Kullu bid'atin sayyiatin dolalah

Kenapa Nabi mengatakan kullu bid'atin dolaalatin dst. Kenapa Nabi tidak menyebut kullu bid'atin sayyiatin dolaalatin dst. 


Pada konteks seperti itu, penyebutan istilah bid'ah tak perlu ditambahi sayyiatin atau hasanatin karena istilah bid'ah maka maksudnya adalah bid'ah dolaalah. Untuk bid'ah hasanah ada istilah lain yang lebih baik yaitu man sanna bisunnatin hasanatin. 

Seperti kata mencuri. Ada juga mencuri yang baik misalnya mencuri ilmu. Mencuri pahala, dll.

Tapi untuk mencuri ilmu ada istilah yang lebih tepat yaitu mengambil ilmu, mengambil pengalaman dst.

Nah untuk menyebut bidah hasanah pun maka ada istilah lain. Sehingga dalam hadist tsb Nabi cukup menyebuynya bid'ah saja, padahal maksudnya bid'ah sayyiah.

Seperti mencuri pun ada yang baik ada yang buruk. Jika mencurinya itu sesuatu yang terlarang maka itu haram. Jika mencurinya itu sesuatu yang tidak terlarang jika bid'ahnya itu sesuatu yang baik dan ada dasarnya maka hukumnya bisa menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh dll.

Itu contoh penggunaan istilah bahasa.


Nabi mengatakan kullu bid'atin dolalah. 


Atau Man amala laisa minni  dst. Itu semua butuh analogi butuh diagnosa lebih jauh.

Disitulah peran ulama dalam menerangkan suatu dalil. Tak bisa semua orang awam serta merta mengartikan begitu saja secara simpel, semau sendiri. Harus diketahui uslubnya, diketahui kaitan kata atau kalimatnya dll. 

Nabi tak selalu menjelaskan sesuatu secara terperinci dalam satu kesempatan. Penjelasannya bisa saja diterangkan di kesempatan lain, ada di hadist lain atau dalam ayat atau isyarat lain.

Itulah peran ulama untuk merangkumnya, menjelaskan maksudnya dst. 


Ibarat dokter.

Pendapat awam mungkin itu sakit kepala. Tapi ilmu dokter beda lagi, ia perlu mendiagnosa banyak hal. Apakah itu stres, apakah itu demam, apakah itu masuk angin, apakah itu tekanan darah tinggi dll.


Ya itu sakit kepala tapi apa yang sebenarnya maka dokter lebih tahu dari kita.


Ya itu bid'ah tapi apa maksudnya maka ulama lebih tahu. Dokter membagi sakit kepala kepada banyak hal. Ulama juga membagi bid'ah kepada dua macam.


Atau sakit perut misalnya. Sama itu disebut sakit perut tapi sebenarnya belum tentu sama. Ada yang sakit perut itu diare, ada sakit perut itu menstruasi, ada sakit perut itu tekanan psikologi/stres, atau masuk angin, dll.


Gak bisa pakai ilmu pokoknya. Apa yang dikatakan sakit perut ya sakit perut. Apa yang dikatakan bid'ah dolalah ya bid'ah dolalah tanpa mau tau diagnosa nya seperti apa, analisa analoginya seperti apa. Itu namanya ilmu awam, orang gak sekolah gak berilmu gak berpendidikan, gak ilmiah gak mau tahu kebenarannya seperti apa. Pokoknya, pokoknya saja. 


Kalau salah gimana...?!?

Kalau pemahaman kamu itu keliru gimana...?!?


Maka kita butuh ilmunya ulama. Butuh belajar mendengar penjelasan orang yang lebih faham maknanya. Faham ilmu bahasa, faham ilmu tafsir, ilmu hadist dst.


Kaaffah itu begitu. Memahami secara menyeluruh, tidak sekedar tahu arti kata perkata tapi gak ngerti makna secara keseluruhannya, gak tau penjelasan lain, gak mau tahu ayat dan hadist lainnya. 


Itu namanya beragama secara serampangan. Gak mau meneliti secara ilmiah, secara hati-hati.


Hati-hati dalam memahami itu penting. Karena obatnya juga pasti beda, obat sakit gigi karena panas dalam dan karena stres itu bisa beda ramuannya. Para ahli ilmu lebih tahu itu.


Coba baca kalimat setelahnya. Disana diterangkan "ma laisa minni"...apa yang bukan dariku.


Apa yang bukan dariku itu luas maknanya. Apakah itu maksudnya adalah sesuatu yang tidak dilakukan Nabi...?!?. Nabi tidak mengatakan seperti itu. Nabi mengatakannya apa yang bukan dariku.


Bukan dariku itu apa...?!?

Nabi gak mengatakannya sebagai sesuatu yang tidak pernah dilakukan olehku atau tidak dicontohkan olehku. Nabi hanya mengatakan sesuatu apa yang bukan dariku..."ma laisa minni".


Ini jangan asal mengartikan sesuai nafsu sendiri saja. Mengartikan sesuai kemauan sendiri. Artikan secara sebenar-benarnya maksud. 


"Ma laisa minni" itu apa..?!?

Yaitu sesuatu yang tak ada dasarnya dari Nabi.


Dasar itu apa..?!. Yaitu ayat dan hadist yang khusus ataupun yang umum. 


Ayat umum misalnya "alaisa bidzikrillaahi tatmainnul quluub". Bukankah dengan berdzikir kepada Allah itu membuat hatimu tentram...?!?


Dzikir kepada Allah di ayat tersebut gak disebutin jenis dzikirnya seperti bagaimana, tempatnya juga tak ditentukan dimana, kapan waktunya, dst. 


Itu contoh dalil umum. Berdzikir membuatmu tentram hati. Apakah dzikirnya dalam sholat, apakah dzikirnya di pengajian, di ulang tahun, di pesta, di jalan, di rumah, di hutan, sendirian, rame-rame gak ditentukan kaifiyahnya seperti apa. Pokoknya asal dzikir maka insya Allah membuatmu tenang. Apakah dzikirnya sambil ziarah, apakah dzikirnya sambil takjiah, apakah dzikirnya sambil sholawatan. Apakah di hari HUT kemerdekaan RI, apakah di HUT kelahiran Nabi, apakah di HUT ibu, dll. Pokoknya dzikirlah maka itu membuatmu tentram.

Jadi kenapa dzikir atau pengajian atau tahlil tasbih tahmid kemudian dilarang di momen-momen tertentu...?!?


Allah menyuruh kita berdzikir, tahlil, tahmid, dll itu dimana dan kapan saja boleh. Termasuk di wc pun istilahnya boleh berdzikir asal tidak di zaharkan alias cukup di hati. Kenapa tahlil di kala kematian jadi terlarang...?!?. Itu Namanya mengada-ada larangan.


Mau 10 hari mau tiap hari mau hanya sekali itu tidak dibatasi. Semampunya saja, sebisanya saja, seikhlasnya saja. 


Justru bid'ah membatas-batasi orang beramal. Itu namanya bid'ah dolalah. Orang ngaji di hari kelahiran Nabi kok dilarang. Orang dzikir, do'a di kala ada kematian kok dilarang. Itu sama dengan melarang orang dzikir, melarang orang berdo'a melarang orang mengaji. Suatu amal yang tidak ditentukan tempat dan waktunya boleh kapan saja. You dzikir you dapat pahala. Mau kapan dan dimana you dzikir itu terserah kamu dan sama bagus dan pentingnya. Mau sendiri mau rame2 tetap itu disebut dzikir, sama do'a dan sama ngaji. Tetap sama sebagai beramal baik. Kok dilarang...darimana asalnya kamu melarang orang beramal baik....?!?


Oh, Nabi tak melakukannya...?!?


Apakah keadaan Nabi, zaman Nabi sama dengan keadaan dan zaman kita...?!?

Apakah zaman sahabat sama dengan zaman kita...?!? Sehingga semuanya harus sama persis...?!?.


Waktu dan tempat tak mesti sama. Di zaman Nabi mungkin orang tak dikumpulkanpun serta merta umat Islam saling mendo'akan atas kematian tetangganya dst.


Lah di akhir zaman beda lagi. Kalau tidak di kelola secara terorganisir dikumpulkan rame2 dibudayakan bersama  mana ada orang mau mendo'akan tetangganya. Kenal tetangga juga kadang tidak kok.


Jadi gak harus sesuatu itu ada dilakukan Nabi karena waktu, tempat dan zamannya juga berbeda.


Zaman Nabi dan zaman sahabat saja beda kok. Zaman Nabi tarawih cukup sendiri-sendiri di rumah masing2 kok. Tapi di zaman sahabat beda lagi. Kalau tidak dibudayakan secara berjamaah  bisa-bisa orang gak tarawih. Namanya sholat wajib saja ditinggalkan kok apalagi amalan sunnah...?!?


Jadi you kudu pinter dalam melihat semua itu. Agama ini juga butuh kecerdasan untuk bisa mengamalkannya dengan baik dan benar. 


Gimana you bisa ambil kesimpulan semua bid'ah itu sesat. Padahal para sahabatpun melakukan bid'ah, bid'ah yang  hasanah. Gimana cara pikirnya orang bisa menyesatkan para sahabat padahal sahabat adalah umat terbaik sepanjang masa...?!?  Yang mereka itu dijamin ahli surga..?. Bandingkan siapa lebih faham Islam apakah kita apakah ulama ??. Apakah kita apakah para sahabat.. ?!?


Jadi sekali lagi mari kita pelajari agama ini dengan baik. Dengan ilmu dengan pikiran dan hati yang jernih.


Buat apa you sibuk bid'ah-bid'ahin amalan orang...?!? Apakah itu membuatmu jadi juara...?!?

Apakah itu membuatmu jadi kekasih Allah atau justru kekasih nafsu kekasih setan...?!?. Ya haRus hati2 dong...itu namanya juhud, waro, akhlak, tawadlu, makrifat, dst.


Semoga bermanfa'at khususnya buat kita yang cari kebenaran. Aamiin. 


Wallahu a'lam bisshowaab.


Bandung, 1 Juli 2023

Posting Komentar

0 Komentar