Kang Emil dan Golkar.
Pencapresan kang Emil, kuncinya ada di ketum Golkar. Apakah beliau tetap mau maju sendiri atau berubah pikiran dst.
Kita lihat saja kedepan. Yang pasti kang Emil masuk Golkar sudah tahu kondisinya seperti itu.
Itu menunjukkan kang Emil tdk ambisi jabatan. Kalau ambisi mungkin dulu akan memilih ke partai lain yg ketumnya gak niat maju di pilpres. Sehingga peluang diusungnya lebih terbuka.
Alasan utama Kang Emil masuk Golkar adalah karena Golkar dipandang sebagai salah satu partai yang "paling nasionalis", jauh dari ekstrim-ekstriman, tidak kubuisme, tidak golonganisme, sedia merangkul semua kalangan, agamis, nasionalis, rasionalis yang pancasilais.
Golkar menempatkan posisinya tepat ada di tengah-tengah. Sehingga membuat Golkar sebagai partai yang sangat luwes, dinamis. Bisa diterima dimana saja. Bisa masuk dimana saja. Sebagai penyeimbang, sebagai bentuk kolaborasi.
Itu adalah sejalan dengan prinsipnya bhinneka tunggal ika. Ibarat Pancasila, persatuan Indonesia bersama 4 sila lainnya, adalah salah satu ruhnya yang utama.
Konflik, perpecahan dll sering terjadi adalah karena orang terlalu asyik sendiri dengan pandangan dan pendapatnya saja, lupa bahwa ia dibatasi oleh fakta adanya perbedaan yang perbedaan itu adalah sunatullah adanya. Merupakan hukum alam.
Sunatullah tak bisa di rubah lagi. Selamanya, perbedaan akan selalu ada.
Cara menghadapi sunatullah inilah kuncinya. "Kumaha ngigeullan nana". Sinergi kolaborasi, saling memahami, saling toleransi, membuat kompromi.
Hidup bersama adalah tentang kompromi. Istri sukanya begitu, tetangga sukanya begitu, dst.
Gotong royong. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Batu turun, keusik naek. Air dan semen yang lembut adalah simbol elastisitas, kelembutan dan perekat persatuan.
Bermasyarakat, berbangsa dan bernegarapun seperti demikian. Berpolitik juga demikian.
Golkar menempatkan dirinya di posisi duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
Makanya kepemimpinan di Golkar lebih demokratis, lebih terbuka dengan azas musyawarah mufakat sebagai nyawanya.
Setiap zaman ada pemimpinnya, ada tantangannya sendiri.
Begitu juga Golkar, dulu dan kini, dan nanti tak selalu harus punya cara kepemimpinan yang sama. Memimpin adalah seni. Seni bukan matematika. Tidak kaku.
Demikianlah di alam demokrasi ini butuh seni dan keluwesan. Tak boleh kaku, tak baik pakai otot pakai ngotot. Selesaikan secara adat dan kekeluargaan. Kita hidup bersama, kita hidup tak sama.
Bandung, 7 Juli 2023


0 Komentar