Ibadah itu bukan untuk selain Allah. Ibadah itu haruslah hanya untuk mencari ridha Allah SWT.
Itu rumus ibadah yang pertama.
Banyak orang yang kelihatannya ikut berperang, berjihad di medan perang. Dia meninggal. Kata orang orang di mati syahid.
Tunggu dulu. Allah membantahnya. Tidak dia tidak syahid. Dia berperang bukan untuk mencari ridhaKu..dia berperang untuk mendapat pengakuan manusia...ingin di anggap pejuang, ingin disebut pahlawan, ingin tanda pangkat di hadapan manusia.
Dari kisah itu kita belajar banyak hal.
1. Niat ibadah adalah hal paling penting. Harus tulus karena Allah SWT. Jangan ada niat lain, jangan ada dusta di hadapan Allah SWT. Belajar mengikhlaskan hati ini tidak mudah. Dia butuh latihan terus menerus. Butuh ilmu juga, belajar dari ahli mengelola hati. Belajar qalbun salim. Itulah kemudian muncul ilmu tasawuf dan ilmu thariqah. Jangan buruk sangka. Innanal a'malu binniyaat. Semua hal juga diukur dari niatnya. Tasawuf itu gak harus. Tapi dia adalah salah satu cara untuk membuat ibadah menjadi ada gregetnya, ada ruhnya, ada kekuatan qalbunya. Tasawuf mengajarkan orang untuk bisa mengelola hati dari segala bahaya atau penyakit hati seperti ujub bangga dengan kelebihan dirinya yg membuat dirinya merasa lebih dari yang lain, riya ibadah ingin di lihat orang, sum'ah merasa sholeh. Sombong dalam ibadah merasa diri sholeh ahli ibadah dll. Itu contoh contoh penyakit hati.
Untuk mencapai tingkatan sholihin itu perlu dilatih, perlu terus diasah. Dzikir itu bukan sekedar ucapan di mulut sampai tenggorokan. Sudah sebatas itu.
Dzikir itu harus dijiwai, meresap sampai sedalam-dalamnya. Sehingga makna dan tujuan berdzikir itu tercapai. Membuat dirinya sadar tentang statusnya sebagai hamba, dan sekaligus tumbuh keyakinan yang semakin kuat tentang segala sifat Tuhan yang kita ketahui. Allahu akbar....Allah Maha Besar, diri ini kecil...harta itu kecil, bumi dan seisinya itu kecil hanya setitik diantara langit yang luas sekali. Tuhan lebih Besar dari itu semua. Karena Allahu Akbar...Allah Maha Besar...tak layak kita berebut pangkat, harta, dll. Tak layak pula aku merasa besar karena sadar bahwa kita memang sangat kecil bagaikan butiran debu diantara alam ini. Terus diresapi arti Allahu Akbar itu.
Allahu Akbar. Tapi disaat yang sama melempari orang, menimpuk, memukili, mencaci.
Dia mengucap takbir hanya dimulut. Bukan takbir yang sesungguhnya takbir. Membesarkan Allah SWT, dan merendahkan dirinya dari Allah, dari orang dari yang lain.
Bukan dengan takbir malah jadi takabbur. Itu sih takbir cangkang, takbir kulit. Isinya justru takabbur.
Bukan dapat pahala malah menambah dosa. Bukan potensi mendekat ke Allah tapi justru semakin menjauhiNya.
Naudzubillaahi min dzaalik.
Karena itulah kita butuh belajar agama secara luas. Bukan sekedar cangkang syari'at tapi isi hakikat. Bersujud lahir dan bathin. Bertakbir jiwa dan raga. Begitulah ilmu disusun untuk dipelajari. Termasuk ilmu syariah, fiqh, tauhid, tasawuf, dll.
Ilmu itu cahaya, menerangi jalan yang kita tempuh.
2. Dari kisah itu kita juga belajar tentang syariat. Berjihad itu syariat ketika ada musuh kita wajib membela bangsa, agsma, jiwa dan raga. Itu syariat. Tapi syariat saja tidak cukup tanpa dibekali ilmu hati. Niat yang ada di hati. Menjaga diri dari segala penyakit hati dan bahayanya. Ini jihad juga, jihad qalbu. Jihadunnafsi...jihad melawan bisikan hati yang buruk.
Qul a'uudzu birabbinnaasi.....maalikinnaasi, ilaahinnaasi,
Min syariirl waswaasil khannaasi....alladzi yuwaswisu fii shuduurinnaasi minal jinnati wannaas.
Jauhkanlah dari bisikan setan jin dan dari bisikan setan-setan yang dari golongan manusia.
................................Orang yang punya ilmu hati dia tidak akan sombong, dia tidak akan mudah menjudge orang, dia akan tepo saliro...melihat dari dalam.
Ada ustadz menghina orang, dia tertipu dirinya. Dia bukanlah guru yan baik. Tak cukup hanya hapal ribuan hadist dan al-qur'an. Ibnu Muljam yang dedengkot khawarij, musuh Nabi dan musuh para sahabatpun dia hapal qur'an jadi guru ngaji di Mesir, dll.
Dialah ibnu muljam yang menghasut umat, hingga ribuan umat berdemo ke rumah khalifah Ustman hingga beliau syahid teebunuh oleh karena hasutan guru ngaji pada masa itu.
Zaman sekarang juga sama. Kita lihat, kita bisa saksikan. Orang bergelar ustadz, guru agama, dosen agama, dll. Begitu mudah menghasut rakyat, menebar permusuhan. Mencaci presiden, ingin menggulingkannya dst.
Itu sama seperti khawarij. Umat ditipu dengan ayat-ayat jihad. Ayat melawan kedzaliman. Dst.
Kedzaliman apa...?. Tapi rakyat sudah terlanjur dijejali informasi yang semuanya buruk. Muncullah kebencian didada umat. Muncullah pergolakan yang semakin membesar.
..........ingin menggulingkan pemerintahan.
Itulah yang terjadi di Suriah.
Yang terjadi di Indonesia juga mirip seperti itu. Umat dikompori terus menerus. Di hasut tiada henti.....medsos menjadi ajang penghinaan kepada pemimpin negar, kepada ulama beneran, kepada kyai pesantren, kepada ahli agama sungguhan.
Sama seperti di Suriah. Ulama besar disana Syech Buthi, akhirnya wafat karena di bom kaum ekstrimis.
Khawarij itu ekstrimis. Mereka melawan para sahabat yang arif bijaksana ahli surga.
Zaman sekarangpun sama, kaum ektrimis itu memblowup hoax, tipu-tipu dalil, dst. Sehingga umat membenci ulama yang sebenarnya. Dan sebaliknya mengagungkan mereka para penghasut itu.
Itu mirip, persis dan sama. Dari dulu hingga sekarang. Ada para sahabat pewaris Nabi, ada khawarij sebagai yang memusuhinya.
Sekarang juga begitu. Ada dua blok umat. Ada yang terhasut ustadz khawarij dan ada yang istiqamah ikut kyai ulama beneran, ulama kyai pesantren yang jumhur yang mayoritas.
Dan Rumus yang kedua adalah :
"Yatsiruu walaa tuatsiruu"....mudahkan jangan dipersulit.
Agama itu mudah, kalau kamu mempersulitnya maka kamu akan "dikalahkan". Itu sabda Nabi SAW.
Jika kita mempersulit diri, akibatnya kita akan down...akan tak berhasil dalam beragama untuk mencapai derajat taqwa. Berlebih-lebihan. Dalam arti melebihi kemampuan, dan atau bermalas-malasan mengurangi takaran.
Yang tengah-tengah saja, dan juga sesuai dengan kemampuan dan kondisinya. Butuh ilmu lanjutan untuk memahaminya. Ini hanya gambaran awal.
Maka belajar tasyawuf selain fiqh adalah keharusan. Jago ilmu tasyawuf mungkin tidak, tapi mengamalkan ajaran tasyawuf adalah keharusan....Kita harus baik hati, tidak sombong, tidak ujub dst. Itu ranahnya ilmu tasyawuf. Akhlak kepada Allah SWT, kepada manusia dan kepada alam lingkungan lainnya.
Wallahu a'laam bishawaab.
Sebagian foto mungkin hanya pemanis saja.
Berikut referensi tentang ummatan wasathan :
Ahlussunnah wal Jama'ah menurut NU
Senin 24 Agustus 2015 19:02 WIB
BAGIKAN: Forum Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada awal Agustus 2015 lalu membahas perihal "Khashaish Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyyah" atau Aswaja Perspektif NU pada sidang komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudhu’iyyah. Materi ini dibahas di masjid utama pesantren Tambakberas Jombang yang dipimpin oleh KH Afifuddin Muhajir.
Berikut ini rumusannya.
Khashaish Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdhiyah Islam sebagai agama samawi terakhir memiliki banyak ciri khas (khashaish) yang membedakannya dari agama lain.
Ciri khas Islam yang paling menonjol adalah tawassuth, ta’adul, dan tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki arti yang sangat berdekatan atau bahkan sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa disatukan menjadi “wasathiyah”. Watak wasathiyah Islam ini dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil dan pilihan), agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah;143)
Nabi Muhammad SAW sendiri menafsirkan kata وَسَطًا dalam firman Allah di atas dengan adil, yang berarti fair dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Perubahan fatwa karena perubahan situasi dan kondisi, dan perbedaan penetapan hukum karena perbedaan kondisi dan psikologi seseorang adalah adil.
Selain ayat di atas, ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan watak wasathiyah dalam Islam, misalnya firman Allah:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra’: 29)
Dalam firman-Nya yang lain,
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra’: 110)
Sementara dalam hadits dikatakan,
خَيْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا
“Sebaik-baik persoalan adalah sikap-sikap moderat.”
Mirip dengan hadits di atas adalah riwayat,
وَخَيْرُ اْلأَعْمَالِ أَوْسَطُهَا وَدِيْنُ اللهِ بَيْنَ الْقَاسِىْ وَالْغَالِىْ
“Dan sebaik-baik amal perbuatan adalah yang pertengahan, dan agama Allah itu berada di antara yang beku dan yang mendidih.”
Wasathiyyah yang sering diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:
Pertama, keadilan di antara dua kezhaliman (عدل بين ظلمين) atau kebenaran di antara dua kebatilan (حق بين باطلين), seperti wasathiyah antara atheisme dan poletheisme.
Islam ada di antara atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan poletheisme yang memercayai adanya banyak Tuhan. Artinya, Islam tidak mengambil paham atheisme dan tidak pula paham poletheisme, melainkan paham monotheisme, yakni paham yang memercayai Tuhan Yang Esa.
Begitu juga wasathiyyah antara boros dan kikir yang menunjuk pada pengertian tidak boros dan tidak kikir. Artinya, Islam mengajarkan agar seseorang di dalam memberi nafkah tidak kikir dan tidak pula boros, melainkan ada di antara keduanya, yaitu al-karam dan al-jud.
Allah berfirman;
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)
Kedua, pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan. Misalnya,
(a). wasathiyyah antara rohani dan jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya memerhatikan aspek rohani saja atau jasmani saja, melainkan memerhatikan keduanya. Wasathiyyah antara nushûs dan maqâshid. Itu berarti Islam tak hanya fokus pada nushûs saja atau maqâshid saja, melainkan memadukan antara keduanya.
(b). Islam pun merupakan agama yang menyeimbangkan antara `aql dan naql. Bagi Islam, akal dan wahyu merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting yang sifatnya komplementer (saling mendukung antara satu sama lain). Kalau diibaratkan dengan pengadilan, akal berfungsi sebagai syahid (saksi) sementara wahyu sebagai hakim, atau sebaliknya, yakni akal sebagai hakim sementara wahyu sebagai syahid.
(c). Islam menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat, antara ilmu dan amal, antara ushul dan furu’, antara sarana (wasilah) dan tujuan (ghayah), antara optimis dan pesimis, dan seterusnya.
Ketiga, realistis (wâqi’iyyah). Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu idealistis. Islam memunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam tidak menutup mata dari realitas kehidupan yang–justru–lebih banyak diwarnai hal-hal yang sangat tidak ideal.
Untuk itu, Islam turun ke bumi realitas daripada terus menggantung di langit idealitas yang hampa. Ini tidak berarti bahwa Islam menyerah pada pada realitas yang terjadi, melainkan justru memerhatikan realitas sambil tetap berusaha untuk tercapainya idealitas.
Contoh wasathiyyah dalam arti waqi’iyyah ini adalah pemberlakuan hukum ‘azîmah dalam kondisi normal dan hukum rukhshah dalam kondisi dharurat atau hajat.
Watak wasathiyyah dalam Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin dalam semua aspek ajarannya, yaitu akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam manhaj.
Dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, watak wasathiyyah tersebut antara lain terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
Melandaskan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pokok dan juga kepada sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur’an dan As-sunnah seperti ijma’ dan qiyas.
Menjadikan ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi.
Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad, tidak ada jalan lain kecuali harus bermazhab dengan mengikuti salah satu dari mazhab-mazhab yang diyakini penisbatannya kepada ashabul madzahib.
Namun, Nahdlatul Ulama membuka ruang untuk bermazhab secara manhaji dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin dipecahkan dengan bermazhab secara qauli.
Pola bermazhab dalam NU berlaku dalam semua aspek ajaran Islam; aqidah, syariah/fiqh, dan akhlaq/tasawwuf, seperti dalam rincian berikut:
(a). Di bidang syariah/fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti salah satu dari mazhab empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Malik ibn Anas, mazhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafii dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal.
(b). Di bidang aqidah mengikuti mazhab Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan mazhab Imam Abu Manshur al-Maturidi.
(c). Di bidang akhlaq/tasawuf mengikuti mazhab Imam al-Junaid al-Baghdadi dan mazhab Imam Abu Hamid al-Ghazali.
Berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar, yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan mujadalah bil husna.
Sebagai salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah (realistis), Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang sah menurut pandangan Islam dan tetap berusaha secara terus menerus melakukan perbaikan sehingga menjadi negara adil makmur berketuhanan Yang Maha Esa.
Mengakui keutamaan dan keadilan para shahabat Nabi, mencintai dan menghormati mereka serta menolak dengan keras segala bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap mereka apalagi menuduh mereka kafir.
Tidak menganggap siapa pun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan dosa).
Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa`il furu`iyyah-ijtihadiyah adalah keharusan.
Nahdlatul Ulama tak perlu melakukan klaim kebenaran dalam masalah ijtihadiyyah tersebut.
Menghindari hal-hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama muslim, ahlul qiblah.
Menjaga ukhuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan ukhuwwah wathaniyyah terhadap para pemeluk agama-agama lain.
Dalam konteks NU, menjaga ukhuwwah nahdliyyah adalah niscaya terutama untuk menjaga persatuan dan kekompakan seluruh warga NU.
Menjaga keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani dengan mengembangkan tasawwuf `amali, majelis-majelis dzikir, dan sholawat sebagai sarana taqarrub ilallah di samping mendorong umat Islam agar melakukan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. (Red Alhafiz K)
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/61776/ahlussunnah-wal-jamaah-menurut-nu
Semoga bermanfaat untuk kebaikan. Aamiin
0 Komentar