegunungan, terasering persawahan yang menghijau dan juga lembah sungai yang mengalir deras. mantap juara.

Sang Elang adalah bukti sahih jika disini masih cukup terjaga keasrian alamnya. Gagah sekali alam disekitar sini. Juara.

Ini sungguh merupakan temuan yang membahagiakanku.

Itu adalah sungai Cisangkuy. Cisangkuy hulu airnya sangat deras sekali, airnya banyak sekali dan baaagus sekali. Hanya memang airnya gak begitu jernih, malah begitu keruh. 

Ea, sangat disayangkan airnya cukup keruh begitu, nampaknya airnya membawa kandungan tanah dari pegunungan yang dilewatinya, pertanda bahwa disana terjadi erosi dan atau sedimentasi akan cukup tebal dibawah sana. Ya, begitulah kondisinya. 

Selepas jembatan Cisangkuy itu, jalan masih terlihat landai melingkar mengikuti alur pegunungan dan persawahan, ke kampung-kampung menuju jalan utama antara Cimaung dan Cikalong Pangalengan. Itu adalah tepat di setelah jembatan Cipinang yang kemudian berbelok, tak jauh dari Pom Bensin Cimaung dekat sebelum kantor desa Cikalong, yang diseberangnya adalah jalan Talun Raya yang menuju desa Mekarsari, Ciseureuh dll. 

Jalan ke Pangalengan yang tak asing lagi buat kita semua, terutama yang suka jalan-jalan kesana. Berkelok dengan begitu baguusnya dan cukup mulus dibagian yang tidak tidak mulus.

Memang jadi agak lama dari biasanya karena memang tadinya gak niat ke sini. Tapi alhamdulillah akhirnya sampai juga di pertigaan Pangalengan. Dari sini kita belok yang ke kanan ke arah situ Cileunca. Kita akan cari tempat yang cocok untuk makan. Biasanya kita akan cari warung yang jual mie ayam, sehingga sambil makan kita bisa beli mie ayam juga. 

Ya. nikmat sekali makanan kita kali ini, nasi yang pulen dan juga ati ampele bumbu, beserta kentang potong yang dicampur butiran petai, terasa tepat dimulut kita. Nikmat sekali.

Haripun berangsut terus menuju puncak siang, menuju azan dzuhur yang sebentar lagi. Lamat-lamat suara muadzin itupun terdengar dari perkampungan disekitar. Merdu nan syahdu. Kita akan dzuhur diujung perkebunan teh ini, disana ada sebuah surau yang terasa adem airnya dan maupun udaranya. Kekurangannya satu, toiletnya sangat kurang memadai. Kurang lega dan kurang bersih. Barangkali ada muzakki yang bersedia merenovasinya untuk bekal diyaumil zaza. aamiin.

Dzuhurpun sudah, sungguh adem terasa dipikiran kita, seperti panasnya padang pasir yang kemudian diguyur hujan yang lebat. Seperti yang tadinya panas nan gersang, menjadi terasa adem nan segar.

Damai terasa dikalbu.

Sudah lama sekali kita tidak kesini, pas kesini kita tidak bisa lama-lama disini, sebab yang kita cari adalah si mang bandros, kali ini beliau gak jualan disini, mungkin karena ini bukan hari sabtu dan minggu. 

Kita mau lanjut perjalanan menyusuri keteduhan suasana perkebunan teh yang selalu hijau di sepanjang tahun. Kesana, kebawah menuju ke daerah Talegong. Kita hanya mau menikmati udara yang segar sahaja disekitar sini, dan juga menikmati pemandangan dari lembah-lembahnya dan hutan-hutan yang berkanopikan pepohonan yang hijau diseluruh pelosoknya. Dari pertigaan ujung Cukul ini kita ambil jalan cabang yang lurus kekiri, ini adalah jalur lama jalan Cukul menuju ke Cisewu. 

Ya....kondisi jalannya memang tidak mulus, bahkan sangat ruksak dibanyak tempat, juga longsoran yang sepertinya sudah tabi'at jalan disini. Komposisi tebing disini memang sepertinya terdiri dari campuran kerikil pasir dan bebatuan yang mudah terlepas. Banyak sekali longsoran disepanjang jalur ini. Hampir semuanya berupa bebatuan beraneka ukuran, juga kerikil batu kecil-kecil yang bercampur pasir pegunungan, jarang sekali yang berupa tanah merah. Jalur ini memang terjal dikiri kanannya dan curam dengan jurang yang sangat menganga dalam sekali. Disebelah kiri adalaha jurang dan sebelah kanan adalah tebing yang sangat tinggi hingga kepuncaknya. Berdiri bulu kudukku melihat jurangnya. Memang kita tidak merekomendasikan orang lewat jalur lama ini, terutama yang menggunakan roda empat, jangan deh.

Kita hanya ingin melihat keajaiban alam di daerah ini saja. Perkampungan dibawah sana, yang itu bagaikan suatu lukisan alam atau bak miniaturnya dari suatu maket permukiman dan kita seakan malaikat pengintai yang memperhatikan perilaku umat manusia dipermukaan bumi ini, dari suatu tempat ketinggian tanpa mereka menyadarinya. 

Sepertinya kita ada diatas langit dan permukiman itu ada di perut bumi. Ah pokoknya gak seperti di tempat biasanya. Permukiman itu letaknya memang di bawah lembah yang dalam yang diapit oleh tebing tinggi dikedua sisinya, topografinya seperti itu, terbentang menjulur dari arah hulu ke arah hilir mengikuti alur sungai kecil yang ada didasarnya dan dengan hamparan persawahan yang melengkapi diorama dari secuil bumi yang tersembunyi ini. Kampung apakah itu...?. Kita gak tahu.

Yang jelas disana itu adalah ngarai sungai Cilaki. Seperti sebuah negeri dongeng yang ada dalam khayalan yang seperti bukan dalam dunia nyata.

Seperti pernah saya katakan waktu itu, tempat ini bisa saja ditata dijadikan perkampunan wisata alam yang disana dibangun berbagai sarana prasarana penginapan, permainan air, dan lain-lain atraksi budaya dll.

Mungkin beberapa pengusaha bisa membaca tulisan ini dan kemudian dicarikan sponsorship atau ada pemodal yang bersedia menanamkan uangnya disana. Yakin bisa laku untuk dunia pariwisata, penyuka ketenangan, ketersembunyian, jauh dari keramaian.

Itu akan sangat bagus.

Kekhasan alam parahyangan memang beraneka ragam, dimana-mana ada pegunungan dan persawahan yang menghijau, subur airnya dan banyak tetumbuhannya. Khas dibeberapa daerahnya. Kita tentu harus ikut memelihara semua itu. Ngamumule, memulyakannya.


Jalan ini sebenarnya, dulunya adalah jalur utama. Tahun 2011 adalah tahun terakhir sebelum jalan baru selesai ditahun 2012. Saat 2011 itu adalah pertamakalinya penulis menuju pantai pakidulan Jawa Barat. Lintas Cisewu ke Rancabuaya ini.

Kali ini kita hanya mau jalan saja disekitar sini, selepas ujung jalan lama, kita akan balik lagi menuju Cukul, ke Pangalengan kembali. Makanya jalan kita santai saja karena judulnyapun cuma jalan santai. 

Tapi itulah kita terlalu menikmati perjalanan disiang ini, yang akhirnya semakin jauh semakin jauh dan semakin jauh. Tadinya pengen sedepa, sudah sedepa pengen sehasta, sudah sehasta ingin lanjut terus dan terus. Seperti orang dahaga, lama tak menikmati suatu perjalanan. Sang Elang adalah saksinya. Sudah duakali kita berjumpa dengan elang yang terbang diangkasa. Pertama di sebelum Pangalengan, kedua barusan di perkebunan Cukul. Apakah itu elang yang sama...?!. Bisa iya tapi bisa juga tidak.

Dan alangkah terkejutnya kita ketika disini pun kita berjumpa lagi dengan sang elang yang malah begitu terbang dengan rendahnya. Tepat diatas kita, sungguh gagahnya, sungguh eksotisnya, memang mengagumkan. Tak salah para pendiri bangsa kita menjadikannya sebagai lambang negara. Sang Elang, adalah sang penguasa hewan diudara. Menyenangkan bisa melihatnya dengan begitu dekat, sungguh membuat kita berdecak kagum melihatnya, si pemburu, si penguasa langit. 

Sang elang yang bagaikan burung raksasa dari zaman purbakala. Tajam cara memandangnya membuat takut para ayam dan binatang darat lainnya. Cepat dalam bermanuver bagaikan sniper ketika mebidik buruannya. Menukik tak dapat diduga kedatangannya. Yang bagaikan monster dimata para mangsanya. Jika saja dia lebih besar lagi, maka kitapun akan menjadi bidikannya. 

Menyergap dan menyambar dari udara. Jika sudah menjadi sasaran tembaknya, amat sulit untuk menghindari darinya, karena sang elang amat pandai menentukan ukuran geometrisnya, selalu tepat sasaran, jarang meleset. Kalau sudah terbidik maka itu bagaikan seorang sniper yang tak boleh gagal dalam bidikannya. Satu peluru untuk satu korban. Satu buruan satu tembakan. Hebat sekali. Coba kita saksikan aksi burung eleng seperti itu, yang bisa kita tonton di beberapa kebun binatang. Lembang Zoo misalnya, suka ada atraksi demikian itu, dihari-hari dan jam tertentu. Kurang lebih seperti itulah kelihaiannya membidik korban, selalu tepat menemui sasaran yang dibidiknya, yang tanpa diduga juga kedatangannya.

Atau bagaikan pesawat siluman tempur yang tak bisa terdeteksi keberadaannya, hingga ketika kemunculannya sudah terlalu terlambat untuk dapat menghindari darinya.

Seperti itulah kita mendeskripsikan sang elang ini. Luar biasa mahakarya dari Tuhan sang penguasa alam. Karya Allah swt, yang bukan karya kaleng-kaleng.

Perjalananpun kita lanjut lagi. Menyusuri lorong, ruang dan waktu. Menembus hutan-hutan, bukit-bukit, lembah-lembah nan subur serta beberapa perkampungan disekitarnya. Begitulah bentangan alam yang menuju ke Cisewu ini. Menuruni bukit dan kemudian menapaki tebing-tebing dan perbukitan yang naik dan menurun. Itu bernilai lebih mahal dibandingkan tingginya gedung-gedung diperkotaan. Hanya tinggal membuatkan jalannya yang lebih baik disini, lebih lebar dan lebih mulus, tentu sudah akan semakin eksotis untuk dikunjungi.

Hutan ini adalah hutan peninggalan masa lalu sehingga hendaknya bisa kita jaga terus agar bisa menjadi peninggalan kita untuk anak keturunan kita dikemudian hari. Jangan sampai kita dilaknat oleh generasi yang akan datang. Disumpahi karena tak becus menjaga alam, memelihara kekayaan bumi dan tak memikirkan natural sustainability, keberlanjutan alam

Alam kita yang kaya ini hendaknya bisa kita kelola dan kita pelihara dengan sangat ketat sekali. Ini tak ternilai rupiah, ini sangat berguna untuk semua orang dan juga untuk ekosistem alam secara keseluruhan.

Kekayaan alam ini tak boleh dipandang dengan sebelah mata. Pegunungan yang menjulang, lembah yang subur semua itu adalah anugerah Tuhan semesta alam. Pemberian yang harus kita mensyukurinya dengan cara mengelolanya dengan sebaik mungkin. Hindari peruksakan, hindari kesemena-menaan terhadap alam ini. Itulah harapan kita yang selalu kita katakan berkali-kali. Tak jemu-jemu. Hutan yang lebat adalah penyerap air hujan yang kemudian tersimpan didalam tanah, yang kemudian melalui pori-porinya keluar hingga disaat kemarau, membasahi sungai, mengairi pesawahan yang ada dibawahnya. Tak bosan kita untuk mencintai alam ini. Agar alampun memberikan timbal baliknya untuk umat manusia.


Setiap kali sang elang itu menampakkan dirinya, setiap itupula kita coba untuk memotretnya. Tapi kali ini kita gak ada waktu, tak sempat untuk mengambil kameranya. Ia datang dan lalu pergi menghilang dibalik perkampungan dan bukit ini. Nampaknya tadi dia memang turun dan hinggap diatas permukiman sana, atau entah kesana kebalik lembah di belakang kampung dan bukit ini. Melayang rendah dan lalu tak nampak lagi ujung pemberhentiannya.

Sungguh itu adalah elang yang besar. Tak akan lekang rasa mengaguminya. Elang Parahyangan, Elang pegunungan penguasa langit Bandung dan Garut Selatan.

Tak terasa sebentar lagi kita akan sampai di kecamatan Cisewu itu. Ini adalah Puncak Gembong, sebentar lagi kita akan menuruni jalan menuju perkampungan Cigembong dan sebuah surau disana tempat kita bisa sholat, al-Huda yang kecil nan sederhana dengan warnanya berpolet biru waktu dulu dan atau menjadi hijau saat sekarang.

Dan sebuah warung kecil disampingnya. Itu dulu waktu saya ngopi disana, dan sekarang rupanya sudah menjadi rumah yang bagus. Entah rumah siapa.

Ya...kita lanjut saja meuju ke Cisewu yang banyak pengalaman terkait Cisewu itu. Pernah nobar Persib di halaman parkir Korem Cisewu yang legendaris itu, bersama para tentara dan puluhan masyarakat setempat, dan juga berbagai pengalaman lainnya tentang Cisewu likely valley ini.

Itu adalah trek yang sering kita lintasi setiap kali touring ke jalur selatan, sehingga cukup sudah banyak memori tentangnya.

Di pusat Cisewu ini kita rehat dulu, haus dan mulai pegal juga. Motor juga perlu tambah bahan bakarnya, kita juga butuh istirahat sejenak. Ya...akhirnya kita memang memutuskan lanjut ke Rancabuaya. Sudah lebih dari sepuluh kali kita lewat jalur ini. Cukup sering untuk ukuran petouring abal-abal sepertiku. Sejak jalan ini buruk dengan aspal non hotmix, hingga bagus mulus beraspalt hotmix dan sekarang yang mulai ruksak kembali.

Cisewu Rancabuaya adalah jalur paling mengesankan dalam karier petualanganku. Mudah dijangkau dari Bandung, jalannya sepi dan cukup alami. Itulah kelebihan dari jalur ini. Mungkin jalur Ciwidey Cidaun yang setara dengan jalur ini. Dua jalur yang pantas untuk jadi jalur legenda. Jalur Bandung yang menuju laut Selatan Jawa Barat.

Dulu, kisah tentang kedua jalur tersebut hanya bisa dinikmati melalui cerita para blogger, mereka yang sering lintas alam kesini, dan sekarang alhamdulillah kita sudah ada disini untuk yang kesekian kalinya. Tepat sepuluh tahun pengenalanku dengan daerah ini. Banyaklah cerita tentangnya. Apalagi Cisewu ini jadi mendunia dengan harimau tersenyumnya. Patung terbaik sebenarnya yang sayang diganti orang yang "tak kenal" seni.

Sudah cukup lama rupanya kisah kita dimulai tentang jalur ini.

..........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................dan cerita kita kali ini memang akan sudah cukup panjang.

..............................................................................................................................................................................................................................................

Dari jalur Talegong lama. naik ke jalur baru melewati Puskesmas, lalu turun kelembah yang dalam menuju kedaerah Sasak Geulis yang juga ada irigasi bagus disekitarnya, lalu kemudian sampai ke kampung Nyalindung, ke Cikawung, terus ke Cigembong, Pasir Anjing, PLTMH Cisewu, Desa Mekarsewu, Curug Cisarua, Pertigaan DatarKadu belok kiri, lalu jalan berkelok dan agak menanjak itulah kampung Pasir Ipis desa Cisewu....Ya, tinggal beberapa kelokan lagi kita akan sampai di pusat kota kecamatan Cisewu, dimana kita sekarang berada untuk sekedar istirahat.

Kata si-ibu warung satu hingga satu setengah jam lagi kira-kira sampai ke Rancabuaya dari Cisewu ini. Tergantung bawanya. Pengen cepat pakai patas, bisa satu jam, kalau kelas ekonomi ya 1.5 jam.

Kalau aku sih bilang Cisewu Rancabuaya, dulu hanya memakan waktu setengah jam. Gak terlalu jauh kok. Memang sih, dulu bawanya seperti orang kesetanan. Seperti orang disirkuit saja. Lagi suka-sukanya kebut-kebutan. Jalurnya memang enak dulu, sepi, mulus dan berkelok-kelok naik turun, jelas menyenangkan buat menyalurkan adrenalin. Fullbody protection juga kita kenakan, minimal sepatu diatas tumit, pelindung tulang kering, pelindung tulang tangan dan tentu helm fullface dan pelindung dada dari angin. 

Sudah cukup istirahat, kitapun lanjut perjalanannya ke Rancabuaya itu. Cisewu-Sukarame.

Jalanan di Cisewu cukup landai dan kemudian akan menanjak sedikit untuk kemudian menurun kelembah ke Desa Pamalayan sebelum tiba di Curug Rahong, itu sekitar 2.5 km jaraknya. Ikuti saja jalur yang sekitar tahun 2015an itu masih sangat mulus, naik dan turun menuruti alur jalan yang melewati lembah dan perbukitan. Semakin landai, namun kemudian akan menemui jalur yang terjal kembali dibeberapa lokasi. Jadi tetap harus sangat hati-hati. 

Jembatan sungai Cilayu misalnya, dulu jembatan itu terbuat dari baja dan beralaskan kayu yang cukup mengerikan bagi yang pertama kali lewat disitu. Lalu nanjak dengan jalan yang licin karena hujan dan longsoran tanah ketengah jalan. Itulah dulu ditahun 2011. Ngeri-ngeri sedap lewat jalur ini, bahkan saking mengerikannya buatku saat itu, aku lebih memilih pulang memutar melalui jalur lain yang jauh memutar kekota Garut. Curug Rahong ke Jembatan Cilayu ini kurang lebih 3km saja.

Nah, jalan akan mulai landai lagi hingga kita sampai dipertigaan Sukarame Caringin. Itu adalah 2.5 km dari Jembatan Cilayu. Dari pertigaan ini, jika ke kiri itu menuju Bungbulang Pakenjeng dan jika hendak ke Rancabuaya maka kita ambil arah yang kekanan. Lima puluh meter dari pertigaan aada sepasang tower pemancar untuk internet. Kita terus saja ikuti jalur tersebut hingga menemui jalan pertigaan kembali yang jaraknya paling sekitar 0.6 atau 0.8 km saja. Lagipula kalau jalan yang lurus itu adalah jalan yang kecil dan tidak berhotmix. Jika sudah melewati simpang tiga ini, kalian tinggal tancap gas saja karena hanya sebentar lagi juga sampai di Rancabuaya. (Dulu belum ada minimarket disana, kalau sekarang tandanya adalah sudah adanya minimarket pas tak jauh setelah dari pertigaan tersebut). 

Tapi ingat bagi yang belum tahu medannya seperti apa, wajib untuk tidak kebut-kebutan, saya aja dulu beberapa kali loss, kelebihan dalam menikung karena tikungan disini itu banyak menipu, sepertinya tidak belok, eh tiba-tiba membelok secara tajam. Itu terjadi karena tanjakan dan lalu berbelok secara tiba-tiba. Harus hati-hati karena dari bekas aspal bisa kita lihat beberapa kali nampaknya telah terjadi kecelakaan. itu gak akan ada kesempatan kedua. Sesal sudah tak akan berguna lagi.

Jalur Cisewu menuju Sukarame dan Sukarame menuju Rancabuaya memang sangat baik untuk kebut-kebutan. Kontur jalan yang naik turun dan dengan kelokan-kelokan yang beraneka macam, sangat baik untuk penyuka adrenalin. Tapi itu dulu sewaktu kondisi aspaltnya masih sangat mulus. Kalau sekarang hadeuh, sudah banyak yang ruksak, yang amblas dst. Harus sangat hati-hati saja.

Jarak dari pertigaan Sukarame hingga ke Pertigaan lintas selatan Rancabuaya itu adalah sekitar 10 atau 12 km saja. Kalau bisa ngebut paling juga 7 sampai 10 menit. atau katakanlah 14 menit. dan dari Cisewu sampai Sukarame sekitar 15 atau 20 menit. Jadi Cisewu-Rancabuaya adalah cukup 30-35 menit saja. Kalau sudah hapal jalan mungkin tak sampai 30 menit.

Ya, kali ini kita bawa kendaraan biasa-biasa saja, dan ini sudah sekitar 40 menit. Pantai Rancabuaya sudah terlihat dari bukit sini. 

.....................Pemandangan dari atas bukit ini sungguh mengagumkan. Ini adalah bukit yang cukup tinggi, bahkan sangat cukup tinggi sehingga kita bisa jauh melihat ke pantai yang ada dibawah sana, ke kiri maupun kekanan dan ke arah depan, lautan sudah nampak jelas dari sini. Ini adalah bukit (atau dalam bahasa Sunda adalah pasir) Panenjoan. Puncak Panenjoan. Ada beberapa warung yang bisa untuk kita istirahat sejenak sekaligus menikmati panorama laut dari ketinggian seperti ini. Biasanya memang suka ada banyak pengunjung disekitar sini. Itu dulu, tapi sekarang memang tak seramai dulu, terutama karena ada wabah corona Covid-19, dan maupun beberapa kali ada gelombang tinggi laut selatan dll, sehingga mengurangi jumlah pengunjung ke daerah pantai selatan, termasuk ke Rancabuaya ini.

Padahal sewaktu dulu, pantai ini sangat ramai. Sangat banyak pengunjungnya. Vila, penginapan masiv bertumbuh di sepanjang pantai. Masa keemasan itu rupanya sudah berlalu. Entahlah apakah masa keemasan itu akan terulang kembali...?. Bisa saja iya, asal penataan pantai disini bisa lebih baik lagi. Sampah-sampah dibersihkan, tidak seperti sekarang ini dimana orang setempat membuang sampah seenaknya sendiri. Laut dianggapnya sebagai tong sampah. Sungguh itu seperti orang tak sekolah saja, yang gak ngerti arti keasrian, kebersihan dan kerapihan. Padahal, keindahan itu jadi hilang jika tanpa ada keasrian, kerapihan, ketertiban, keteduhan, kenyamanan, keamanan, kebersihan, dst.

Oleh karena itu keadaan yang kronis begini, hendaknya bisa diperbaiki. Harus ada kesadaran pengelolaan, masyarakat juga harus sadar wisata. Tamu tak akan betah dan tak mau kembali main kesini karena keadaannya kumuh, kotor, banyak sampah dan sangat tidak rapih. 

Harus mulai sadar, sadar kebersihan karena semua juga untuk kelancaran usaha mereka juga, baik sebagai nelayan maupun sebagai pramuwisata, penyedia jasa penginapan, villa dst. 

.........................................

Namun rupanya hari ini saya sedikit beruntung, karena rupanya jumlah pengunjung kesini sudah mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan satu sampai 3 atau 4 tahun yang lalu. Yang sangat sepi pengunjung. Padahal ini hari Rabu loh. Tetapi beberapa tempat bersantai cukup berisi, ada beberapa rombongan keluarga, anak-anak sekolah, umum, dll. 

Ramai, cukup ramai.

Itu adalah kabar gembira. Namun sekali lagi..............kebersihan harus sangat diperhatikan lagi, pengelolaan sampah harus ditingkatkan. 

Ya....kita berharap agar kondisi ini segera mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Pemerintah Garut maupun Pemdaprov. Jawa Barat. Terutama perangkat desa setempat, bapak camat setempat. Ayo kerja, ayo kelola Rancabuaya. 

Dan semoga wabah covid-19 ini akan segera teratasi sehingga para pemangku kepentingan bisa kembali maksimal dalam melaksanakan pembangunan yang setahun lebih tertunda. Memang tidak akan mudah sebab, pemasukan PAD pun berkurang drastis, misal dari pajak pun menurun sangat tajam. Itu tentu sangat berpengaruh terhadap giat pembangunan di daerah. 



Walaupun demikian, kita bisa menyaksikan ada perubahan dipantai ini. Jika dulu sebelum tahun 2018, tak ada pemecah gelombangnya, maka dua atau tiga tahun ini sudah mulai dibangun/atau dilakukan pengurugan, pembuatan pemecah gelombang. Dan kini hari ini, Rabu 7 April 2021, setelah lama tak kesini, rupanya sudah bertambah satu lagi pemecah gelombang itu, yakni disisi kanannya. Lengkap sudah, sehingga perahu nelayan bisa lebih aman bersauh dipantai Rancabuaya.

Maka hari ini bisa kita saksikan begitu banyak perahu nelayan disekitar pantai Rancabuaya ini, ini benar-benar berbeda tak seperti dulunya yang sangat sepi dari para perahu. 

Dulu, nelayan disini masih menggunakan "kukuyaan", yaitu alat melaut dari anyaman ban dalam kendaraan mobil besar dengan pengayuh menggunakan piring seng atau plastik. Namun saat ini, alhamdulllah sudah sangat banyak menggunakan perahu, dan sementara kukuyaan sudah tak terlihat lagi melaut. Ini tentu satu kemajuan. Rupanya, bukannya dulu orang sini tak suka melaut. Bukan begitu, melainkan karena dipengaruhi oleh belum adanya prasarana yang mendukung untuk itu. Mereka tak bisa menggunakan perahu, hanya terbatas beberapa perahu saja.

..................................................................................................................................................................................................................................................................

Saat kami tiba disini kemarin, air laut juga tak seperti yang dulu. Nampaknya air laut saat ini sedang pasang. Yang dulu disini terlihat dan terhampar luas batu karang. Kini hamparan karang itu tak nampak lagi. Ombak itu hingga ketepian pantainya. Apakah itu terjadi karena pengaruh adanya pemecah gelombang itu atau hanya bersifat tentatif...? kadang-kadang terjadinya..?. Perlu penelitian dan analisa lanjutan untuk mengetahui kepastiannya.

Tak ada waktu tentu untuk menelitinya hari ini. Mungkin nanti bisa kita konfirmasi lagi dilain kesempatan. Kita tanya para penduduk setempat dan mungkin pihak terkait bisa menjelaskan duduk kejadiannya.

.................................................................

Pernah aku bilang, bersantai dipinggir pantai. Duduk-duduk, makan-makan dipinggir pantai itu adalah satu kenikmatan yang Rancabuaya memilikinya. Itu adalah kelebihan Rancabuaya dibandingkan Pangandaran. 

Pangandaran tentu sangat baik untuk main air, main ombak dan pasir pantai yang indah. Tapi disana kita tak bisa menemukan saung-saung untuk berteduh yang disana kita bisa santai dan sambil makan ramai-ramai, tepat dibibir pantai. Suasana angin yang semilir ataupun yang berhembus kencang, sama nikmatnya ketika disaat yang sama kita dihidangkan dengan sepaket makanan khas Rancabuaya.

Note...: 

1. Saat ini memang di Pangandaran sudah ada dibangun khusus kawasan wisata kuliner di dekat pantai, Sudah sejak beberapa tahun lalu sebenarnya. Dan juga gubernur jabar saat ini, sedang giat membangun alun-alun Pangandaran sebagai melengkapi sarana wisata di Pangandaran. 

2. Oleh karena itu kita berharap di pantai Ranca inipun akan dilengkapi sarana prasarana yang lebih baik kedepan. Terutama setelah dunia kembali normal.

Kali ini menunya adalah ikan kakap bakar. Kakap merah seberat 0.8 ons, itu adalah 95 ribu matang. Sekilonya adalah 120 ribu. Cukuplah untuk makan disaat ini. Dan seporsi nasi cukup 5 ribu saja. Bonus seteko air teh hangat yang sangat pas ditenggorokan.

Ah...nikmatnya hidangan makan kali ini. Bumbunya juga, yang biasanya bumbu asem manis. Kali ini beda lagi....ini adalah bumbu sambal jahe. Hangat dan pas sekali. Lahap sekali aku makan kali ini. nikmat tiada tara....tak terkirakan. Alhamdu......Lillaah.

...................................................

...............................hari tentu saja berangsut juga sehingga sudah saatnya kita bersiap kembali ke Bandung. Nantilah jika punya rizki dan waktu dan kesehatan, maulah kita kembali kesini. Menikmati hidangan alam Rancabuaya, dan kesehatan yang dijanjikan dari udara khas pantai. Dan semoga panjang umur, semua baik-baik saja.

Lebih dari itu kita berharap, saat aku kembali ke Ranca ini. Suasana pantai sudah lebih teratur lagi. Lebih tertata rapih, lebih bersih tak ada sampah walau secuil. Fasilitas pantai juga semakin lengkap dst. aamiin.

Saat ini saya mau lapor ke pak Gubernur. Mau lapor juga ke Bupati Garut. Dan semoga juga dibaca oleh menteri pariwisata. Sehingga potensi Rancabuaya ini bisa lebih dikembangkan, dan bisa menarik minat para wisatawan lokal maupun internasional. Mungkin bisa juga diadakan kegiatan olahraga wisata semacam balap sepeda, balap kuda, atau bahkan motoGP. Siapa yang tahu...?!

........................................demikian sajalah siaran pandangan mata kita kali ini. Semoga ini bisa bermanfaat untuk kita semua para pembaca setia. Maupun buat bangsa Indonesia pada umumnya, dan orang Ranca pada khususnya. aamiin.


Salam Pariwisata

Jabar memang indah
Indah pada waktunya
Jabar Juara
Indonesia Juara
Kita semua Juara

Kita dukung pemerintahan kita agar Negeri ini tentram damai dan bisa melaksanakan pembangunan dengan baik disegala bidang.

Kita dukung pemda Garut untuk melakukan pemekaran wilayah

#Kabupaten Garut Selatan
#Kabupaten Cianjur Selatan
#Kabupaten Sukabumi Utara
#Kabupaten Bogor Barat 
#Kabupaten Bogor Timur
#Kabupaten Tasikmalaya Selatan
#Kabupaten Indramayu Barat
#Kabupaten Cirebon Timur
#Kabupaten Bekasi Utara
#Kabupaten Karawang Utara
#Kabupaten Subang Utara
#Kabupaten Bandung Timur. dll

#NKRI negara kita
#Rumah Kita adalah Indonesia
#Rumah Kerja Relawan Indonesia

Salam Juara
Rancabuaya memang Ranca Bana
Rancabana betul Rancabuaya ini.
Wisata disini saja
Cinta Wisata Dalam Negeri (Love Indonesia)

Baca juga :

Posting Komentar

0 Komentar