Dari Citambur via Gambung demi Jagung di Pangalengan

Citambur...Cai nu nyembur, air yang berhamburan. Mungkin itulah arti dari penamaan curug ini, curug Citambur.

Kebetulan, ini hari masih berada di musim kemarau, atau musim yang baru mau ke penghujan. Sudah ada 3 atau 5 kali turun hujan di sini, di tanah Parahyangan ini.

Minggu yang tak boleh kelabu. Sebaiknya kita lanjut perjalanan ke pegunungan, ke Ciwidey dan sekitarnya.

Jalur ke sini, ke arah curug ini adalah tentu meliwati pegunungan Ciwidey Rancabali, terutama bagi mereka yang datang dari arah kota Bandung dsk. Sehingga ketika rencana awal hanya hendak mencari udara segar pegunungan Ciwidey itu, tapi ada kemungkinan dalam hati untuk lanjut ke tempat lain, ke Cidaun seperti dulu itu atau ke sini seperti hari ini.

Tak jauh dari plang nama perkebunan Rancabali, selepas pemandian Wallini atau Cimanggu, beberapa meter dari sebelum pintu masuk ke Patenggang kita akan bertemu dengan pertigaan jalan yang ke arah kanan. Dengan jalan yang cukup lebar, dan cukup beraspal hotmix, sehingga sangat mudah untuk ditemukan jalurnya.

Apalagi di pertigaan tu kita juga dapat membaca arah jalan ke curug Citambur ini, Jalan Rancabali-Cipelah, atau tanyakan saja ke arah perkebunan Sinumbra pasti orang sini sudah pada hapal. Keypoint nya adalah curug Citambur....gak akan salah lagi.

Kesini ini baru keduakalinya kali ini. Beberapa waktu lalu jalan di selepas pertigaan itu masih dalam kondisi sangat mulus. Tapi hari ini, sangat disayangkan semua itu sudah berubah 175 derajat. Sudah ruksak dimana-mana. Perjalanan menjadi tidak senyaman waktu itu.

Burung-burung yang dulu bercerita tentang alam ini, pun secara otomatis kini telah pergi entah kemana. Semoga saja mereka bukan pergi untuk selama-lamanya, melainkan hanya pergi karena debu saja yang beterbangan disini. Sehingga ketika debu-debu jalanan itu telah tiada, maka mereka bisa akan kembali lagi kesini, menyemarakkan suasana perkebunan Rancabali dan Sinumbra. ya tentu saja kita berharap yang demikian itu, aamiin.


Maka perjalanan kami lanjutkan dengan sedikit keluh kesah. Berharap si burung itu menemuiku lagi, tapi rupanya tidak.

Ada beberapa yang membuat heran, dan asing buat penulis. Apa itu...?

Jalur jalan. Serasa ada yang berbeda dengan jalur jalan disini. Penulis benar-benar tidak lupa, bahwa pasti ada sesuatu yang telah berubah disini yang dulu tidak seperti ini jalurnya. Dan benar dugaan penulis, setelah jalur yang asing itu rampung disusuri, dan ketemu di lokasi yang tak asing lagi yang dulu pernah penulis liwati itu. Benarlah pastinya telah terjadi perubahan jalur jalan disini, di antara perkebunan teh Rancabali dengan perkebunan teh Sinumbra itu.


Dulu kita bisa lihat perkampungan ini dari kelokan terakhir jalan itu, namun kini itu tidak kita temui lagi melainkan datangnya dari arah yang berbeda. 

Kiranya jalur baru ini dia menuju agak selatan dari perkampungan itu. dan kemudian langsung menuju ujung perkampungannya disebuah tikungan yang ada jembatan kecilnya. 

Ya, penulis ingat itu, disana itu, di jembatan itu dulu ada beberapa anak muda yang nongkrong, ada portal dll juga sehingga mungkin sekarang mereka sudah lepas dari masa remajanya.

Jalur ini dulu beberapa masih berupa jalan berbatu kecil dan berselang-seling dengan tanah berwarna kecoklatan begitu. Tanah yang gembur tanah yang lembut jika kita menyentuhnya.

Jalan yang baru itu kini sudah menjadi lebih baik, sudah dibeton dengan beton yang baik. Sehingga perjalanan terasa begitu menyenangkan. Walau juga dalam beberapa bagian tadi sempat membuat kita kecewa.

Secara umum jalur ke arah Citambur ini sekarang sudah lebih baik lagi. Mayoritas sudah di beton, sehingga kita bisa sampai disini dengan lebih cepat dan aman.

Baru kemarin temanku juga bercerita di tahun-tahun dulu semasa SMA, bahwa dia bersama teman-temannya dulu sesungguhnya pernah juga ke Citambur ini. Motornya yang Karisma X katanya, terantuk ruksak di beberapa bagiannya. 

Ya tentu saja karena jalan ini dulu masih berupa pasangan bebatuan dengan diameter yang besar-besar, tidak rata, atau lepas-lepas dari tanahnya, licin dan sangat ruksak.

Beberapa kendaraan haruslah dibantu oleh masyarakat setempat. Ada, selalu ada orang standby disana, menunggu untuk membantu setiap kendaraan yang lewat jalur jalan ini, yang licin dan menyulitkan.

Jalanan itu dulu seperti kita lihat pada gambar diatas ini, dipenuhi oleh sekam padi agar roda dari kendaraan tidak mengalami slip. Para penduduk itulah yang membantunya dengan menebarkan kulit padi disana. Alam perdesaan jadinya terasa banget dikala itu. benar-benar seperti keadaan perkampungan tempo doeloe...Dalam keterbatasan demikian itu, membuat suasana perkampungan sangat kental dirasakan.

Kini zaman sudah berubah. Presiden sudah ganti, gubernur sudah ganti dst. Sehingga untuk di zaman sekarang ini, jalan ke perkampunganpun sudah menjadi lebih baik, berhotmix mulus, bahkan dengan beton yang kualitas baik dst.

Lebih cepat perubahannya, hingga sebelum corona datang merubah keadaan itu. Menjadi seperti sedemikian prihatinnya bangsa kita saat ini. Karena kungkungan wabah corona yang menyerang bangsa-bangsa didunia. 2019 akhir, kini sudah memasuki bulan ke 10 2020. 10 bulan dalam PSBB (pembatasan sosial berskala besar), atau lockdown atau PSBM dll. 


Beberapa situ yang dulu terlihat asri, entah mengapa kini menjadi mengering. Karena kemarau yang juga sudah cukup lama menerjang bangsa kita, tentu membuat situ-situ disini akhirnya susut sedemikian itu.

Kebetulan bahwa hari ini disini sedang ada acara dari perkumpulan pemotor, entah dari mana. Mungkin gabungan dari Bandung, Cianjur dll. Cukup ramai suasana disini. Ada konser musik segala, ada panggung dangdutan disana. Suaranya hingga membuat kompleks taman Citambur ini bising oleh nyanyian-nyanyian itu.

Dan, taman-taman yang dulu belum jadi itu, kini rupanya sudah selesai mengalami perombakan disana-sini. Hingga ke bukit kerucut didepan curug ini juga tak lepas dari renovasi besar-besaran. Dipercantik, dibuat taman-taman, kolam-kolam dan spot-spot untuk selfie juga tersedia...dll

Air curug Citambur ini, masihlah airnya berhamburan. Tapi intensitasnya tidaklah seperti biasanya di kala musim penghujan yang dengan debit air yang cukup besar (kita bisa lihat dari hasil pemotretan di masa hujan harus memakai ponco dengan sekarang di bukan musim hujan). Kali ini, saat ini debitnya tidak terlalu besar, walau juga tidaklah kalau disebut kecil. Masih cukup besar juga rupanya.

Tak seperti curug-curug lainnya yang juga ada disekitar sini. Citambur masih berhambur dengan tirisan air yang menyebar kemana-mana.. Namun tak seperti biasanya tentu, yang hamburannya itu hingga seperti kawah, menguap membuat pusaran angin yang berputar-putar disekitaran curug itu.

Jika kalian ingin mendapati Citambur yang demikian itu, hendaknya harus datang di kala musim penghujan. Tapi untuk dapat membedakannya maka datang dikala seperti sekarang ini akan menjadi pembanding yang tepat.


Setengah jam sudah kita berada disini, menikmati pemandangannya disini. Lapar juga pada akhirnya, namun dengan kedai-kedai yang tersedia disini, maka tak perlu khawatir tentang isi perut. Minimal untuk ganjal perut, atau dengan mie rebus sudah cukup untuk sekarang ini.

Maka kamipun pulang saja kembali ke Bandung. Tadinya hendak memutar via Pagelaran atau Gunung Halu Cililin, tapi karena dirasa itu akan cukup jauh dan melelahkan, akhirnya kita urungkan niatan itu dan kembali menuju jalur yang tadi, via Sinumbra estate.

Adaburung yang berwana coklat dengan garis-garis warna abu-abu atau coklat terang begitu, mirip seperti burung puyuh. Santai dia berjalan menaiki gawir menuju kolong-kolong perkebunan teh yang ada di atas jalan. Entah burung apa. Seakan dia ingin menyapaku, mengajakku untuk mengerti tentang kehidupan yang sesungguhnya, yang ada dalam dunia mereka. Yang kita tidak menyelaminya. 

Bahwa dunia mereka itu, tak ubahnya seperti dunia kita dengan versi yang berbeda. Tentu mereka punya teman, punya saudara, punya orang tua, punya anak keturunan dst. Mereka tentu juga saling bicara satu sama lain, sesama mereka, sesama tetangga-tetangga mereka dengan sejenis mereka atau dengan jenis burung lainnya, dengan binatang lainnya juga. ada mangsa, ada pemangsa, ada bahaya, ada rasa takut, rasa aman, rasa nyaman, rasa sedih, rasa bahagia. Ketawa, menangis, bersenandung, bernyanyi dst.

Mereka juga sama dengan dunianya mereka sendiri, dalam siang, dalam malam, dalam terik, dalam hujan. Sama seperti yang kita alami juga di alam semesta, di bumi kita ini.

Kita tidak sendiri, ada banyak kehidupan lain di bumi ini, di kebun ini, di hutan-hutan, disungai, di dalam air, diudara, didalam tanah dll.

Janganlah kita merasa sebagai hidup satu-satunya sehingga kita melupakan kehidupan teman kita ini...burung-burung yang indah nan lucu ini. Salam untuk kalian semua, berbahagialah hendaknya kalian disana. Hormat untuk teman dan kalian semua. Salam persaudaraan sebumi, se alam ini.

Karena tak mungkin terus membuntuti kehidupan mereka, akhirnya kamipun pergi saja dari sana, karena tujuan kita ada lainnya...menuju Citambur yang barusan barusaja kita kunjungi.

Menuju Ciwidey adalah mengingatkan kepada Jagung Bakar. Tapi kali ini kami inginnya bukan Jagung Bakar, kami inginnya adalah Jagung Rebus.

Ada banyak penjual Jagung Bakar itu, disepanjang Rancabali, Rancaupas dll tak ada satupun jua yang menyediakan Jagung Rebus. Padahal kami inginnya Jagung Rebus, bukan Jagung Bakar. Ya sudah akhirnya kami teringat harus ke Pangalengan saja, disana biasanya yang ada Jagung Rebus.

Sebaliknya dengan Ciwidey Rancabali, di Pangalengan justru biasanya tak ada Jagung Bakar, yang ada justru Jagung Rebus.

Ya sudah, mungkin sudah segmentasi. Sudah semacam perjanjian antar pedagang Jagung di dua kawasan wisata itu. Ciwidey khusus untuk Jagung Bakar, dan sementara Pangalengan khusus untuk Jagung Rebus. 

Ingatkan itu...jangan lupa.

Dari Citambur ke Ciwidey untuk Jagung, akhirnya harus dilanjut menuju Pangalengan. Ini hari masih siang, baru adzan asyar berkumandang, tentu masih ada waktu untuk ke Pangalengan. Demi sepotong Jagung...yang sudah kami terbayang dari tadi.

Rasa jagung rebus itu demikian semakin terbayang dalam benak kami sehingga tak mungkin kami tidak mencarinya walau harus pergi ke sana, ke Pangalengan.

Kamipun turun saja ke arah pulang, ke arah utara, karena kalau hendak ke Pangalengan tentu harus kembali ke sana dan baru naik lagi ke arah selatan menuju Bandung selatan yang satunya lagi. Perlu dicatat disini bahwa Bandung Selatan itu ada tiga atau empat sebenarnya, Ciwidey, Pangalengan dan juga Ibun. Serta Kertasarie.

Namun saya teringat dengan jalan yang pintas yang via Gambung. Itu adalah jalan yang akan menembus Gunung Tilu Patuha. Kawasan hutan lindung yang masih cukup rimbun dengan pepohonan yang tinggi-tinggi, rapat dan cukup menyeramkan karena gelap suasananya.

Jalan dari Gambung ini nanti akan meliwati perkebunan teh yang sangat indah. Dengan variasi pemandangan yang khas disana. Akan sangat menyenangkan berada disana.

Tapi hari sudah menuju sore, sehingga tak akan bisa berlama-lama kami nikmati pemandangannya. akan cepat saja perjalanan kita kali ini. Dari Gambung menuju arah Cirahong Pangalengan.

Dari perkebunan teh, menuju hutan belantara dan kembali lagi menuju perkebunan teh dibalik gunung Tilu Patuha ini.

Ya, alhamdulillah ternyata jalan disini sekarang sudah lebih baik. Sudah sangat baik dengan jalan yang di cor, di hampir 60 persennya. Dulu baru sampai di kelokan sebelum masuk hutan, dan sekarang jalan yang di cor sudah masuk ke bagian dalam hutan. Mayoritas sudah di cor, hanya sebagian kecil saja rupanya yang masih belum sempat di cor, karena alokasi anggarannya semua tercurahkan untuk hal lain yang lebih urgent...penanganan wabah corona itu, si covid-19 yang semoga segera enyah dari bumi pertiwi ini...aamiin ya Allah, yaa mujiiba saailiin. aamiin. kabulkanlah do'a kami ya rabb.

Tak terasa, akhirnya sampai juga di Pangalengan, di sebuah lapangan bola yang ke arah Cibolang, disanalah biasanya ada penjual Jagung Rebus yang setia ada hampir disetiap zaman dan waktu.

Jagung itulah yang kami cari hari ini. Jagung Rebus Pangalengan.


#ypidea 2020



Silahkan Baca Juga :
1. Curug Citambur
2. Curug Cialing

 

Posting Komentar

0 Komentar